Sunday, January 6, 2008

Inferiority Complex dan Strategi Berempati

(Sebuah Renungan Perjalanan Indralaya-Palembang)


Tepat detak waktu menunjuk pukul 14.30 Minggu, 6 Januari 2008, saya sedang berada di tengah deru perjalanan menuju bumi perjuangan, Indralaya. Seperti biasanya, transportasi yang saya naiki adalah Si Hijau Putih Bertulis Bus Mahasiswa. Kendaraan yang sejatinya diperuntukkan bagi mobilisasi mahasiswa dari Palembang Indralaya, namun telah lumrah menjadi kendaraan umum antara Palembang Darussalam sebagai pusat peradaban dan Indralaya sebagai kota penyangga. Perjalanan yang seperti biasanya selalu terisi dengan beraneka bentuk aksi dan ekspresi para penumpangnya. Gelak canda berurai tawa atau dengkur lelap dibuai mimpi menjadi pemandangan yang mendominasi sepanjang perjalanan.

Desah gemuruh perjalanan dan desing perlintasan antar kendaraan semakin menyemarakkan perjalanan. Tak terasa separuh perjalanan telah berlalu. Tepat setelah terminal, sekelompok yang sepertinya keluarga besar melambai tangan mengharap tumpangan. Mobil pun berhenti. Sang kernet pun beraksi dan berteriak “Kosong..kosong..Silakan naik Bu..”. Sesampai di dalam mobil sang ibu menampak secercah sedih berbalut kesal dengan bohong kecil Si Kernet. Ternyata bus penuh sesak penumpang. Memang ada kursi kosong, tapi hanya cukup tuk duduk anak gadis kecilnya. Sang ibu berserta beberapa anaknya pun terpaksa berdiri.

Saya yang kebetulan sedang berdiri, karena tempat duduk saya telah diperuntukkan bagi seorang ibu yang naik selanjutnya dan tidak kebagian kursi. Lekat saya memandang Sang Ibu dan anak-anaknya. Tampak jelas bahwa keluarga ini mungkin berasal dari status sosial terbelakang (Baca:Miskin). Indra penciuman dan penglihatan saya pun seakan membenarkan itu. Pandang saya pun saya sapu ke seantaro ruang bis kota. Tepat di depan sang ibu ada seseorang yang saya kenal sebagai seorang perempuan yang menyebut dirinya ”Pelayan Tuhan”, seorang aktivis mahasiswa yang aktif mengusung misi gereja. Seorang yang menyebut dirinya pengembala yang akan mengiring domba-domba menuju keimanan Yesus. Di belakang Si Ibu berdiri ada beberapa mahasiswa yang saya kenal menamakan dirinya sebagai aktivis mahasiswa yang sering aktif dengan kegiatan keislamannya, yang sejatinya merupakan para penyeru dakwah. Ikhwan dan akhwat begitu sering mereka dipanggil. Selain, itu ada beberapa orang lainnya yang tidak saya kenal. Dalam hati, saya berharap semoga ada diantara mereka yang segera meraih peluang kasih itu. Terutama beberapa orang yang mengerti bahwa itu tak seksedar empati, itu adalah ibadah, itu adalah dakwah, itu adalah kasih. Saya mendamba ada diantara mereka segera berdiri dan berkata ”Bu silakan duduk”.

Drama alamiah itu pun terjadi. Sang Ibu tampak lelah berbalut letih tak kuasa lagi berdiri. Tanpa menghiraukan tatap di sekitarnya Sang Ibu langsung saja mengelepak lepas di lantai bis. Sang Ibu sepertinya tanpa berpikir bahwa hal yang dilakukannya adalah hal yang di luar kebiasaan. Orang beradab dan beradat mungkin menyebut itu adalah tindakan yang memalukan. Atau barangkali juga orang yang mengerti ”Bahwa malu dan kebersihan adalah sebagian daripada iman”, menjustifikasi Sang Ibu adalah orang yang menyiakan sebagian dari imannya. Atau secara sarkasme ada yang menyebut Sang Ibu orang yang bermasalah akalnya.

Melihat keadaan ini, hati saya terenyuh. Margin kepedulian saya bergetar. Saya tak habis pikir mengapa mereka seperti tak peduli dengan keadaan ini. Mengapa mereka tak mau mengerti kelelahan dan keletihan Sang Ibu. Pernahkah terpikir oleh mereka jikalau yang menggelepak itu ibu mereka. Betapa teririsnya hati itu. Jikalau memang masih ada hati. Tentu pilu serasa disayat buluh sembilu. Ata barangkali juga sembilu tak mampu menyakiti. Tak satupun diantara mereka meningkatkan kualitas simpatinya menjadi empati dengan menganti belas kasihan dengan tindak kontributif yang berefek positif. Teman saya yang ikhwan tampak asyik terlelap dalam deru mimpi dengan kupingnya dihiasi senandung MP3. Begitu pun yang akhwat tampak ngobrol santai dengan akhwat di sebelahnya. Apalagi mereka yang lain, tampak tak menyemburatkan kepedulian apapun.

Akh...aku terlalu terbawa perasaan. Aku sentak diriku dari lamun sadarku. Namun ternyata benar. Walaupun sepertinya sudah terlambat. Temanku yang akhwat itu pun bangkit pedulinya. Atau barangkali juga tak enak karena lintas pandang saya berharap padanya. Dengan lembut Si Akhwat memegang pundak Sang Ibu. Si akhwat sepertinya menawarkan bantuan. Sang Ibu tampaknya tidak bersedia. Akhirnya Sang Ibu menitip duduk anak gadis kecilnya pada Si akhwat. Aku pun sedikit lega melihat keadaan ini. Aku memaklumi keputusan Sang Ibu.

Terpikir di imajiku barangkali Sang Ibu berpikir siapa sih aku diantara penumpang. Aku hanyalah wong cilik. Mana mau mereka menghormatiku, apalagi menghargaiku dengan mengorbankan tempat duduknya bagi ku. Atau barangkali juga dia mau bilang ”Dik udah terlambat jika mau peduli, saya sudah keburu lelah dan lupa malu, nggak usah deh aku dikasihani”. Kusentak lagi imajiku, nggak mungkin Sang Ibu berpikir demikian. Tatapku kembali ke depan menuju laju deru bis kota.

Drama perjalanan pun masuk ke babak kedua. Entah mengapa Si Gadis Kecil merasa tak kerasan berada di pangkuan Si Akhwat. Dia meneteskan air mata layaknya ingin menagis. Dia meminta turun dari pangkuan Si Akhwat. Si Akhwat sepertinya tak kuasa membendung keinginan Si Gadis Kecil. Atau barangkali juga senang karena beban pangkuannya berkurang dan bau apek Si Gadis pun akan hilang jauh dari penciuman. Si Gadis Kecil dengan tangisnya kembali kepangkuan ibunya yang mengelepak di lantai bis. Saya melihat sepertinya Sang Ibu juga sepertinya juga sedang menangis. ”Barangkali dia lagi berkecil hati atau kesal pada anaknya” pikir saya. Eh...gayung pun bersambut. Lembayung kasih pun bersahut. Teman saya yang notebene-nya adalah aktivis gereja (Baca:Gadis Gereja:GaJa) menawarkan kasihnya pada Si Ibu. Ternyata Sang Ibu tetap tidak bersedia. Kembali Si Gadis Kecil beralih pangkuan dari Sang Ibu pada Si GaJa. Si GaJa menyeka dengan lembut tetes mata Si Gadis Kecil. Entah kenapa tangis Si Gadis Kecil mulai berangsur reda. Dia kelihatab tenang berada di pangkuan Si GaJa. Aku pun tertegun dengan keadaan ini.

Logika manusiawi ku mulai hitung-hitungan. Ku coba lontarkan tanya pada imajiku. Mengapa ya Sang Ibu bersikap begitu, sepertinya ia mengalami kondisi psikologis yang disebut dengan “Inferiority Complex”, perasaan rendah diri? Mengapa ya drama egoisme or nggak saling peduli sepanjang perjalanan Indralaya-Palembang semakin menjadi, semakin biasa aja penumpang yang kuat, baik itu mahasiswa ataupun umum, baik itu ikhwan maupun akhwat tidak bersedia mengalihkan hak duduknya kepada yang sepertinya lebih perlu, lemah fisik karena usia, jenis kelamin, dll? Mengapa ya Si Gadis Kecil tidak kerasan dipangkuan Si Akhwat dan tampak tenang di pangkuan Si GaJa?.
Cling...Uareka...”Jangan-jangan berempati juga perlu strategi ya?” Peduli adalah fitrah milik semua orang, lepas dari apapun agama, suku, dan bangsanya. Secara logika memang orang lemah pantas dikasihani oleh orang yang kuat. Tapi, ternyata adakalanya bentuk tindak kasihan adalah hal yang menghinakan orang yang dikasihani. Ternyata simpati..tak cukup kata simpati, tetapi perlu empati dalam bentuk tindakkan nyata. Ternyata empati pun tak cukup sekedar tindakan, tetapi perlu strategi, biar dapat diterima oleh objek empati, bukan malah menyinggung, dan menyakiti hati. Empati pun ternyata butuh totalitas, tak sekedar bumbu tampak luar belaka. Melibatkan ekspresi hati dan fisik yang tulus. Berempati pun ternyata perlu momentum. Berempati di saat yang tepat untuk orang yang tepat. Berempati pun perlu berlomba-lomba, karena jikalau kita terlambat, peluang empati itu akan diambil orag lain.

Tapi, yang pasti Rasulullah SAW telah mencontohkan banyak bentuk empati yang berkualitas. Belum lekang dari ingatan kita, masuk Islamnya Si Yahudi Tua dan Buta, hanya karena Rasulullah sering selalu menyuapinya dengan kasih nan tulus tanpa tanding, sekalipun oleh sekaliber Seorang Abu Bakar. Para sahabat pun telah mencontohkan, betapa lebih pedulinya pasukan Islam terhadap ”Sarang Burung yang bersarang di tenda” daripada bebahan tenda penginapan mereka. Mereka tidak membongkarnya hanya takut akan menzholimin Sang Keluarga Burung. Pertanyaan besarnya adalah bagaiman kualitas empati kita ? Masihkah kita akan mentolerir ngantuk kita sepanjang perjalanan untuk mengejamkan diri tidak membagi hak duduk pada ibu nan renta, ibu hamil nan lelah, dan bapak tua nan papa ? Kita harus memahami perasaan rendah diri (inferiority complex) adalah kondisi psikologis yang rentang ketersinggungan. Untuk itu perlu strategi untuk mewujudkan empati kita. Biar Si Rendah itu meninggi dan percaya diri bahwa dia tidak sendirian.