Thursday, January 3, 2008

Tokoh Perubahan 2007: The Sound of Moral

"First and foremost, we should be governed by common sense. But common sense should be based on moral principles first. And it is not possible today to have morality separated from religious values."

Vladimir Vladimirovich Putin

Itulah suara terdalam dari seorang Putin, presiden Rusia. Seorang agen dinas rahasia KGB di masa Soviet yang komunis. Putin dinilai berhasil membawa negerinya untuk bangkit kembali sehingga majalah Time menobatkannya sebagai Person of the Year tahun 2007. Bagi Putin, nilai-nilai religius merupakan pijakan moral yang utama dalam memerintah. Globalisasi memang bukan sekadar memungkinkan menyatukan warna dunia dalam seketika, tapi juga mambangkitkan identitas agar tak tergerus. Dan religi adalah the ultimate values yang paling kukuh untuk menjadi pilar. Itulah pilihan terbaik untuk tetap "menoleh ke kanan". Indonesia akan mampu bangkit dari keterpurukannya jika masyarakatnya berpegang pada nilai-nilai religi yang berakar kuat di masyarakatnya.

Seperti dua tahun belakangan ini, pada hari ulang tahunnya, 4 Januari, Republika mengumumkan pemenang anugerah Tokoh Perubahan 2007. Kali ini adalah untuk yang ketiga. Mereka bagai angin semilir. Damai dan menyejukkan. Pelan namun menyibakkan. Itulah ciri Tokoh Perubahan 2007 pilihan Republika tahun ini. Mereka adalah Maftuh Basyuni, Deddy Mizwar, Habiburrahman El Shirazy, Andrea Hirata, Yusuf Mansyur, dan Ratna Megawangi.

Pada 2005, Republika memilih delapan tokoh yang menebarkan energi positif dan optimisme. Pada 2006, anugerah diberikan kepada tujuh tokoh yang menunjukkan pribadi pekerja keras. Kali ini, Republika memilih enam tokoh penyuara moralitas dalam memandu masyarakat. Merekalah pelantun the sound of moral.

Maftuh Basyuni adalah khas sosok pesisir utara Jawa: lugas dan berani. Membenahi Departemen Agama adalah tekadnya yang sangat kuat. Kemudahan, penghematan, pelayanan, dan membasmi praktik korupsi, percaloan, maupun mengail di air keruh dari 200-an ribu jamaah haji adalah upaya perbaikan yang terus-menerus ia lakukan. Adakalanya ia terpeleset seperti pada musim haji tahun lalu. Upayanya membenahi layanan katering haji mendapat perlawanan keras, bahkan sabotase dari pihak-pihak berkuasa di Arab Saudi.

Maftuh juga berbenah di bidang lain yang menjadi urusan departemennya seperti masalah pendidikan, birokrasi, dan pengelolaan anggaran maupun aset Depag. Ia tak banyak bicara dan lebih banyak bekerja, tanpa mengenal kompromi. Perlahan citra dan kinerja Depag pun membaik. Untuk kali pertama, Tokoh Perubahan didominasi seniman, yaitu Deddy, Habib, dan Andrea. Deddy bisa menghadirkan visinya yang kokoh di tengah terpaan produk sinetron dan film layar lebar yang dipenuhi roman picisan, pornografi, dan horor. Walau karyanya dipenuhi dengan idealisme namun ia bukan karya apik yang sunyi dari tepuk tangan.

Terbukti dari rating yang tinggi dan iklan yang penuh serta tiket yang laku keras dan masa tayang yang lama di bioskop papan atas. Karyanya juga mendapat berbagai penghargaan di berbagai festival. Hal itulah yang membedakan Deddy dengan sineas lain yang juga sama-sama berdiri di garda depan produk bermutu. Bukan hendak mengecilkan yang lain, namun Deddy bisa membuktikan kualitas kreativitasnya yang tetap bergemuruh.

Karya Deddy tak melulu pada kualitas teknis perfilman. Ia juga menukik pada isinya itu sendiri. Bukankah pembeda utama antara seni cerita dengan seni lainnya adalah ceritanya itu sendiri? Bukankah berkesenian ditujukan untuk masyarakat dan bukan untuk para seniman sendiri? Bukankah berkesenian bukan sekadar menghibur tapi juga untuk pencerahan jiwa? Bukankah seniman juga butuh uang untuk hidup dan berkarya lagi? Semua dijawab tuntas oleh Deddy lewat Lorong Waktu, Kiamat Sudah Dekat, Para Pencari Tuhan, dan Naga Bonar Jadi 2.

Ada ungkapan penghibur bahwa karya yang baik tak selalu karya yang paling banyak digemari. Itu memang betul. Tapi, alangkah eloknya jika selain karya itu baik tapi juga digemari. Itulah yang terjadi pada Habib atau akrab disapa Kang Abik. Novelnya, Ayat-ayat Cinta, memang meniti di atas cerita kisah cinta seorang mahasiswa. Sebuah model yang klise.

Namun caranya bercerita, munculnya kejutan di setiap babak, bingkai multikultural dan multikeyakinan para tokoh utama yang terlibat, dan keindahan cinta tanpa syahwat merupakan eksotisme novelnya. Bahkan, dari segi bingkai multikultural dan multikeyakinan, Ayat-ayat Cinta masih lebih kuat dibandingkan dengan karya klasik Buya Hamka, Di Bawah Lindungan Ka'bah. Ya, Hamka baru telah lahir dalam sastra Islami. Di sana ada tawa, kerinduan, juga tangis. Tentu yang lebih utama, sebagaimana ditulis dalam sampulnya, inilah novel pembangun jiwa. Novel yang mampu menggugah dan menginspirasi para pembacanya untuk menjadi pribadi-pribadi yang baik.

Andrea Hirata tetap berkukuh bahwa dia bukanlah novelis. Bukan pula sastrawan. Bukan juga pembaca sastra yang baik. Apa yang ia tulis ia akui sebagai sebuah buku tentang pendidikan. Kesahajaan itulah yang membuat novelnya begitu otentik dan menyegarkan. Ia seakan makhluk baru dalam dunia sastra Indonesia. Andrea memang orang yang muncul dari dunia antah berantah dalam jagad sastra Indonesia. Justru karena itu bahasa dan ungkapannya begitu asli. Ia tak mewarisi dan tak terpengaruh siapa-siapa. Padahal novelnya, Laskar Pelangi, ia tulis hanya dalam tiga pekan. Bukankah ia seorang penulis yang luar biasa?

Sebagai seorang karyawan PT Telkom tentu ia sangat sibuk. Namun, kecintaan dan dorongannya untuk memberikan hadiah pada ibu gurunya yang sedang terbaring sakit membuatnya teramuk menulis. Apa yang ia tulis adalah kisah nyata dan pengalaman pribadinya beserta teman-temannya yang tergabung dalam persahabatan Laskar Pelangi saat mereka di SD. Apa yang ia tulis adalah wajah nyata Indonesia tentang kemiskinan dan berbagai akibatnya, apalagi di wilayah terpencil di Belitung. Namun, berbagai keterbatasan itu bukanlah pintu mati jika di sana ada seorang guru yang menghayati dan mencintai profesinya. Tunas-tunas muda itu begitu keranjingan untuk belajar dan menyerap ilmu. Seperti kata Andrea, Laskar Pelangi memang bukan [sekadar] novel, dia adalah mata air di padang makna.

Di tengah gejala hedonisme, individualisme, pamer kekayaan, dan penderitaan akibat rentetan musibah dan krisis ekonomi berkepanjangan, Ustadz Yusuf Mansyur menyeru tentang "kenikmatan dan keuntungan" bersedekah. Ia pun mengeluarkan rumus matematika sedekah. Setiap pengeluaran akan ada pemasukan yang berlipat. Ia menyerukan solidaritas sosial.

Akhirnya, Ratna Megawangi. Dosen IPB yang lebih banyak dikenal lewat tulisan-tulisannya soal kesetaraan gender dari perspektif Islam merupakan pribadi yang telah enam tahun bergelut mengembangkan pendidikan yang bertumpu pada pembentukan karakter. Ia berjuang tanpa berisik. Bersama-sama para mantan mahasiswanya, kini ia telah mendirikan lebih dari 100 sekolah taman kanak-kanak di berbagai daerah. Melalui jalan sunyi, ia berharap Indonesia bisa menuainya ketika anak didiknya besar kelak. nasihin masha

Langkah Mengukir Prestasi

Oleh KH Abdullah Gymnastiar

Sungguh beruntung mereka yang dikaruniai Allah dengan potensi dan bakat untuk unggul. Dan lebih beruntung lagi mereka yang dikaruniai kemampuan mengoptimalkan potensi dan bakatnya sehingga menjadi manusia unggul serta prestatif.

Setiap orang pada dasarnya memiliki potensi untuk unggul. Namun, pada kenyataannya, betapa banyak pula orang yang cukup potensial tapi tidak pernah menjadi manusia unggul. Betapa banyak orang yang memiliki bakat terpedam dan tetap terpendam tak tergali, karena dia tak tahu ilmu untuk mengoptimalkannya. Oleh karena itu, mungkin yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana caranya untuk menjadi seorang pribadi prestatif? Setidaknya ada lima hal yang dapat memacu seseorang menjadi pribadi prestatif, yakni sebagai berikut:

1. Percepatan Diri
Salah satu kunci untuk memacu prestasi diri adalah kemampuan mengelola waktu. Orang yang akan unggul adalah orang yang berbuat lebih banyak dari orang lain dalam rentang waktu yang sama. Jatah waktu kita dalam sehari adalah sama yaitu 24 jam. Marilah kita mulai dari sekarang dalam waktu sama, tapi isi beda!

Yahya bin Hubairah, guru Ibnu Qayyim Al-Jauziah berkata: ''Waktu adalah barang paling berharga untuk kau jaga. Menurutku, ia adalah barang yang paling mudah hilang darimu. Waktu adalah hidup kita, orang bodoh adalah mereka yang diberi modal waktu namun disia-siakan.''

Sosok pribadi unggul pantang berbuat sia-sia. Sebaiknya kita menjaga waktu sebab semua yang kita perbuat pasti butuh waktu, sedangkan ia sangat berharga. Dalam Al Qur'an : ''Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syetan dan syetan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.'' (QS Al Israa: 27 ).

Keunggulan itu lebih dekat dengan orang yang paling efektif dalam memanfaatkan waktu. Islam adalah agama yang sangat menekankan pentingnya waktu. Allah SWT telah mendisiplinkan kita dengan rutinitas shalat lima waktu dalam sehari-semalam. Seorang mukmin pasti terjaga dengan waktu shalatnya.

Segala bentuk kemalasan, keengganan harus dibuang jauh kalau kita ingin masa depan cerah. Bagi yang mendambakan keunggulan, ketika melihat orang lain belajar lima jam sehari, maka dia harus punya bonus waktu belajar lebih dari porsi lima jam itu. Demikianlah, salah satu ciri orang yang unggul adalah memiliki kebiasaan melakukan sesuatu dimana orang lain enggan melakukannya

Maka, tidak ada waktu yang sia-sia. Ajaran Islam sangat menghormati dan menghargai waktu serta melarang kesia-siaan. Rasulullah SAW bersabda, ''Di antara tanda kebaikan akhlak manusia muslim itu adalah meninggalkan apa yang tidak perlu.'' (HR Turmudzi). Untuk itu, kalau kita melakukan sesuatu, pikirkan manfaatnya. Tanyakan pada nurani, ''Bagaimana kalau saya mati dalam keadaan melalaikan waktu?'' Naudzubillah.

2. Sistem yang Kondusif
Andaikata kita susah memiliki percepatan diri, maka kita harus masuk ke dalam sistem atau lingkungan yang membuat kita bisa bergerak lebih cepat.

Misalnya, ada dua ekor kupu-kupu. Kupu-kupu yang satu masuk kedalam mobil dan mobil pun melesat maju. Sedangkan kupu-kupu yang lain tidak masuk ke mobil, hanya terbang menggunakan sayapnya. Lalu ukur dalam waktu lima menit, mana yang lebih dulu sampai ke tujuan? Jelas akan ada beda kecepatan dan jarak tempuh yang signifikan. Kupu-kupu yang terbawa mobil tentu lebih unggul.

Tapi, kalau mobilnya berhenti atau mogok, maka mungkin yang lebih cepat adalah dengan terbang sendiri. Artinya, system yang kita masuki sangat mempengaruhi percepatan diri. Salah dalam memilih lingkungan, akibatnya akan segera kita rasakan. Kita harus mencari sistem lingkungan dan teman-teman pergaulan yang berkualitas, unggul, terjaga, memiliki kehalusan budi pekerti.

Lembaga atau organisasi yang memiliki sistem yang unggul, banyak yang telah dapat membuktikan dirinya tampil dalam kehidupan bermasyarakat. Kalau ingin memiliki pribadi prestatif dan tangguh, pastikan untuk tidak salah dalam memilih pergaulan. Sebab, salah dalam memilih lingkungan, salah dalam memilih sistem, berarti telah salah dalam memilih kesuksesan. Ingatlah akan riwayat, ''Bergaul dengan tukang minyak wangi akan terbawa wangi dan bergaul dengan pandai besi akan terbawa bau bakaran.''.

Apabila kita salah dalam memilih teman, salah dalam memilih lingkungan, salah dalam memilih sistem, berarti kita telah salah dalam memilih masa depan. Sebab bergaul dengan metal akan kebawa metal; bergaul dengan tukang pacaran akan terbawa pacaran; bergaul dengan santri akan kebawa nyantri. Begitulah. Maka, carilah lingkungan atau sistem yang baik, yang dapat mengkatrol tata nilai kehidupan kita menjadi lebih baik.

3. Berdaya Saing Positif
Kiat menjadi unggul yang ketiga adalah memiliki naluri berdaya saing positif. Dalam setiap kesempatan dan lingkungan, kita harus memiliki naluri berdaya saing positif .

Sebenarnya setiap orang memiliki naluri untuk berlomba-lomba dalam kebajikan. Celakanya, kita sering melihat pesaing kita itu sebagai musuh yang dapat merintangi kita untuk berbuat kebajikan. Melihat sesuatu yang sama atau bahkan lebih, sering dipandang sebagai sebuah ancaman. Padahal jika kita lihat hal itu dengan hati yang jernih, maka pesaing itu adalah karunia Allah yang tak ternilai.

Yang membuat kita terpuruk sebenarnya bukan musuh, tapi kualitas dan kemampuan kita sendiri yang terbatas. Tidak perlu emosional, saingan adalah aset, bukan ancaman. Kita hancur justru bisa oleh diri sendiri. Kalau niat salah, itu bisa menghancurkan. Orang yang memiliki mental bersaing secara positif, justru akan menanggapi adanya saingan dengan senang hati, seolah dia mendapat sparring patner yang akan memacu kerja lebih berkualitas.

Sebuah ungkapan, ''Lebih baik jadi juara kedua di antara para juara umum, daripada jadi juara pertama di antara yang lemah.'' Orang-orang yang suka iri hati, sebel, dongkol kepada prestasi orang lain, biasanya tidak akan unggul. Berani bersaing secara sehat dan positif adalah kunci menuju gerbang kesuksesan.

4. Mampu Bersinergi (Berjamaah)
Masih ingat kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang yang bulan Agustus 1945 luluh lantak oleh bom atom Sekutu? Ya, ingatan kita akan segera menerawang, ketika bagaimana sebuah benda yang besarnya tidak lebih dari tubuh manusia itu bisa meratakan hampir seisi kota dengan hanya satu kali ledakan yang sangat dahsyat.

Menurut para ahli fisika, ledakan dahsyat ini terjadi karena adanya sinergi beberapa proses berantai, yaitu sinergi antara atom satu yang bersinggungan dengan atom yang lain. Atom-atom itu saling bersinggungan satu sama lain. Dalam waktu yang beberapa detik saja jutaan bahkan miliaran atom telah saling bersinggungan menghasilkan benturan kekuatan yang sangat dahsyat.

Belajar dari fenomena atom, jika kita ingin unggul, nikmati hidup berjamaah. Kita harus senang hidup berjamaah dengan yang lain. Tapi tentu saja berjamaah dengan arti positif, karena adakalanya dalam berjamaah itu juga saling melemahkan, saling melumpuhkan.

5. Manajemen Qalbu
Tidak bisa tidak, bagi pribadi yang ingin unggul dan prestatif, maka dia harus mampu mengendalikan suasana hatinya. Rasulullah SAW bersabda, ''Ingatlah dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Kalau segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi, bila rusak, niscaya akan rusak pula seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu bernama hati.'' (HR Bukhari -Muslim).

Dalam organisasi, misalnya, kita harus mampu mengelola konflik. Ingat, konflik bukan untuk dihindari atau dihilangkan. Konflik adalah untuk dikelola agar menjadi sebuah kekuatan yang positif. Banyak fakta membuktikan bahwa rubuhnya organisasi itu karena pengelolaan hati para pengurusnya kurang baik. Ingatlah pepatah, ''Kekayaanku adalah hatiku, apapun yang engkau lakukan, yang penting adalah jangan kau curi hatiku.''

Selamat menderita bagi orang yang busuk hati. Maka, bagi siapapun yang tidak bisa menata hati, waktu kita akan habis meladeni kebusukan hati itu. Kita akan terhambat, tidak akan berprestasi karena energi habis untuk memikirkan orang lain.

Untuk dapat mengelola hati dengan baik, maka bekal yang utama adalah ilmu, ingatlah konsep perubahan. Seseorang itu berubah bukan karena tahu, tapi karena paham. Orang bisa paham karena ada informasi atau ilmu. Bagaimana kita dapat membersihkan hati ini jika tidak tahu ilmu tentang hati?

Oleh karena itu dari sekarang sisihkanlah waktu, tenaga, biaya untuk menggali ilmu. Ingat, upaya itu selain untuk tahu, adalah juga untuk paham. Setelah tahu ilmu, segera amalkan! Bagi mereka yang ahli dalam menjaga hati, insa Allah lulus menjadi pribadi unggul.

Wallahu a'lam bisshawab. ***

Kebangkitan Diri

Bangsa kita sesungguhnya punya potensi luar biasa, yang jika disyukuri dengan cara mengelolanya dengan tepat, niscaya berpeluang menjadi negara besar yang sejahtera, berwibawa dan bermatabat. Lihatlah! Kita memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah ruah. Mulai dari dasar lautan hingga puncak gunung. Begitu pula dengan lokasi geografis dan keindahan alamnya, negeri kita bagaikan percikan surga yang tertetes ke bumi. Potensi yang dimimpikan oleh negara lainnya di dunia ini.

Potensi manusia dengan jumlah dua ratus dua puluh juta jiwa dengan aneka kemampuannya lahir batin, wawasan, pengalaman, latar belakang, budaya dan intelektual, merupakan aset yang berharga bila disinergikan dengan formula yang tepat, akan berbuah kekuatan yang dhasyat. Aqidah Islam yang menjadi keyakinan mayoritas warga Indonesia merupakan potensi tak ternilai, yang bila diamalkan dengan benar akan dapat mengantarkan bangsa mulia dan penuh produktifitas hingga menjadi solusi yang universal.

Namun, bila kita melihat kenyataan, ternyata semua potensi tidak berbuah kenyataan yang dicita-citakan bersama. Bahkan, aneka bala dan musibah dari berbagai sisi kehidupan begitu lekat dan memilukan. Penyakit qalbu rupanya sedang berjangkit di negara kita. Orang kuat dan cerdas akal pikirannya, tetapi tidak sehat qalbunya, mereka itulah yang menjadi biang-biang kerusuhan, kerusakan, dan kesengsaraan bagi bangsa ini. Qalbu adalah inti terpenting dari manusia yang akan mengatur segala sikapnya. Sabda Rasulullah: "Ingatlah, dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Kalau segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi, bila rusak, niscaya akan rusak pula seluruh tubuhnya.

Segumpal daging itu bernama qalbu." (HR. Bukhari - Muslim)
Bangsa yang sedang sakit ini adalah ladang amal bagi kita. Kita boleh kecewa, kita boleh terluka, tetapi yang paling harus kita lakukan adalah berbuat sesuatu untuk memperbaikinya. Kalau selesai urusan bangsa ini dengan kecewa, marilah kita kecewa habis-habisan. Kalau selesai hanya dengan mencaci dan memaki, marilah kita caci maki, tapi yang pasti sikap yang buruk tidak akan menyelesaikan persoalan bangsa ini. Bahkan malah menambah masalah.

Oleh karena itu, kita harus berbuat sesuatu dengan cara terindah dan termulia yang kita mampu. Kita bangkitkan bangsa ini dengan penuh kehormatan. Sebab apa yang terjadi selama ini harus kita jadikan pelajaran berharga. Betapa membangun bangsa, ternyata tidak cukup hanya dengan membangun akal, tidak cukup dengan membangun otot, tidak cukup dengan membangun jalan, tapi yang paling pokok adalah membangun nurani bangsa ini. Dengan nurani yang sehat, maka pikiran akan jernih, tubuh sehat, raut muka cerah berseri, semangat bangkit, dan akhlak akan mulia.

Saudara-saudaraku, negeri kita ini sudah terlalu banyak dilanda bala bencana. Kaum muslim sedang diuji. Berbagai tuduhan harus kita tepis dengan merapatkan barisan, bersatu dengan menggalang persaudaraan untuk mengembalikan wajah Islam pada posisi yang sebenarnya. Peristiwa yang bertubi-tubi dan seolah menampakkan bahwa Islam identik dengan kekerasan tentunya harus diluruskan, dijelaskan bahwa sesungguhnya Islam dan umatnya adalah rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam).

Peristiwa yang menimpa bangsa ini sudah seharusnya dijadikan momentum untuk memperbaiki dan mengevaluasi diri kita sendiri. Buktikan bahwa Islam itu indah dan membawa pesan damai. Insya Allah akan datang suatu masa dimana negeri ini akan bangkit dan terhormat. Syaratnya? Yang pertama adalah kita harus mempunyai semangat. Kalau selama ini bangsa kita menjadi babak belur, itu semua bukan karena miskin alamnya, tapi karena miskin hatinya. Contohnya, kita pelit sekali tersenyum kepada orang lain dan pelit sekali untuk memaafkan orang lain. Maka jikalau saudara-saudaraku setuju, tahun 2003 ini akan kita coba menjadikan tahun akur bagi kita semua. Jangan ada lagi pertengkaran karena tidak akan menghasilkan sesuatu yang berguna. Sungguh sedih rasanya melihat negara yang kaya seperti ini, tetapi bisanya hanya berkelahi. Oleh karena itu kita butuh para pemimpin yang senang damai, orang-orang pintar yang bisa bertoleransi terhadap perbedaan, dan rakyat yang mau hidup berdampingan dengan damai.

Kedua, kita harus mempunyai rasa percaya diri. Di tahun 2003 ini kita harus mau menjadi orang yang percaya diri. Konon, katanya, ada sebagian saudara kita di luar negeri yang malu mengaku dirinya sebagai orang Indonesia. Yang lebih parah, ada juga sebagian orang yang malu mengaku dirinya sebagai muslim. Naudzubillah. Kalau kita sudah kehilangan rasa percaya diri maka siapa lagi yang mau menghargai diri sendiri? Oleh karena itu, agar negara ini bisa makmur dan maju, rahasianya adalah jangan pernah minder dan jangan pernah malu sebagai orang Indonesia karena kita adalah bangsa yang besar. Kalau kita mau bersatu, Insya Allah, bangsa ini akan bangkit!

Dan ketiga, kita harus memiliki ketaatan kepada Allah. Ingat baik-baik; negara ini amat besar dan alamnya sangat kaya. Orang lain untuk menanam pohon membutuhkan waktu 20 tahun, tapi di negeri ini hanya membutuhkan waktu 10 tahun, karena sinar mataharinya melimpah ruah, air hujannya juga melimpah bahkan terkadang menjadi banjir. Tetapi kenapa terjadi juga banyak bala bencana, seperti longsor, musibah, korupsi, dan sebagainya. Nyaris segala musibah bertumpuk di negeri kita ini. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.

Saudaraku, mungkin penyebabnya adalah selama ini kita sangat sombong dan meremehkan Allah Yang Menguasai langit dan bumi. Kita merasa hebat, padahal siapa yang hebat? tidak ada manusia yang hebat. Bukankah manusia berasal dari setetes mani yang ujungnya menjadi bangkai, kemana-mana membawa kotoran? siapa yang hebat di Indonesia? tidak ada yang hebat, yang hebat adalah kalau kita bisa menggiring masyarakat kita untuk taat pada Allah yang menguasai langit dan bumi.

Visi kita terhadap dunia ini seharusnya berubah. Kita tidak bergantung lagi kepada dunia, tidak tamak, tidak licik, tidak serakah. Hidup akan bersahaja dan proporsional. Sekarang kita sedang krisis. Masa ini dapat menjadi momentum karena dengan krisis harga-harga naik, kecemasan orang meningkat, ini kesempatan kita untuk berdakwah. Mau naik berapa saja harganya tidak apa-apa yang penting terbeli. Jika tidak terjangkau jangan beli, yang penting adalah kebutuhan standar tercukupi.

Orang yang sengsara bukan tidak cukup tetapi karena kebutuhannya melampaui batas. Padahal Allah menciptakan kita lengkap dengan rezekinya. Mulai dari buyut kita yang lahir ke dunia tidak punya apa-apa sampai akhir hayatnya masih makan dan dapat tempat berteduh terus. Orang tua kita lahir tidak membawa apa-apa sampai saat ini masih makan terus, berpakaian, dan berteduh. Begitu pula kita sampai hari ini. Hanya saja disaat krisis begini kita harus lebih kreatif. Mustahil Allah menciptakan manusia tanpa rezekinya; kita akan bingung menghadapi hidup. Semua orang sudah ada rezekinya. Dan barang siapa yang hatinya akrab dengan Allah dan yakin segala sesuatu milik Allah, tiada yang punya selain Allah, kita milik Allah, kita hanya makhluk dan yang membagi, menahan dan mengambil rezeki adalah Allah, maka orang yang yakin seperti itu akan dicukupi oleh Allah.

Tegaknya Islam di zaman Rasul Saw juga bukan karena pangkat, kedudukan, dan gelar. Islam tegak karena kemuliaan akhlak kaum muslimin saat itu. Ekonomi Indonesia hancur tidak disebabkan oleh kurangnya orang pintar di negara ini, tapi lebih dominan disebabkan oleh kurangnya orang yang berakhlak mulia. Dunia perpolitikan hancur bukan disebabkan oleh kita yang tidak mengerti politik, tapi lebih disebabkan oleh orang-orang zalim, licik, serakah, dan tidak bermoral.

Kita kembali ke Alquran bahwa orang yang sukses adalah orang yang paling berhasil menata dirinya, menata pikirannya, menata matanya, menata mulutnya sehingga hidup ini ada di jalan yang tepat, yang disukai Allah. Posisi apa saja tidak apa-apa, tidak harus menjadi orang top dalam pandangan manusia, yang penting top dalam pandangan Allah karena tidak mungkin semuanya jadi presiden. Toh tidak mungkin satu negara presiden semuanya. Tidak mungkin kita jenderal semua. Kalau kesuksesan dianggap jenderal, maka cuma sedikit orang yang sukses.

Orang yang sukses adalah orang yang tidak merasa suci dan ingin dipuji. Orang sukses selalu bisa memuji Allah, dan taubat memohon ampun. Dia sadar bahwa apapun yang diperolehnya adalah amanah. Insya Allah kita songsong saat kematian kita besok lusa dengan mempersembahkan karya terbaik kita dalam kehidupan. Ikhlas karena Allah. Itulah misi kehidupan kita, bukan pengumpul dunia yang akan kita tinggalkan. Dan itulah makna sukses yang sejati. Wallahua'lam bish-showab.
(Abdullah Gymnastiar)

Indikator Kesuksesan

Oleh KH Dr Didin Hafidhuddin MSc


Sikap seseorang atau sekelompok orang terhadap sesuatu sangat ditentukan oleh persepsi yang dimilikinya tentang sesuatu itu. Persepsi, yang benar dan tepat disertai keyakinan yang kuat, biasanya akan melahirkan sikap yang benar dan tepat pula. Sebaliknya, persepsi yang salah dan keliru akan melahirkan sikap yang salah dan keliru pula.

Kesuksesan hidup merupakan dambaan setiap orang, apapun posisi, profesi, dan status sosial yang dimilikinya. Akan tetapi banyak orang yang keliru di dalam memahami dan mempersepsi arti dan makna kesuksesan tersebut sehingga di dalam menggapainya banyak langkah yang keliru, bahkan cenderung kontra-produktif. Banyak orang yang memandang jabatan formal yang tinggi sebagai indikator kesuksesan, sehingga segala cara dipergunakan untuk meraihnya seperti dengan money politics, menebarkan fitnah untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya dan mengumbar janji yang bersifat gombal yang sesungguhnya sangat tidak mungkin untuk dipenuhi. Meskipun secara moral dan etika orang tersebut sudah tidak layak lagi memangku suatu jabatan, apalagi jabatan publik, karena terindikasi melakukan kejahatan yang merugikan negara dan masyarakat atau sebagian besar masyarakat sudah tidak menginginkannya laig, akan tetapi jabatan tersebut terus-menerus dipegang dan dipertahankannya. Ia memandang mundur dari suatu jabatan atau tidak memilikinya, merupakan akhir dari segala-galanya. Inilah yang disindir secara tajam oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari: ''Kalian sungguh-sungguh ingin mendapatkan kekuasaan dan jabatan, padahal kelak (di akhirat) akan menjadi suatu penyesalan yang tiada tandingannya''.

Jabatan dipandang sebagai indikator kesuksesan, apabila dipersepsi dan diyakini sebagai suatu amanah yang akan dipertanggungjawabkan kepada rakyat atau masyarakat yang mempercayainya dan kelak di kemudian hari di hadapan Allah SWT. Karena sikap amanah inilah, pejabat tersebut akan berusaha seoptimal mungkin untuk menjadi pejabat yang bersih, adil, dan bersungguh-sungguh di dalam melakukan berbagai macam aktifitas yang akan melahirkan kesejahteraan masyarakatnya. Itulah pejabat yang akan mendapatkan kesuksesan di dunia maupun di akhirat. Rasulullah SAW dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari bersabda: ''Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari tidak ada naungan selain naungan-Nya: (salah satunya) pejabat atau pemimpin yang adil....''

Harta yang melimpah ruah, rumah dan kendaraan yang mewah, tanah yang luas, simpanan uang yang banyak di berbagai bank, seringpula dipandang sebagai bukti kesuksesan hidup sehingga setiap orang berusaha memilikinya tanpa memperhatikan cara-cara untuk mendapatkannya dan tanpa memiliki rasa malu sedikit pun. Kasus suap-menyuap yang melanda pada sebagian anggota DPR yang terhormat atau anggota DPRD-DPRD di berbagai daerah atau yang melanda kepada para penegak dan pengabdi hukum dan melanda pula pada hampir sebagian besar pejabat publik di berbagai instansi dan lembaga di negara kita ini, yang telah menjadi penyakit masyarakat yang sangat kronis adalah wujud dari sikap keliru tersebut. Yang lebih memprihatinkan lagi, banyak di antara mereka yang berbangga-bangga dengan harta dan jabatan tersebut, bahkan cenderung membenarkannya dengan berbagai macam argumentasi yang dicari-cari. Padahal cara-cara kotor tersebut jelas-jelas hanya akan melahirkan berbagai macam keterpurukan, baik bagi yang bersangkutan maupun masyarakat secara keseluruhan. Ajaran Islam sangat melarang keras sikap dan perilaku tersebut sebagaimana dikemukakan dalam QS 2:188 ''Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kmau dapat memakan sebagian dari ha rta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui''. Dalam sebuah hadits riwayat Imam Ahmad dari Abu Hurairah, ia berkata: ''Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap dan yang menerimanya, terutama dalam bidang hukum''.

Indikator kesuksesan hanyalah bagi orang yang mendapatkan ilmu pengetahuan, harta, jabatan dan kedudukan yang didapatkan dengan cara-cara yang halal, benar, transparan dan sesuai dengan aturan yang berlaku. Ajaran Islam sangat menekan pada proses yang dilakukan untuk mendapatkannya dan bukan pada hasil yang diraihnya semata-mata, sebab hal tersebut akan memiliki korelasi yang kuat dengan perilaku yang terjadi kemudian. Harta dan jabatan yang didapatkan dengan cara yang halal akan mendorong pada perilaku yang positif, sebaliknya jika didapatkan dengan cara yang salah dan kotor, akan mendorong pada perilaku yang negatif dan merusak. Jabatan yang diraih dengan cara-cara yang kotor dan keji, akan menyebabkan si pejabat tersebut, jika mendapatkannya, akan terus-menerus melakukan korupsi dengan berbagai macam cara dan tindakan yang cenderung sewenang-wenang untuk kepentingan diri dan kelompoknya dan mengabaikan kepentingan masyarakat luas. Karena itu, dalam sebuah Hadits shahih, Rasulullah SAW bersabda: ''Setiap daging yang tumbuh dari harta yang haram, maka neraka lebih utama baginya''. Artinya hadits ini menggambarkan bahwa makanan yang haram, baik substansi maupun cara mendapatkannya, akan terus-menerus mendorong pada perilaku yang merusak tatanan kehidupan.

Kekayaan, ilmu pengetahuan, jabatan dan kedudukan, diperintahkan Allah SWT untuk dikuasai oleh umat Islam dengan cara-cara yang benar, sehingga umat Islam menjadi umat yang tangguh dan kuat yang mampu memberikan keselamatan dan kesejahteraan bagi umat manusia secara keseluruhan. Semua itu, bagi umat Islam, hanyalah sebagai sarana dan alat untuk mencapai tujuan hidup yang hakiki dan kesuksesan yang abadi, yaitu berada dalam naungan dan ridha Allah SWT. Umar bin Khattab, dalam sebuah doanya, menyatakan: ''Ya Allah, jadikan dunia dalam genggaman tanganku dan jangan mengendalikanku''. Harta dan jabatan yang digenggam akan mampu dikendalikan dan diarahkan pada hal-hal yang positif dan bermanfaat. Akan berlainan keadaannya, jika harta dan jabatan itu yang mengendalikan, akan menghilangkan pikiran yang jernih dan menihilkan hati nurani.

Para sahabat di zaman Rasulullah SAW adalah orang-orang yang berhasil dan sukses dalam berbagai macam bidang kehidupan. Banyak di antara mereka yang memiliki kekayaan, akan tetapi kekayaannya diraih dengan cara yang bersih dan kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan perjuangan, menyantuni anak yatim dan fakir miskin, serta membangun peradaban yang indah dan menarik. Banyak pula di antara mereka yang mampu menjadi pejabat yang handal dan terpercaya, yang memandang jabatan sebagia amanah yang berat yang mengandung resiko duniawi dan ukhrawi, sehingga banyak yang menolak ketika disodorkan suatu jabatan yang mempersilakan orang lain untuk memangkunya.

Namun, ketika mereka dengan berat hati menerimanya, di tangan mereka, rakyat dan masyarakat terpenuhi kebutuhan hidupnya dan terjaga keamanan serta ketenangannya. Di tangan mereka pula supremasi hukum ditegakkan dengan sebenar-benarnya tanpa memandang siapa yang menjadi sasarannya. Akibatnya, rakyat luas, di samping mempercayai kepemimpinan mereka, juga ikut terlibat dan berpartisipasi aktif dalam membangun kesejahteraan bersama. Masyarakat bukan sekadar mendengar ucapannya, akan tetapi melihat secara langsung perilakunya yang bernuansa uswah-hasanah (suri tauladan yang baik). Banyak di antara mereka yang menjadi cendekiawan dan ulama besar yang memiliki pengetahuan yang mendalam (tafaqquh fi ad-din) yang menghasilkan karya-karya besar dan monumental yang dapat dinikmati oleh generasi berikutnya. Itulah generasi yang sukses dengan kesuksesan yang sesungguhnya yang patut ditiru oleh kita semuanya. Rasulullah SAW bersabda: ''Sahabat-sahabatku adalah laksana bintang yang gemerlapan di langit, kepada siapapun kalian mencontohnya, kalian pasti akan mendapatkan hidayah.''
Wallahu A'lam bi ash-Shawab.
()

Kebenaran yang Terorganisasi

Ali bin Abi Thalib ra dalam salah satu kata hikmahnya menyatakan bahwa kebenaran yang tidak terorganisasi akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisasi secara rapi. Pernyataan ini sungguh sangat menarik dan prospektif.

Karenanya perlu mendapat perhatian dari kaum Muslimin, sebagai kelompok umat yang mendapat amanah Allah SWT untuk senantiasa menebarkan dan mempertahankan kebaikan, kedamaian, dan kebenaran dalam kehidupan umat manusia secara keseluruhan. Allah berfirman, ''Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah.'' (QS 3:10). Perhatikan pula QS 2:143.

Sudah menjadi sunnatullah yang bersifat pasti, bahwa jika kebenaran datang, maka kebatilan akan hancur. ''Dan katakanlah yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.'' (QS 17:81).

Tetapi perlu disadari bahwa aplikasi dari sunnatullah ini sangat terkait dengan pelaksanaan sunnatullah yang lainnya. Aturan Allah SWT dalam kehidupan ini tidak pernah berdiri sendiri, melainkan berhubungan satu sama lainnya.

Di antara sunnatullah tersebut adalah bahwa kebenaran itu harus diamalkan dan diperjuangkan dalam tatanan yang rapi dan teratur, dengan perencanaan yang matang, dengan tahapan-tahapan pelaksanaan dan skala prioritas yang jelas, dan didukung oleh sumberdaya Muslim yang berkualitas, serta pengorganisasian yang kuat. Allah SWT berfirman, ''Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.'' (QS 61:4).

Dalam realitas kehidupan yang kita saksikan sekarang ini, betapa kemunkaran dan kebatilan telah merajalela dan mendominasi di hampir semua sektor kehidupan. Semuanya dibungkus dan dikelola dengan rapi, sehingga seolah-olah merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan modern sekarang ini.

Masyarakat luas banyak yang terpengaruh dan terkooptasi oleh nilai-nilai kebatilan, baik bagi dirinya maupun bagi masa depan bangsa dan negara. Bahkan, jika ada yang menentang dan mengingatkan mereka, maka masyarakat cenderung membelanya. Kasus goyang Inul dan goyang-goyang lainnya dengan berpakaian yang sangat tidak sopan --membuka aurat yang mengundang syahwat-- dianggap sebagai hal yang wajar.

Gaya hidup bercirikan materialisme dan kebebasan telah merasuk ke dalam struktur pikiran, hati, dan perbuatan masyarakat banyak, apalagi didukung oleh kekuatan media informasi yang begitu menggurita, yang telah mampu mengobok-obok jati diri dan akhlak masyarakat. Atas nama kebebasan dan hak asasi manusia, orang boleh melakukan apa pun yang dikehendakinya. Nilai-nilai moral yang bersumber dari ajaran agama telah dipinggirkan, bahkan sengaja ditinggalkan.

Terjadi proses sekularisasi yang sangat dahsyat di tengah masyarakat. Antara ibadah dan muamalah telah terjadi pemisahan yang sangat nyata. Ibadah shalat, haji, dan umrah (yang kadang dilakukan berulang kali) misalnya, sengaja dipisahkan dengan muamalah di bidang ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dan kesenian.

Bahkan ada sebagian kalangan yang berpendapat tidak perlu membawa ajaran agama pada dunia kesenian. Dunia kesenian, menurut mereka, adalah dunia kebebasan, tanpa ada pembatas dan koridor apa pun. Orang boleh mengekspresikan karya seni dan imajinasinya sekehendak hati, tanpa harus dikaitkan dengan nilai-nilai moral.

Yang juga sangat memprihatinkan sekaligus mengherankan adalah kelompok pendidik yang gigih menolak RUU Sistem Pendidikan Nasional untuk ditetapkan sebagai undang-undang, hanya karena dalam RUU itu ada kata iman dan takwa, dan kewajiban memberikan pendidikan agama yang sesuai agama peserta didik.

Tampaknya mereka lebih senang mengembangkan sistem pendidikan sekuler atau mungkin juga sistem pendidikan yang antiagama daripada sistem pendidikan yang melahirkan peserta didik yang bermoral dan bertakwa kepada Allah SWT, Tuhan Yang Mahakuasa.

Ajaran Islam adalah ajaran yang sangat menekankan prinsip kesatuan (tawhid) dalam segala hal: kesatuan ibadah dengan muamalah, seni dengan moral, individu dengan masyarakat, ilmu dengan amal, dan dunia dengan akhirat. ''Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia) dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik (di akhirat) dari apa yang telah mereka kerjakan.'' (QS 16:97).

Menghadapi dominasi kebatilan yang demikian dahsyat, para pembela, pejuang, dan aktivis kebenaran perlu melakukan cara-cara yang rapi dan dengan organisasi yang kuat bercirikan: Pertama, perlu dimilikinya strategi besar dan blue print pembangunan masyarakat Muslim yang bercirikan tawhidullah, berkesejahteraan, berkeadilan, ber-ukhuwah islamiyah, dan ber-amar ma'ruf nahyi munkar, dengan tahapan-tahapan yang jelas dan langkah-langkah konkret yang berkesinambungan.

Blue print ini menjadi sangat penting agar energi tidak terkuras habis dalam menjawab pekerjaan rumah yang selalu dilemparkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Kaum Muslimin sering menguras semua energi, bahkan hampir terjadi perpecahan dan pertentangan antara satu dan lainnya ketika memberikan respons pada pekerjaan rumah - pekerjaan rumah tersebut. Tampaknya perlu ada lembaga khusus yang didukung secara moral dan material oleh semua pihak dan kalangan umat.

Kedua, amar ma'ruf nahyi munkar hendaknya tidak dilakukan secara sporadis dan insidental, dan hanya menekankan aspek lisan, tetapi harus dilakukan secara terus-menerus (istimror) dan menyangkut semua bidang kehidupan. Caranya dengan melahirkan berbagai institusi alternatif agar menjadi pilihan kebaikan bagi masyarakat.

Misalnya, usaha membangun stasiun televisi yang dirancang bagi peningkatan kualitas pengetahuan dan akhlak masyarakat, tampaknya merupakan bagian penting dari kegiatan dakwah yang harus dipikirkan semua komponen umat. Potensi dana dan sumberdaya manusia yang dimiliki umat Islam untuk membangun dakwah lewat televisi ini harus terus digali dan dikembangkan.

Kita yakin, para hartawan, para pengusaha, dan para pejabat yang memiliki komitmen terhadap hal ini, insya Allah masih cukup banyak.
Ketiga, penguatan semangat bekerja sama antara sesama kelompok umat harus terus-menerus dilakukan. Sudah waktunya memperhatikan titik-titik persamaan.

Sesungguhnya, persamaan di berbagai kelompok umat itu lebih dominan daripada perbedaannya. Namun, sangat disayangkan yang lebih sering menonjol adalah perbedaannya. Perlu ditumbuhkan semangat tasamuh (toleransi) sehingga lahir kekuatan yang tangguh walaupun kondisi internalnya relatif heterogen.

Keempat, majelis taklim - majelis taklim dan lembaga-lembaga kajian keislaman perlu mengoptimalkan materi dan tenaga pengajarnya. Institusi ini, di samping ditujukan untuk melakukan transformasi dan peningkatan pengetahuan keislaman, juga diharapkan menjadi benteng pertahanan masyarakat dari berbagai intervensi yang merusak akhlak dan moral.

Karena itu, semua komponen umat (termasuk di dalamnya ulama, dai, guru, aktivis orpol dan ormas, dan para tokoh) harus menyatukan gerak dan langkah dakwahnya dalam barisan yang rapi dan teratur. Insya Allah semua itu bisa mengatasi dan mengalahkan dominasi kemunkaran, walaupun kemunkaran itu diorganisasi dengan baik. Wallahu A'lam bi ash-Shawab.

Oleh : Didin Hafidhuddin

Momentum Peningkatan Tiga Kecerdasan

Salah satu doa yang selalu dibaca oleh Rasulullah SAW apabila memasuki bulan Rajab adalah: "Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada kami di bulan Rajab, keberkahan di bulan Sya'ban, dan sampaikanlah usia kami pada bulan Ramadhan." Melalui doa ini, Rasulullah mengingatkan kita betapa bulan Ramadhan itu, bulan yang harus senantiasa ditunggu-tunggu kehadirannya oleh orang-orang yang beriman.

Bulan Ramadhan itu, di samping bulan ibadah yang memanen pahala, sekaligus bulan latihan untuk membangun jati diri orang yang beriman, untuk ditingkatkan menjadi orang yang bertakwa, yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, yang sangat dibutuhkan dalam membangun masyarakat yang sejahtera. Sebagaimana firman-Nya dalam QS Al-Baqarah ayat 183: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."

Paling tidak ada tiga kecerdasan yang perlu ditumbuhkan melalui latihan-latihan selama ibadah di bulan suci Ramadhan. Pertama, Kecerdasan emosional. Kecerdasan ini berkaitan dengan kemampuan pengendalian diri dalam merespons berbagai macam keadaan. Pengendalian diri ketika mencintai dan membenci sesuatu supaya tidak berlebih-lebihan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Rasulullah bersabda: "Cintailah sesuatu itu (orang yang kamu cinta) secara sederhana, karena boleh jadi engkau akan membencinya pada suatu ketika, dan bencilah sesuatu itu (orang yang kamu benci), secara sederhana, karena boleh jadi engkau akan cinta padanya suatu ketika."

Pengendalian diri ketika berhadapan dengan orang-orang yang berbeda pendapat dengan kita atau mungkin berseberangan dengan kita, untuk tetap menganggap mereka sebagai saudara sesama anak bangsa. Bahkan dengan sikap ini diharapkan budaya saling memaafkan akan tumbuh dan berkembang dengan baik. Bahkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Huzaimah, Ibnu Hibban dan Hakim, Rasulullah SAW bersabda: "Tidaklah puasa itu hanya (menahan diri) dari makan dan minum saja. Sesungguhnya puasa itu (meninggalkan) perbuatan yang tidak ada gunanya, dan ucapan kotor. Jika ada seseorang yang menghinamu, membodoh-bodohkanmu, maka katakanlah bahwa aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa (tiga kali)."

Kecerdasan emosional semacam itu, akan mengikis sifat saling dengki-mendengki antara sesama anak bangsa, antara suku dan etnis, bahkan antarpemeluk agama yang berbeda. Dengan kecerdesan ini, diharapkan kita dapat melaksanakan tiga hal yang disebut dengan afdhalul fadhail (perbuatan yang paling utama di antara yang utama), yaitu: bersilaturahmi dengan orang yang memutuskannya, memberi pada orang yang tidak pernah memberi, dan memaafkan orang yang berlaku kurang baik pada kita. (HR Imam Thabrani dari Mu'adz bin Jabal).

Kedua, kecerdasan spiritual. Kecerdasan ini berkaitan dengan arah dan tujuan hidup yang jelas, yaitu bukan semata-mata ingin mendapatkan jabatan dan materi yang sebanyak-banyaknya, sehingga mempergunakan dan menghalalkan berbagai macam cara. Akan tetapi, juga kebahagiaan yang bersifat ruhaniyah yang dilandasi dengan ajaran agama. Kejujuran, keadilan, jauh dari budaya dan perilaku syirik yang ditanamkan melalui ibadah shaum, akan menghantarkan pada kenikmatan hidup yang hakiki, dan kecerdasan spiritual yang tinggi.

Setiap orang akan merasakan betapa jujur, adil dan amanah adalah sesuatu yang sangat indah dan sangat nikmat. Hidup akan terasa gersang dan hampa apabila tidak dibingkai oleh sifat-sifat tersebut. Rakus, tamak, dan korup pasti akan selalu dijauhkan dalam kamus kehidupan orang yang memiliki kecerdasan spiritual, karena ia sadar, bahwa kerakusan dan ketamakan akan membawa pada kefakiran. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Nabi SAW dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani: "Jauhilah oleh kalian sifat tamak (rakus), karena sesungguhnya sifat ini (tamak/rakus) adalah kemiskinan yang nyata."

Kecerdasan spiritual akan membawa pula pada sikap berpikir untuk senantiasa membawa ajaran agama dalam seluruh tatanan kehidupan. Tidak ada dikotomi dan tidak ada sekularisasi dalam kehidupannya. Semua harus terkait dengan ketentuan Allah SWT. Ketika beraktivitas di masjid, di pasar, di kantor-kantor pemerintahan, di kampus, di jalan raya, maupun di dalam keluarga. Hal ini sejalan pula dengan firman Allah dalam QS Al-Baqarah: 208 yang artinya: "Hai sekalian orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh kalian yang sangat nyata."

Ketiga, kecerdasan sosial. Kecerdasan dalam pengertian selalu memiliki rasa empati, simpati dan selalu ingin menolong orang yang mendapatkan kesulitan dalam kehidupannya. Kecerdasan sosial ini, akan mengikis habis sifat egois, kikir dan materialis, dan digantinya dengan sifat kedermawanan. Ibadah shaum melatih dan mengajarkan seseorang untuk merasakan betapa beratnya haus dan lapar itu. Padahal haus dan laparnya orang yang berpuasa bersifat sementara dan terbatas, yaitu mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.

Bagaimana halnya dengan orang yang sepanjang hidupnya merasakan lapar, haus dan dahaga? Tidaklah pantas membiarkan mereka dalam keadaan lapar dan haus tersebut secara terus-menerus. Ibadah shaum menanamkan, bahwa kita adalah bagian dari mereka dan mereka pun adalah bagian dari kita. Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: "Engkau akan melihat orang-orang yang beriman dalam kasih sayang mereka, dalam kecintaan mereka dan dalam keakraban mereka antar sesamanya adalah bagaikan satu tubuh. Apabila salah satu anggotanya merasakan sakit, maka sakitnya itu akan merembet ke seluruh tubuhnya, sehingga (semua anggota tubuhnya) merasa sakit, dan merasakan demam (karenanya)."

Bagi orang yang memiliki kecerdasan sosial yang tinggi, yang terimplementasikan dalam sikap kedermawanan, akan mendapatkan anugerah kedekatan atau takarrub dengan Allah SWT dan dengan sesama manusia. Dan sebaliknya, orang yang asosial dan bakhil akan mendapatkan adzab, jauh dari Allah dan jauh dari manusia. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Rasulullah bersabda: "Orang yang pemurah itu dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dekat dengan surga, dan jauh dari neraka. Dan orang yang bakhil itu jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga, dan dekat dengan neraka. Orang yang jahil (bodoh) tapi pemurah, itu lebih dicintai Allah daripada ahli ibadah tapi bakhil."

Selamat menunaikan ibadah shaum. Semoga akan dapat meningkatkan kualitas kecerdasan kita, sehingga kita akan semakin mampu dalam menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa yang semakin hari semakin kompleks dan semakin berat. Wallahu A'lam bi ash-Shawab.

Oleh : KH Didin Hafidhuddin

Kunci Membersihkan Hati

Kesuksesan dalam konsep manajemen qolbu adalah bagaimana kita secara konsisten dapat terus melakukan pembersihan hati di sepanjang kehidupan. Kita harus ingat bahwa faktor kunci keberhasilan agar kita bisa bertemu dengan Allah SWT adalah kebersihan hati atau qolbun saliim. Jadi, puncak kesuksesan bermuara pada kebersihan hati. Lalu, wahana pembersih hati adalah tekad (niat) yang kuat.

"Sesungguhnya amal perbuatan itu pasti mengandung niat, dan setiap orang akan memperoleh apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya ditujukan kepada Allah dan Rasul-Nya, berarti hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya...." (HR Bukhari-Muslim).Ya, kita tidak bisa meremehkan tekad atau kemauan karena ini ibarat generator yang menggerakkan aktivitas positif kita. Sebuah lampu mampu untuk menyala terus-menerus jika ada listrik yang mengalir. Listrik akan mengalir hanya jika generator dihidupkan. Jadi, kalau diumpamakan bahwa kita bisa saja punya kemampuan. Namun, kemampuan itu tidak akan berfungsi manakala tidak ada yang menggerakkannya.

Jadi, pada dasarnya kita sebenarnya mampu untuk shalat tahajud dan shaum Senin-Kamis. Namun, terkadang kita tidak punya tekad untuk melaksanakannya, kita tidak punya penggerak untuk itu. Kita sebenarnya mampu untuk mengubah diri kepada yang lebih baik, tetapi kita tidak punya tekad untuk itu. Setelah tekad, kunci kedua adalah "ilmu" memahami diri. Memahami dan mengenali diri ada ilmunya. Sebagai ilustrasi, jika saya harus mengadakan ceramah di Yogya, saya harus tahu berapa lama dan berapa panjang jarak menuju Yogya itu. Dengan pengetahuan saya terhadap seluk beluk Yogya, saya akan bisa mengelola diri secara efektif. Demikian pula halnya untuk membersihkan hati dan memahami diri kita, akan berlangsung efektif jika kita benar-benar mengenal benar diri kita sampai yang sekecil-kecilnya.

Dengan demikian, seseorang bisa membersihkan hati apabila dia terus-menerus memperbaiki keadaan dirinya yang dirasakan memiliki banyak kekurangan. Ilmu memahami diri ini berbanding lurus dengan tekad. Semakin keras upaya-upaya yang dilakukan seseorang untuk menelusuri siapa dirinya, tentulah tekad untuk memperbaiki diri semakin besar pula. Lalu, semakin besar tekad tersebut maka semakin besar pula kadar ilmu pemahaman diri yang dimiliki.

Ada sebuah fenomena bahwa kini banyak orang yang lebih suka menyibukkan diri untuk memahami sesuatu di luar dirinya. Mereka kurang berkonsentrasi untuk memahami dirinya sendiri. Seberapa banyak sebenarnya kita menuntut ilmu misalnya menghadiri pengajian, mendengarkan radio, melihat acara-acara di televisi, dan bersekolah menuntut ilmu yang tinggi, yang kemudian berdampak pada penguatan tekad kita untuk memahami diri kita? Apakah kita benar-benar, setiap hari, bersedia memahami diri kita? Inilah pentingnya ilmu mengenali diri. Dari sinilah kemudian lahir apa yang menjadi tahapan ketiga upaya membersihkan hati.

Kunci ketiga adalah rajin mengevaluasi diri. Dalam konsep manajemen waktu ada istilah pemetaan dan pembagian waktu. Jika kita hidup dalam 24 jam sehari, tentu kita bisa memetakan waktu tiap jam, tiap menit, bahkan tiap detiknya. Nah, dari pemetaan tersebut, apakah selama ini kita sudah menyediakan waktu untuk mengevaluasi diri?

Sesungguhnya Allah telah mengingatkan manusia betapa pentingnya waktu. Manusia yang profesional adalah manusia yang mampu mengelola waktunya secara efektif. Manusia yang bernilai adalah manusia yang mampu menyediakan waktunya untuk mengevaluasi diri dan saling menasihati dalam hal kebenaran dan kesabaran. "Demi waktu, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan menetapi kesabaran." (QS al-Ashr [103]: 1-3)

Sehari-hari kita menghadapi berbagai sifat dan watak orang, termasuk merasakan watak diri kita sendiri. Jika orang lain membentak ataupun menegur kita yang sombong, otak kita akan merespons apa itu sombong dan apa yang menyebabkan saya sombong. Lalu, hati kita pun diajak berdialog: "Benarkah saya sombong?" Proses itu terjadi karena kita sudah mengenal kriteria (ilmu) kesombongan. Dengan kriteria itulah kita mengetahui hakikat sombong dan akibatnya. Dari situ kita lalu berpikir: "Wah, benar saya ini sombong" atau "Ah, rasanya saya biasa saja, tidak sombong." Proses berpikir ini biasa disebut tafakur. Jika kita sombong, apakah bisa kita menahan kesombongan itu? Jika kita merasa tidak sombong, benarkah apa yang kita lakukan bukan merupakan kesombongan?

Nah, lebih jelasnya bisa saya contohkan seperti ini. Dahulu saya tidak tahu mengapa di wajah saya tumbuh jerawat. Lantaran saya tidak mengerti ilmu perjerawatan ini, saya pun suka mengorek-ngorek jerawat. Akhirnya, jerawat malah timbul banyak. Dan kadang-kadang karena ketidaktahuan saya tentangnya, muncullah infeksi di wajah saya. Namun, setelah saya tahu ilmu perjerawatan, akhirnya saya malah dapat membersihkan jerawat saya. Misalnya saja, jerawat itu akan muncul apabila wajah saya kotor, dan sebagainya. Saya lalu mampu mengendalikan wajah saya dan akhirnya wajah saya bersih dari jerawat.

Kunci keempat adalah upaya membuka diri terhadap kritik yang datang dari luar diri kita. Di sinilah seseorang bisa mempraktikkan kebesaran hati yang dimilikinya. Ia akan dengan lapang dada menerima ketidaksenangan dan keraguan orang lain terhadap dirinya.Bukankah kita sangat diuntungkan dengan adanya pribadi-pribadi yang secara ikhlas mengontrol sikap kita? Mengapa kita harus khawatir dan takut dikritik? Bukankah kritik pedas yang ditujukan kepada kita sama halnya dengan rezeki yang tidak disangka-sangka? Mengapa rezeki? Karena kita sudah dibantu oleh orang-orang di sekitar kita (mungkin termasuk orang-orang yang membenci kita) untuk senantiasa memberikan masukan kepada kita dan masukan itu sangat berharga bagi ikhtiar perbaikan diri.

Terakhir, kunci kelima yaitu becermin pada perilaku orang lain. Kita tidak akan mungkin membersihkan kotoran ataupun kumis dan janggut di wajah jika tidak menggunakan cermin. Cermin memberikan kesempatan bagi kita untuk melihat secara jelas apa yang sebelumnya tidak terlihat. Dalam kehidupan dan perilaku sehari-hari, cermin adalah orang-orang di sekitar kita, baik yang kita kenal akrab maupun yang belum kita kenal. Allah menciptakan berbagai orang dengan berbagai sifat sebagai cermin bagi kita. Subhanallah!

Sifat orang akan bermanfaat sebagai cermin jika kita mengenakan ukuran-ukuran sifat itu kepada diri kita sendiri. Misalnya, jika kita melihat seseorang menunjukkan kesombongannya, lantas diri kita hanya bisa berkata, "Ah, sombong betul orang itu," atau kemudian apakah keadaan sombong itu kita kembalikan kepada diri kita? Tentulah tidak ada gunanya apabila kita hanya mengatakan bahwa, "Orang itu sombong". Yang akan bermanfaat bagi kita adalah jika kesombongan yang terjadi di dalam diri orang lain itu kita kendalikan agar kita tidak menjadi sombong.

Sebenarnyalah perilaku orang-orang di sekitar kita bisa menjadi percepatan pembelajaran bagi kita untuk membersihkan hati. Kita menjadikan hidup ini lebih efektif dengan mempelajari perilaku orang-orang di sekitar kita untuk memperbaiki diri, bahkan hal ini lebih efektif daripada sekadar membaca buku tentang pengembangan diri yang lebih banyak dimuati teori. Misalnya, ada orang yang kata-katanya gampang menyakiti orang lain. Hidup kita akan menjadi efektif jika kita tidak memberikan komentar atas orang itu dan kita berupaya saja terhindar agar tidak menjadi orang seperti itu. Wallahua'lam.

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

Melejitkan Potensi Diri

Semoga kita benar-benar menjadi orang yang selalu dapat membaca situasi dengan cermat karena tanpa kemampuan membaca situasi kita biasanya salah dalam menempatkan sesuatu. Di dalam manajemen diri dibutuhkan keterampilan mengukur diri karena andaikata mempunyai percaya diri yang berlebihan pun dapat menjadi masalah.

Kesuksesan-kesuksesan yang diraih seseorang membuat orang percaya diri berlebihan sehingga dia menjadi salah mengukur dirinya sendiri, menjadi ceroboh, dia tidak mau mendengar nasihat ataupun pendapat orang lain, tidak memerlukan dukungan orang lain, tidak memerlukan pikiran orang lain. Maka jika kita salah dalam mengukur diri, itu merupakan sebuah kegagalan.

Contoh kesalahan mengukur diri adalah ketika kita merasa pandai, padahal tidak, maka akhirnya tugas yang seharusnya diselesaikan ternyata tidak dapat terselesaikan dengan baik. Maka jangan heran jika akhirnya menjadi stres. Dengan demikian, maka kita harus terampil mengukur diri dan membaca situasi yang tepat, sehingga kita bisa menempatkan segala sesuatu dengan baik.

Perasaan minder juga merupakan salah satu ciri seseorang salah dalam mengukur diri. Biasanya minder itu akan menyebabkan seseorang sering mendramatisasi kekurangan dirinya, seakan-akan kekurangan lebih dominan. Padahal sebenarnya dia mempunyai kemampuan, tetapi justru tenggelam oleh rasa mindernya.

Perasaan minder biasanya memang akan menimbulkan masalah. Orang yang selalu minder cenderung sulit untuk berkembang. Dia akan menghindar untuk bertemu orang lain, menghindar untuk merespons pembicaraan orang lain. Akibatnya dia akan kekurangan input, sehingga kesempatannya untuk maju menjadi kurang. Padahal kalau setiap kali mencoba sesuatu yang bermanfaat maka kemampuan kita insya Allah akan berkembang pesat.Terlalu percaya diri akan menimbulkan masalah, kurang percaya diri juga akan menimbulkan masalah. Dari sini bias kita simpulkan bahwa kalau seseorang tidak mengenal dirinya dengan tepat, maka dia hanya akan menimbulkan masalah ketika berinteraksi dengan lingkungannya.

Dengan demikian, maka diperlukan kemampuan untuk melihat diri dengan jujur. Puji-pujian yang ditujukan kepada kita kadang-kadang memang dapat memotivasi, tetapi jika tidak realistis dan proporsional justru tidak baik juga. Justru cacian merupakan feedback dari perbuatan yang telah kita lakukan. Cacian juga terkadang tidak realistis, tetapi bisa juga menjadi input terhadap kekurangan walaupun mungkin cara menyampaikan kurang etika.

Itulah beberapa hal yang harus selalu direnungkan. Mengapa kita harus terampil untuk mengukur diri kita sendiri secara proporsional? Itu semua supaya kita semua memiliki program pengembangan diri yang baik, kita jangan berat mengakui kekurangan kita, memang hal itu akan membuat kita menjadi malu di hadapan orang lain tetapi malu tidak dapat menyelesaikan masalah. Kita butuh energi untuk bisa maju tanpa dibebani malu yang tidak produktif. Malu sebagian dari iman, sepanjang mengelola malu itu menjadi sesuatu yang membawa makna, apabila dengan itu kita mampu dan berani melihat diri kita sendiri dengan jujur.

Menggalang potensi diri
Sungguh tiada terkira nikmat Allah Yang Maharahim kepada umat Islam bahkan umat manusia. Allah SWT melengkapi manusia dengan kesempurnaan fisik, kemampuan berpikir, dan sarana yang melimpah ruah di jagad alam semesta ini. Namun, mengapa umat manusia seolah-olah tidak pernah menyadari bahwa semua karunia tersebut semata-mata Allah sediakan untuk kaperluan ibadah? Jawabannya tiada lain karena bisikan setan yang tiada henti-hentinya membakar hawa nafsu manusia, sehingga kotorlah kalbu tempat Allah menanamkan benih-benih fitrah kebaikan dalam diri kita.

Karena kalbu kotor manusia cenderung menuruti hawa nafsu. Na'udzubillah. Apa upaya kita untuk membersihkan kalbu yang kotor ini? Hanya ada satu dan butuh perjuangan yang sangat keras, yaitu kembali kepada fitrah manusia yaitu Alquran dan Sunnah. Itulah prestasi yang hakiki, dan itulah yang menjadi garapan kita bersama. Kembangkan gairah prestasi fitrah yang kita miliki ini karena hidup hanya satu kali saja. Tanamkan keyakinan bahwa hidup adalah untuk mengukir prestasi yang bermakna bagi dunia dan berarti bagi akhirat nanti. Untuk itu, kita harus mampu memanfaatkan semaksimal mungkin waktu yang ada agar tidak terbuang sia-sia.

Untuk menjadi orang yang berprestasi, setidaknya ada dua hal yang harus kita perhatikan. Pertama, selalu berusaha sekuat tenaga untuk menjaga nama baik, karena nama baik akan membentuk citra positif bagi kita di masyarakat sehingga orang lain mau membuka diri dan bekerja sama dengan kita. Kedua, selalu berusaha sekuat tenaga untuk menambah wawasan dan mengembangkan keilmuan. Tidak ada kata terlambat untuk belajar, mengenal, memahami, dan mengamalkan sesuatu hal yang bermanfaat bagi kita dan orang lain, usia yang terus bertambah bukan menjadi halangan bagi seseorang untuk terus meningkatkan kualitas diri.

Oleh karena itu, bagi orang-orang yang tidak pernah memperhitungkan nama baik dengan bersikap tidak jujur, licik, janji tidak ditepati, tidak disiplin, berdusta, dan berkhianat, maka hal tersebut akan merugikan diri sendiri. Lambat laun kredibilitas kita di masyarakat akan hancur, sehingga kehadiran kita pun tidak akan diperhitungkan.

Saudaraku, sudah menjadi suatu keharusan bagi siapa pun untuk terus menerus menggalang potensi kekuatan yang ada pada dirinya. Hal tersebut akan terlaksana apabila kita mulai menerapkan kedisiplinan pada diri sendiri. Untuk memaksimalkan potensi diri, kita harus berniat untuk terus belajar dan mengembangkan diri, membiasakan diri untuk tidak bergantung pada orang lain dan selalu berusaha untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan.

Kita harus selalu berusaha untuk mengoptimalkan kemampuan dengan seluruh daya upaya, sehingga menjadi manusia unggul yang selalu berkarya dengan diiringi amar ma'ruf nahi munkar. Yakinlah, bahwa setiap manusia berpotensi untuk menjadi orang yang profesional di bidangnya. Untuk itu haruslah ditegakkan disiplin tinggi dalam ibadah, disiplin dalam waktu, disiplin dalam ketertiban, disiplin dalam menjalankan peraturan dan tugas serta hal-hal lainnya yang positif. Sungguh siapa pun yang tidak memiliki disiplin dalam melaksanakan suatu program, tidak akan ada maknanya dan tidak akan bermanfaat bagi dirinya apalagi bagi orang lain.

Kita harus bermental baja, pantang menyerah, pantang mengeluh dalam menghadapi hambatan apapun, tidak melakukan suatu pekerjaan dengan setengah-setengah, selalu berusaha melakukan yang terbaik, antisipatif terhadap perubahan dan selalu siap menyikapi perubahan. Jadikan hari kita sebagai hari-hari berkualitas, berharga tinggi di depan Allah, jam demi jam maupun detik demi detik berharga sangat tinggi di hadapan Allah. Oleh karena itu tidak patut kita bermalas-malasan atau melakukan sesuatu yang sia-sia. Semoga semakin hari kita semakin menyadari bahwa hidup adalah untuk berprestasi, bermakna bagi dunia dan berarti bagi akhirat. Wallahu'alam.

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

Membangun Kekuatan Ekonomi Syariah

Oleh : KH Didin Hafidhuddin



Salah satu langkah strategis yang diusulkan oleh peserta Kongres Umat Islam Indonesa (KUII) yang ke-4, yang diselenggarakan di Jakarta pada 17-21 April 2005, adalah: "Membangun kekuatan ekonomi umat yang dapat meningkatkan kesejahteraan bersama secara adil dan merata sesuai dengan prinsip-prinsip syariah." Bersamaan dengan itu, disampaikan pula sebuah rekomendasi, yaitu: "Mendesak pemerintah untuk memberlakukan dual economic system; konvensional dan syariah sebagai sistem ekonomi nasional."

Langkah dan rekomendasi itu diusulkan setelah disadari sepenuhnya bahwa salah satu penentu kualitas umat adalah terletak pada kekuatan ekonomi yang diselenggarakannya. Dakwah di bidang ekonomi merupakan sebuah keniscayaan sekaligus kewajiban dan kebutuhan, sebagaimana telah pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Mereka dapat mengendalikan kegiatan ekonomi terutama di bidang perdagangan, mampu mengendalikan pasar dan melakukan kerja sama (networking) antara produsen dengan konsumen yang semuanya diikat dan dilandasi oleh nilai-nilai syariah Islamiyah.

Dalam sebuah hadis shahih, Rasulullah SAW bersabda: Kami adalah kaum yang tidak pernah mengkonsumsi sesuatu kecuali makanan dari orang-orang yang bertakwa, dan tidak pernah mengkonsumsi kepada makanan kami kecuali orang yang bertakwa pula." Kondisi ini telah menyebabkan terbentuknya masyarakat yang kuat, sejahtera, dan terpenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak dan memadai, tanpa disertai kesenjangan sosial antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.

Di samping itu disadari dan diyakini pula, bahwa ekonomi konvensional yang berlandaskan pada sistem ribawi, ternyata banyak memiliki kekeliruan dan kesalahan dalam sejumlah premisnya, terutama rasionalitas ekonomi yang telah mengabaikan moral. Para pakar ekonomi seperti Fritjop Chapra dalam bukunya, The Turning Point, Science, Society and The Rising Culture (terj. 1999) dan Ervin Laszio dalam 3rd Millenium, The Challenge and The Vision (terj. 1999), mengungkapkan bahwa kelemahan dan kekeliruan itulah yang antara lain menyebabkan ekonomi (konvensional) tidak berhasil menciptakan keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi umat manusia. Yang terjadi justru sebaliknya, ketimpangan yang semakin tajam antara negara-negara dan masyarakat yang miskin dengan negara-negara dan masyarakat yang kaya, demikian pula antara sesama anggota masyarakat di dalam suatu negeri. Lebih lanjut mereka menegaskan bahwa untuk memperbaiki keadaan ini, tidak ada jalan lain kecuali mengubah paradigma dan visi, yaitu melakukan satu titik balik peradaban, dalam arti membangun dan mengembangkan sistem ekonomi yang memiliki nilai dan norma yang bisa dipertanggungjawabkan.

Para ekonom Muslim sendiri, seperti M Umer Chapra, Khursid Ahmad, Muhammad Nejatullah Shiddiqi, dan yang lainnya, sesungguhnya telah berusaha lama untuk keluar dari kondisi ini dengan mengajukan gagasan-gagasan ekonomi alternatif yang sering disebut sistem ekonomi Islam atau sistem ekonomi Syariah. Yang menarik adalah institusi ekonomi berlandaskan syariah ini ternyata telah memberikan harapan-harapan yang cukup menggembirakan, karena mampu bertahan dalam kondisi krisis ekonomi. Bank syariah, asuransi syariah, dan lembaga keuangan syariah lainnya kini tumbuh dan berkembang dengan pesat, walaupun masih banyak memiliki kekurangan dan kelemahan yang harus diperbaiki dan disempurnakan secara optimal.

Harus diakui bahwa ketika pemikiran dan konsep tentang ekonomi syariah ini diperkenalkan, kemudian diimplementasikan dalam berbagai institusi tersebut, sebagian dari kaum Muslimin banyak yang ragu dan tidak percaya, bahwa ajaran Islam berkaitan dengan dunia ekonomi, perbankan, pasar modal, asuransi, dan lain sebagainya. Sikap yang semacam ini mungkin diakibatkan oleh pandangan bahwa ajaran Islam sama dengan ajaran agama lain yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya secara individual. Padahal ajaran Islam adalah ajaran yang bersifat komprehensif dan universal, yang mengatur seluruh tatanan kehidupan manusia.

Kaum Muslimin diperintahkan untuk mengaplikasikan ajaran tersebut dalam semua tatanan kehidupannya, termasuk di bidang ekonomi. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam QS Al Baqarah ayat 208: "Wahai orang-orang yang berfirman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu."

Tiga Langkah Strategis
Dalam memperkuat sistem ekonomi syariah, paling tidak terdapat tiga langkah strategis (Adiwarman Karim, 2005) yang harus dilakukan oleh kaum Muslimin secara bersama-sama, baik para alim ulama dan para tokoh, para pakar, dan masyarakat secara luas, sebagai realisasi dari hasil Kongres Umat Islam tersebut, yaitu pengembangan ilmu ekonomi syariah, pengemabngan sistem ekonomi syariah dalam bentuk regulasi dan peraturan, serta pengembangan ekonomi umat.

Pertama, pengembangan ilmu ekonomi syariah dapat dilakukan melalui dunia pendidikan formal maupun non formal, baik itu di kampus-kampus, lembaga penelitian ilmiah, kelompok-kelompok kajian, media massa, pondok-pondok pesantren dan lainnya. Alhamdulillah kini ekonomi syariah, secara formal telah menjadi kurikulum di beberapa perguruan tinggi, sehingga dikaji dan dipelajari secara sistematis dan terorganisasi dengan baik.

Kedua, ditumbuhkembangkan regulasi-regulasi yang mendukung penguatan ekonomi syariah dalam praktik, baik melalui institusi keuangan maupun melalui kegiatan bisnis dan usaha riil. Harus diakui, peran Bank Indonesia (Direktorat Perbankan Syariah) sangat besar, yang selalu bekerja sama dengan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dalam melahirkan berbagai regulasi. DSN MUI pun sangat aktif di dalam menjawab (dalam bentuk fatwa) berbagai permasalahan yang diajukan maupun yang ditemukan dalam praktik keseharian. Kerjasama yang harmonis selama ini harus terus menerus dijaga dan diperkuat, apalagi salah satu agenda utama sekarang adalah mengusahakan Rancangan Undang-Undang Perbankan Syariah menjadi sebuah Undang-Undang yang memiliki kekuatan hukum yang bersifat pasti.

Ketiga, ketika ekonomi syariah dikembangkan dan didukung oleh sebuah sistem yang baik, maka yang paling penting adalah membangun perekonomian umat secara nyata, sehingga bisa dirasakan secara lebih luas oleh masyarakat dalam bentuk pengembangan sektor riil dengan ditopang oleh lembaga keuangan yang berbasis syariah. Sehingga pada akhirnya diharapkan produktivitas dan kegiatan ekonomi masyarakat akan lebih meningkat. Kita berharap sistem ekonomi syariah (dengan langkah-langkah tersebut di atas) akan berkembang dari ekonomi alternatif menjadi satu-satunya sistem ekonomi yang mampu mensejahterakan umat dan bangsa kita, sekarang maupun di masa yang akan datang.

(

Menangkal Panah-Panah Setan

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

Apa yang akan dilakukan ketika kita akan pergi ke medan perang? Tentu, kita akan mempersiapkan diri sebaik mungkin, termasuk mempersiapkan fisik, mental, persenjataan, penguasaan medan, plus strategi jitu untuk memenangkan peperangan. Sangat konyol maju ke medan perang tanpa memiliki persiapan apa pun.

Sesungguhnya, hidup dapat dianalogikan sebagai medan perang. Prinsip yang berlaku di sini adalah menang atau kalah, menjadi pemenang atau pecundang. Hadiah yang disediakan pun sangat fantastis. Surga yang abadi bagi pemenang, dan neraka yang kekal bagi pecundang. Namun berperang dengan siapa? Tentu saja berperang dengan setan. Dialah musuh terbesar dan paling nyata bagi manusia. Allah SWT berfirman, Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu (QS Al Baqarah [2]: 208).

Berperang melawan setan, tentunya tidak sama dengan berperang melawan manusia. Setan itu lebih canggih tipu dayanya, lebih profesional pekerjaannya, lebih banyak jumlahnya, serta tidak tampak wujudnya. Tanpa kesungguhan untuk menghadapinya, kita akan menjadi bulan-bulanan mereka. Bagaimana tidak, di mana pun dan kapan pun, setan bebas menembakkan panah-panah beracun kepada kita, tanpa kita menyadarinya. Setan akan membidikkan panah asmara ke dalam hati dua orang yang bukan muhrim untuk berzina. Setan akan membidikkan panah ke mata manusia, sehingga ia merasa nikmah melihat hal-hal yang diharamkan. Membidikkan panah ke lidah manusia, sehingga ia bergibah, memfitnah, namimah, serta berdusta. Dsb.

Bagaimana memenangkan perang dengan musuh seperti ini? Perlindungan dari Allah menjadi kata kunci. Dalam QS Al A'raaf [7] ayat 200, Allah SWT memberikan jaminan, Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Salah cara mendapatkan perlindungan Allah adalah dengan zikir, atau senantiasa mengingat dan bergantung kepada Allah Dzat Yang Mahakuasa.

Karena itu, Rasulullah SAW bersabda, Aku perintahkan kepada kalian agar selalu berzikir kepada Allah. Sesungguhnya, perumpamaan orang yang berzikir itu seperti seorang yang dicari-cari oleh musuhnya. Mereka menyebar mencari orang tersebut sehingga ia sampai pada suatu benteng yang sangat kokoh dan ia dapat melindungi dirinya di dalam benteng tersebut dari kejaran musuh. Begitu juga setan. Seorang hamba tidak akan dapat melindungi dirinya dari setan, kecuali dengan berzikir kepada Allah.

Zikir dapat kita ibaratkan sebagai tameng, pakaian perang atau baju anti peluru yang akan melindungi seluruh tubuh serta jiwa kita dari panah-panah beracun yang dibidikkan setan. Itulah sebabnya Rasulullah SAW mencontohkan ibadah-ibadah wajib serta sunnat kepada kita. Mulai dari shalat lima waktu yang dilengkapi shalat rawwatib, tahajud, dhuha, dsb, sampai shaum Ramadhan yang dilengkapi dengan shaum-shaum sunnat lainnya. Beliau pun memberi panduan berupa aneka zikir serta doa yang layak kita ucapkan dalam berbagai kesempatan. Setiap aktivitas ada doanya, minimal dengan membaca basmallah, serta mengakhirinya dengan hamdallah.

Jika semua panduan ini diamalkan dengan ikhlas serta penuh kesungguhan, niscaya hari-hari kita akan menjadi hari-hari penuh kemenangan. Betapa tidak, seluruh anggota badan akan terlindung dari maksiat. Efeknya, hati akan tenang, pikiran akan jernih, doa ijabah, masalah menjadi mudah, energi kita pun akan optimal, karena hanya dimanfaatkan untuk hal-hal yang produktif serta bernilai tambah. Maka, awalilah hari dengan zikir, isi hari dengan zikir, dan akhiri hari dengan zikir. Namun jangan salah, zikir tidak hanya di masjid. Zikir bisa hadir di kantor, di pasar, di terminal, dan di mana pun kita berada. Semoga kita bisa melakukannya dengan ikhlas. Amin.

Momentum Peningkatan Tiga Kecerdasan

Oleh : (KH Didin Hafidhuddin



Salah satu doa yang selalu dibaca oleh Rasulullah SAW apabila memasuki bulan Rajab adalah: "Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada kami di bulan Rajab, keberkahan di bulan Sya'ban, dan sampaikanlah usia kami pada bulan Ramadhan." Melalui doa ini, Rasulullah mengingatkan kita betapa bulan Ramadhan itu, bulan yang harus senantiasa ditunggu-tunggu kehadirannya oleh orang-orang yang beriman.

Bulan Ramadhan itu, di samping bulan ibadah yang memanen pahala, sekaligus bulan latihan untuk membangun jati diri orang yang beriman, untuk ditingkatkan menjadi orang yang bertakwa, yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, yang sangat dibutuhkan dalam membangun masyarakat yang sejahtera. Sebagaimana firman-Nya dalam QS Al-Baqarah ayat 183: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."

Paling tidak ada tiga kecerdasan yang perlu ditumbuhkan melalui latihan-latihan selama ibadah di bulan suci Ramadhan. Pertama, Kecerdasan emosional. Kecerdasan ini berkaitan dengan kemampuan pengendalian diri dalam merespons berbagai macam keadaan. Pengendalian diri ketika mencintai dan membenci sesuatu supaya tidak berlebih-lebihan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Rasulullah bersabda: "Cintailah sesuatu itu (orang yang kamu cinta) secara sederhana, karena boleh jadi engkau akan membencinya pada suatu ketika, dan bencilah sesuatu itu (orang yang kamu benci), secara sederhana, karena boleh jadi engkau akan cinta padanya suatu ketika."

Pengendalian diri ketika berhadapan dengan orang-orang yang berbeda pendapat dengan kita atau mungkin berseberangan dengan kita, untuk tetap menganggap mereka sebagai saudara sesama anak bangsa. Bahkan dengan sikap ini diharapkan budaya saling memaafkan akan tumbuh dan berkembang dengan baik. Bahkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Huzaimah, Ibnu Hibban dan Hakim, Rasulullah SAW bersabda: "Tidaklah puasa itu hanya (menahan diri) dari makan dan minum saja. Sesungguhnya puasa itu (meninggalkan) perbuatan yang tidak ada gunanya, dan ucapan kotor. Jika ada seseorang yang menghinamu, membodoh-bodohkanmu, maka katakanlah bahwa aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa (tiga kali)."

Kecerdasan emosional semacam itu, akan mengikis sifat saling dengki-mendengki antara sesama anak bangsa, antara suku dan etnis, bahkan antarpemeluk agama yang berbeda. Dengan kecerdesan ini, diharapkan kita dapat melaksanakan tiga hal yang disebut dengan afdhalul fadhail (perbuatan yang paling utama di antara yang utama), yaitu: bersilaturahmi dengan orang yang memutuskannya, memberi pada orang yang tidak pernah memberi, dan memaafkan orang yang berlaku kurang baik pada kita. (HR Imam Thabrani dari Mu'adz bin Jabal).

Kedua, kecerdasan spiritual. Kecerdasan ini berkaitan dengan arah dan tujuan hidup yang jelas, yaitu bukan semata-mata ingin mendapatkan jabatan dan materi yang sebanyak-banyaknya, sehingga mempergunakan dan menghalalkan berbagai macam cara. Akan tetapi, juga kebahagiaan yang bersifat ruhaniyah yang dilandasi dengan ajaran agama. Kejujuran, keadilan, jauh dari budaya dan perilaku syirik yang ditanamkan melalui ibadah shaum, akan menghantarkan pada kenikmatan hidup yang hakiki, dan kecerdasan spiritual yang tinggi.

Setiap orang akan merasakan betapa jujur, adil dan amanah adalah sesuatu yang sangat indah dan sangat nikmat. Hidup akan terasa gersang dan hampa apabila tidak dibingkai oleh sifat-sifat tersebut. Rakus, tamak, dan korup pasti akan selalu dijauhkan dalam kamus kehidupan orang yang memiliki kecerdasan spiritual, karena ia sadar, bahwa kerakusan dan ketamakan akan membawa pada kefakiran. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Nabi SAW dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani: "Jauhilah oleh kalian sifat tamak (rakus), karena sesungguhnya sifat ini (tamak/rakus) adalah kemiskinan yang nyata."

Kecerdasan spiritual akan membawa pula pada sikap berpikir untuk senantiasa membawa ajaran agama dalam seluruh tatanan kehidupan. Tidak ada dikotomi dan tidak ada sekularisasi dalam kehidupannya. Semua harus terkait dengan ketentuan Allah SWT. Ketika beraktivitas di masjid, di pasar, di kantor-kantor pemerintahan, di kampus, di jalan raya, maupun di dalam keluarga. Hal ini sejalan pula dengan firman Allah dalam QS Al-Baqarah: 208 yang artinya: "Hai sekalian orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh kalian yang sangat nyata."

Ketiga, kecerdasan sosial. Kecerdasan dalam pengertian selalu memiliki rasa empati, simpati dan selalu ingin menolong orang yang mendapatkan kesulitan dalam kehidupannya. Kecerdasan sosial ini, akan mengikis habis sifat egois, kikir dan materialis, dan digantinya dengan sifat kedermawanan. Ibadah shaum melatih dan mengajarkan seseorang untuk merasakan betapa beratnya haus dan lapar itu. Padahal haus dan laparnya orang yang berpuasa bersifat sementara dan terbatas, yaitu mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.

Bagaimana halnya dengan orang yang sepanjang hidupnya merasakan lapar, haus dan dahaga? Tidaklah pantas membiarkan mereka dalam keadaan lapar dan haus tersebut secara terus-menerus. Ibadah shaum menanamkan, bahwa kita adalah bagian dari mereka dan mereka pun adalah bagian dari kita. Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: "Engkau akan melihat orang-orang yang beriman dalam kasih sayang mereka, dalam kecintaan mereka dan dalam keakraban mereka antar sesamanya adalah bagaikan satu tubuh. Apabila salah satu anggotanya merasakan sakit, maka sakitnya itu akan merembet ke seluruh tubuhnya, sehingga (semua anggota tubuhnya) merasa sakit, dan merasakan demam (karenanya)."

Bagi orang yang memiliki kecerdasan sosial yang tinggi, yang terimplementasikan dalam sikap kedermawanan, akan mendapatkan anugerah kedekatan atau takarrub dengan Allah SWT dan dengan sesama manusia. Dan sebaliknya, orang yang asosial dan bakhil akan mendapatkan adzab, jauh dari Allah dan jauh dari manusia. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Rasulullah bersabda: "Orang yang pemurah itu dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dekat dengan surga, dan jauh dari neraka. Dan orang yang bakhil itu jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga, dan dekat dengan neraka. Orang yang jahil (bodoh) tapi pemurah, itu lebih dicintai Allah daripada ahli ibadah tapi bakhil."

Selamat menunaikan ibadah shaum. Semoga akan dapat meningkatkan kualitas kecerdasan kita, sehingga kita akan semakin mampu dalam menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa yang semakin hari semakin kompleks dan semakin berat. Wallahu A'lam bi ash-Shawab.

)

Dunia Nyata Umat

Oleh :Haedar Nashir


Umat Islam di negeri ini jumlahnya mayoritas. Tahun 2000 persentasenya 89,22 persen dari total penduduk. Patut disyukuri bahwa jumlah sebesar itu telah mengantarkan Indonesia menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Tak berlebihan jika setiap dinamika Islam yang muncul di Nusantara tercinta ini selalu menjadi perhatian dunia, bahkan untuk isu terorisme yang sangat merugikan nama baik umat sekalipun.

Namun besar angka tak berarti selesai urusan. Mayoritas jumlah tapi minoritas dalam kualitas. Umat marginal secara politik, sekadar jadi maf'ul-bih alias objek penderita. Tertinggal dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Masih rendah mutu sumber daya manusianya. Kondisi kesehatan dan lingkungannya pun masih memprihatinkan. Lebih parah lagi kondisi ekonominya, masih dililit kemiskinan.

Kemiskinan bahkan masih menjadi momok terbesar umat Islam di negeri kepulauan nan luas ini. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga saat ini. Di era reformasi keadaan umat yang miskin tidak lebih baik. Padahal dari kemiskinan itulah segala hal bermula. Tak bisa memenuhi kecukupan makan, sandang, dan papan. Kesehatan rendah. Taraf pendidikan di bawah standar, bahkan ada yang tak bersekolah. Kondisi kesejahteraan pun tak memenuhi harapan hidup. Hidup umat jadi serba marginal.

Karena serba marginal, umat Islam di negeri ini tak bertenaga. Tidak memiliki daya hidup yang kuat, apalagi di atas standar. Kekuatannya sebatas demografis, itu pun terfragmentasi. Lebih sebagai kekuatan semu seperti gincu. Tampak dahsyat dari luar, tapi bagaikan genangan danau.

Menggelembung tak mengalir. Meminjam istilah Pak AR Fakhruddin, ibarat gajah bengkak (gajah abuh). Besar dan berpenyakit, karenanya sulit bergerak lincah. Padahal gerak merupakan lambang daya hidup selaku khalifat fiy al-arld.

Di negeri-negeri muslim pun kondisi umat tak jauh beda, kendati di Timur Tengah secara ekonomi baik. Tapi di negeri-negeri Afrika sangat parah, bahkan di bawah Indonesia. Sementara kaum Muslim di Timur Tengah secara politik tak dapat jadi uswah hasanah. Mereka tak berdaya melawan Israel, hingga sejak tahun 1948 belum berhasil membebaskan Palestina. Padahal negeri Zionis itu wilayahnya sempit, penduduknya hanya enam juta, dan posisinya dikepung negara-negara Arab yang kuat secara ekonomi dan militer. Negeri-negeri Islam itu besar tapi tak bersatu. Apa daya, jumlah besar bagaikan buih. Besar dengan gelembung putih tak berisi.

Padahal Tuhan telah memberi janji bahwa umat Muhammad ini akan menjadi khalifah yang berkuasa di muka bumi sebagaimana kejayaan umat terdahulu (QS An-Nur: 55). Janji Tuhan sangatlah tepat dan pasti, lebih-lebih diungkapkan dengan kalimat ta'qid (penguat). Namun karena tak memenuhi syarat, maka umat Islam masih belum jaya. Tak memenuhi syarat untuk menjadi khalifah yang digdaya di muka bumi ini.

Di negeri Nusantara tercinta ini apa yang bisa dilakukan dengan umat yang lemah atau marginal? Tak banyak yang dapat dilakukan, sebatas ikhtiar minimal. Bahkan sebaliknya, banyak yang menjadi bahan mobilisasi tak bertanggung jawab. Lebih-lebih mobilisasi politik dalam berbagai perhelatan. Ketika pemilu dan pilkada hingga pilkades mereka disapa dan kadang dimanjakan, tetapi sehabis pesta umat ditinggalkan dan tak dihiraukan. Para elite dan partai politik pun begitu gairah kalau sedang ada maunya. Mujahadah akbar, khaul, tabligh akbar, dan perhelatan berbau ritual agama pun digelar dengan penuh semangat. Tetapi usai hajat digelar, umat pun gigit jari.

Di negeri ini bahkan ada asumsi sekaligus komoditi politik menarik untuk umat yang marginal. Politik Islam katanya sangatlah penting dan strategis untuk amar makruf nahi munkar melalui kekuasaan. Melalui tangan negara. Memang tepat jika dijalankan. Negara dan institusi-institusi politik yang berada di dalamnya merupakan tangan yang efektif dan strategis untuk mengurus rakyat, termasuk umat Islam. Apa yang tak mampu dilakukan oleh tangan-tangan kekuasaan.

Namun apa daya. Negara, partai politik, dan para elite strategis di dalamnya hingga saat ini tak mampu menjalankan amanat rakyatnya, amanat umat. Keadaan bahkan sebaliknya, umat sekadar jadi sasaran mobilisasi belaka. Ketika umat dirundung musibah dan dililit kesusahan hidup, pemimpin puncak sibuk dengan tebar pesona dan urusan-urusan citra, juga sibuk dengan rencana politik 2009. Partai dan elite politik di parlemen pun lebih banyak mengurus dirinya, termasuk urusan kenaikan gaji dan tunjangan.

Partai politik Islam pun seolah tak jauh beda. Tak sungguh-sungguh peduli dengan urusan umat yang besar-besar seperti memecahkan kemiskinan, pengangguran, dan kesejahteraan rakyat/umat melalui kebijakan-kebijakan politik pro-rakyat. RUU APP saja hingga kini tak jelas nasibnya, padahal bagi umat itu penting karena menyangkut ikhtiar membangun akhlak dan melawan demoralisasi yang makin liar. Kadang umat sekadar diberi kembang gula politik seperti demo para aktivis politik dan pernyataan tokohnya yang menyenangkan hati umat seketika, tetapi tak mengubah keadaan. Apalagi memecahkan kemiskinan, pengangguran, dan marginalisasi sosial umat. Padahal, partai politik sesungguhnya harus bermain di aras kebijakan, bukan dalam kerja-kerja sosial dan keagamaan yang sebenarnya bukan wilayahnya. Partai politik dan para elitenya semestinya bergerak di jalur kekuasaan. Berbuatlah optimal bila perlu mati-matian di level kebijakan negara.

Kepemimpinan umat pun seolah kehilangan fungsinya yang efektif dan strategis untuk memberdayakan umat. Urusan pilkada dan perhelatan-perhelatan politik lainnya sering menyita energi umat dan para elitenya. Menteri Agama sampai melakukan kritik, para ulama sibuk dengan urusan politik, abai dalam mendidik dan mencerahkan umat. Nalar umat dipadati dengan urusan sesat-menyesatkan paham, yang membuat pikiran umat menjadi bernapas pendek dan hilangnya ruh kearifan dan kecerdasan. Sementara elemen umat yang galak, akhirnya menumpahkan energi keagamaannya untuk selalu marah dan melakukan tindakan kekerasan tanpa pertimbangan panjang, yang pada akhirnya meruntuhkan nama baik dan kehormatan Islam.

Padahal, kata Al-Mawardi, kepemimpinan umat itu harus hadir sebagai pantulan kerisalahan Nabi, yakni "fiy harasat al-din wa al-siyasat al-dunya". Menegakkan nilai-nilai agama dan mengurus urusan dunia dengan sebaik-baiknya. Nilai-nilai agama yang berbasis kerisalahan Nabi, tiada lain menjadi rahmat bagi semesta alam sebagaimana deklarasi Tuhan untuk risalah Muhammad: wa ma arsal-n-ka illa rahmatan lil-'alamin (QS Al-Anbiya: 107). Sedangkan siyasah (politik) adalah "sawas al-amr", mengurus urusan sesuatu (dunia) dengan baik dan benar, bukan pekerjaan siasat menyiasati dan akal-akalan.

Memang, tak mudah menghadirkan politik dan kepemimpinan umat yang membumi, yang menyentuh dunia nyata. Lebih-lebih dalam masyarakat dan bangsa yang masih dibalut budaya parokhial dan patrimonial. Dua institusi terpenting umat itu seringkali gagal dalam menyentuh dan memecahkan masalah-masalah konkret yang dihadapi umat. Apalagi untuk merambah persoalan-persoalan universal yang serba melampaui dunia umat. Kultur politik dan kepemimpinan umat alih-alih tak mampu menyelesaikan urusan-urusan dunia yang kompleks dan nyata, malah giat memproduksi simbol dan pesona kulit luar. Merah menyala di angkasa, tapi kehilangan substansi dan fungsi untuk membebaskan dan mencerahkan kehidupan umat di dunia nyata.

Kapitalisasi Politik

Oleh : Haedar Nashir

Apa yang paling laris dijual di negeri ini? Boleh jadi politik. Politik sejatinya merupakan pekerjaan yang mulia. Melalui politiklah urusan-urusan publik dapat dikelola secara efektif, sehingga negara dengan seluruh alatnya dapat difungsikan untuk sebesar-sebesar kemakmuran rakyat. Apa yang musykil dilakukan oleh tangan-tangan sosial masyarakat, dapat dilakukan dengan mudah oleh tangan partai politik maupun para politisi. Itu idealnya.

Kenyataannya? Tak semudah retorika. Kini, politik berubah drastis fungsinya. Politik jadi ajang komoditi, sekaligus alat-tukar yang paling menjanjikan. Dunia politik sungguh telah berubah menjadi pasar bebas, sekaligus pasar taruhan yang paling menggiurkan. Tengoklah bagaimana para calon dalam pilkada di mana saja. Selalu ada obral uang, sekaligus bual janji, untuk menuju tangga jabatan puncak di pemerintahan daerah. Lalu, lahirlah para pialang sekaligus broker politik yang kian mengawetkan dan menggelembungkan budaya politik uang.

Politik uang bukan malah berhenti, tapi kian menjadi-jadi. Kita sungguh miris mendengar kabar, bagaimana uang miliaran begitu mudah jadi alat jaul-beli kepentingan politik dalam berbagai pilkada di negeri ini. Baru mau mendaftar jadi calon saja konon sudah harus mengeluarkan fulus sangat besar, apalagi sudah jadi calon dan terpilih. Tak dapat dibayangkan, bagaimana para pejabat negara/politik itu manakala sesudah terpilih kemudian harus "melunasi utang-utang politik". Lalu, kapan berkonsentrasi untuk mengemban amanat publik secara serius tanpa diganggu oleh tagihan-tagihan "kas-bon politik"? Jabatan publik jadi sulit kembali ke hulunya, yakni rakyat pemberi mandat. Bisa-bisa malah memanjakan cukong.

Kita sungguh sulit memahami denyut nadi politik saat ini. Bukan hanya pragmatis sebagaimana watak dasar politik: who gets what, when and how. Politik, menurut Machiavelli, laksana perjuangan ala Rubah, menempuh apa saja untuk menuju singgasana. Guna menjadi sangat perkasa, virtouse. Tak peduli apakah politik itu dimainkan partai atau politisi "sekuler" atau yang membawa klaim agama, jalan dan hasil akhirnya tetap sama: menempuh segala macam cara. Segala hal menjadi serba boleh, yang beda tampilan dan klaim politiknya.

Kini politik selain pragmatis, menjadi sangat materialistik. Tak ada uang, tak ada jabatan publik. Setiap jengkal langkah, harus ada duit. Dunia politik jadi rimba ber-uang. Uang begitu tampak mudah, entah dari mana? Padahal, konon negeri ini sedang jatuh krisis dan miskin, hingga orang miskin dan penganggur kian membengkak, dan tentu saja utang luar negeri masih tetap jadi beban terberat hingga berapa generasi.

Boleh jadi ini memang zaman kapital? Selamat datang di dunia kapitalisme politik. Suatu era ketika politik memang menjadi bagian dari kerja kaptilalisme neoliberal, yang semakin menggurita dan digdaya. Apa pun menjadi bagian dari kegiatan ekonomi-uang, termasuk politik. Politik menjadi bagian dari ekonomi mengejar serba profit, keuntungan materi, di luar kepentingan kekuasaan dan prestise sosial. Jadi bagian dari mesin produksi yang berorientasi pasar, bahkan pasar bebas dalam cengkeraman nafsu dan sistem liberalisme bahkan neo-liberalisme. Semua kegiatan politik dan yang berkaitan dengannya menjadi proses kapitalisasi.

Para politisi atau orang partai politik tidak lagi risih menggunakan kosakata kapitalisasi politik. Maksudnya mungkin modal politik dari suatu kegiatan politik yang akan menghasilkan akumulasi raihan kekuasaan setelah itu. Tapi, secara tidak sadar sesungguhnya menunjukkan wajah "kapital" dari perpolitikan di negeri ini. Politik jadi bagian tak terpisahkan dengan kegiatan ekonomi dan menggunakan prinsip dan cara kerja bisnis sebagaimana hukum kapitalisme bekerja. Politik semata-mata ingin meraih "profit" akumulasi kekuasaan dan dukungan. Dengan siapa pun berkongsi tak mengapa, yang penting target-target keuntungan politik dapat diraih, jika tidak saat ini maka untuk tahun 2009.

Kejarlah keuntungan sebesar-besarnya, bila perlu dengan menggunakan segala cara. Bila perlu menjual klaim moral dan agama untuk politik. Dengan klaim moral dan agama, kapitalisasi politik bahkan menjadi berwajah ganda: propan dan sakral. "Sakralisasi" politik atas nama moral, agama, dan Tuhan bahkan makin membuat laris atau tinggi harganya, hingga masuk ke dunia propan tak kepalang tanggung. Tangan yang satu berwajah "langit" hingga tampak seperti Malaikat yang turun ke jagad politik, sedang tangan yang lain berlumuran pragmatisme politik yang tak kalah propan ketimbang politik "sekuler". Jika dalam hukum Machiavelli segala cara dibolehkan untuk meraih "virtouse" (kedigdayaan kuasa), maka dalam hukum "politik keagamaan" segala cara dibolehkan karena ada dalil moral atau agama. Tapi muaranya sama: melipatgandakan dan meraih keuntungan politik sebesar-besarnya dengan menggunakan hukum-hukum ekonomi kapitalisme.

Maka tak mengherankan jika dunia politik di negeri ini semakin elitis, tidak populis. Baik elitis berlabel pragmatis, maupun ala "rahbaniah" ideologi politik keagamaan. Elitisme politik keagamaan bergaya "rahbaniah" ingin menciptakan genre atau jamaah politik yang kental "kesantriannya" atau "keislamannya" dalam formalisme dan paham Islam puritan-ideologis, yang membedakan secara kategoris dan ekslusif dari yang lain. Suatu logika politik-keagamaan beraroma teori poskolonial dalam era misi Zending di negeri-negeri jajahan pada masa lampau. Setiap rumah harus dimasuki dengan semangat "mendakwahi" orang, yang hasil akhirnya sesungguhnya kapitalisasi politik yang berorientasi elitis itu.

Kapitalisasi politik yang serba berorientasi target-kuasa plus militansi ideologi yang membara, akan melahirkan hegemoni baru. Tak ada celah dan ruang kultural yang longgar, kecuali politik. Tak ada relasi sosial yang lentur, kecuali politik yang serba serius. Bahkan agama pun, yang semestinya memberi ruang dan pandangan yang serba melintasi dan melampaui mulai kehilangan autentisitasnya, diinterupsi absolutisme ideologi politik.

Tahun 2009 seolah dekat. Kekuatan-kekuatan dan elite nasional kian bergairah saling memposisikan diri melalui beragam simulasi peran. Calon mencalonkan sudah dimulai, ada yang serius ada pula yang sekadar menanam saham. Memang itulah dunia politik dan hingga batas tertentu wajar adanya. Partai dan politisi memang dilahirkan untuk perjuangan kekuasaan, dan itu sah adanya. Tapi selalu ada harga yang harus dibayar atau lebih tepatnya dikorbankan, yakni kepentingan-kepentingan rakyat yang bersifat nyata, yang sesungguhnya memerlukan kebijakan-kebijakan politik yang autentik prorakyat.

Para politisi dan partai politik memang banyak yang menyapa rakyat dengan ramah. Tetapi terbatas ketika ada keperluan hajatan politik seperti Pemilu dan Pilkada. Atau ketika ada maunya. Sapaan ramah seperti itu pun sifatnya sumir atau parsial saja, tidak masuk ke wilayah fundamental dan substansial.

Partai politik dan politisi yang jualan politik tampaknya tak sungguh-sungguh masuk ke pembuatan keputusan dan kebijakan politik yang prorakyat. Bagaimana kebijakan untuk memecahkan kemiskinan, menghentikan perusakan aset-aset negara, menjaga kedaulatan bangsa, memecahkan pengangguran, menyelesaikan utang luar negeri, menghentikan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok, dan sebagainya. Soal kelangkaan minyak tanah saja tak begitu diperhatikan. Masak di usia kemerdekaan 62 tahun negeri ini rakyat masih dililit kelangkaan minyak tanah? Seolah negeri ini belum merdeka.

Agaknya banyak perspektif yang lepas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik ini. Selain politisi dan partai politik, pemimpin pemerintahan pun seolah kehilangan "world-view" dalam mengelola dan mengarahkan jalannya negara. Soal satu Mendagri saja begitu berlarut-larut, yang mengesankan negara disubordinasikan ke dalam rasa sentimental dan bukan urusan tata kelola pemerintahan yang semestinya mengutamakan kepentingan publik. Banyak hal kecil menjadi heboh, sebaliknya yang urusan-urusan besar seolah dibiarkan berlalu bersama waktu.

Publik dininabobokan dengan retorika yang kehilangan perspektif, kecuali sebatas ornamen polesan dan kerja-kerja politik sesaat. Sementara bangsa dan negara ini semakin kehilangan banyak momentum untuk bangkit dan maju setara dengan bangsa dan negara lain. Politik dan juga pemerintahan, meminjam logika Michel Foucault, sekadar melakukan reproduksi kekuasaaan. Malah bukan sekadar mendaur-ulang, sekaligus kapitalisasi nafsu-kuasa. Para pelaku politik lantas menjadi serba bebal dan ajimungpung, di tengah banyak rakyat kecil yang hidup kian terengah-engah.

Kalau 'Rasul' Menyerah, Kalau 'Jibril' Menangis

Oleh : KH A Hasyim Muzadi


Belakangan ini marak bermunculan ''bayi-bayi agama baru'' yang menyempal dari agama ''induknya''. Kebetulan yang banyak muncul di media massa, adalah penyempalan dari mereka yang sebelumnya mengaku bersumpah setia kepada Islam. Karena aneka macam alasan, maka lahirlah bayi-bayi itu dengan nama antara lain, Salamullah, Wetu Tellu, ajaran salat versi Yusman Roy, Alquran Suci, Jamaah Udeng Ireng serta beberapa lainnya dengan nama yang aneh-aneh. Yang paling mutakhir adalah testimoni Abdussalam alias Ahmad Mushaddeq yang mengaku sebagai seorang nabi dan rasul sekaligus. Setelah sekian hari, demikian pengakuan yang bersangkutan, melakukan tapabrata di gunung Bunder, Bogor, turunlah wahyu versi keyakinannya. Ia meproklamirkan diri telah mendapatkan ''amar'' dari Tuhan dan diberi tanggungjawab menyelamatkan umat manusia, khususnya umat Islam di Indonesia.

Seruan mantan pelatih fisik bulu tangkis ini, luar biasa sukses, karena tak sedikit umat yang terbuai ajakannya. Kabarnya, puluhan ribu orang bertekuk keyakinan di hadapan ''sang rasul''. Beberapa bahkan ada yang rela menukar akidahnya dengan ajaran baru. Maka, setelah sekian waktu berlalu dengan damai sentosa, dan dengan keberanian yang luar biasa pula, Mushaddeq melakukan pembaiatan atas para pendukungnya, secara terbuka, terang-terangan, bahkan sangat demonstratif di sebuah hotel di Jakarta. Diliput puluhan media massa pula. Dengan busana yang khas para profesional, celana gelap, baju lengkap dengan jas dan dasinya, Mushaddeq menerima ''takluknya'' beberapa orang di hadapannya. Seperti tanpa daya untuk mempertanyakan, mereka menyatakan persaksian dengan mengubah syahadat yang biasa dilakukan umat Islam. Syahadatnya menjelaskan; Mushaddeq sebagai Almasih Almaw'ud. Almasih yang dinanti-nanti kehadirannya.

Berbeda dengan Islam yang dibawa Baginda Rasul Muhammad SAW, Mushaddeq memberi kemudahan kepada pengikutnya untuk tidak salat, tidak puasa, tidak berhaji dan tidak mengeluarkan zakat. Kilahnya, mereka tengah hidup di periode Makkah, periode yang beberapa rukun Islam belum disyari'atkan. Akunya, itu semua baru akan dilakukan setelah hijrah. Hijrah entah kapan. Hijrah entah ke mana. Karena tak lama setelah secara blow-up diberitakan di semua media, cetak dan elektronik, Mushaddeq menyatakan menyerahkan diri kepada aparat kepolisian. Itu pun hampir terlambat, karena banyak pengikutnya, yang di luar harapan banyak penganut agama lama, tak pantas menerima perlakuan keterlaluan, karena sejatinya mereka bisa diajak dan diantar ''pulang'' ke rumah lama. Seorang rasul menyerah? Seorang nabi bertekuk lutut? Rasanya belum ada dalam sejarah seorang rasul menyerahkan diri.

Pada waktu nyaris bersamaan, seseorang yang mengaku sebagai Malaikat Jibril justru meninggalkan ''ruang tahanan'' aparat hukum; aparat yang notabene berasal dari kalangan para manusia juga. Setelah hampir dua tahun mendekam, ia bebas dengan air muka penuh iba dan menangis. Aparat hukum berjanji akan terus memata-matainya; apakah ia masih setia meluaskan ajarannya itu setelah bebas dari bui. Kalau untuk kedua kalinya dinilai menista agama tertentu, maka boleh jadi ia akan berhadapan kembali dengan hukum positif negeri ini. Ia mendirikan madzhab Salamullah dan mengajarkan tuntunan tertentu kepada anak buahnya. Menurut keyakinan Islam, minimal melalui sikap sahabat Nabi, Abubakar Assshiddiq, wahyu telah terputus setelah wafatnya Baginda Rasul Muhammad. Tetapi orang nomor satu di lingkungan Salamullah ini masih mendakwakan turunnya wahyu hingga lahirlah Indonesia merdeka, ratusan tahun setelah Nabi Muhammad wafat. Sebuah momentum tetapi melahirkan dua paradoks; satu menyerah dan satunya lagi menangis. Dua sifat sangat manusia. Ada yang secara berkelakar mengatakan, kalau ingin membuktikan kebenaran pengakuan Mushaddeq maka silakan bertanya kepada Jibril yang baru meninggalkan ruang tahanan itu. Sesuatu yang sarkartis. Beberapa analis melihat bahwa aparat negara, para penghulu agama, serta beberapa kelompok lainnya telah menunjukkan perlakuan yang keterlaluan terhadap para pengikut ''agama baru'' ini. Beberapa di antaranya mempersalahkan kondisi yang menyebabkan mereka bisa lahir. Mereka bilang situasi yang ada telah menyebabkan semua agama baru itu bisa lahir dengan leluasa. Malah diangkat opini soal menghukum sebuah keyakinan dianggap bukanlah kewenangan manusia. Maka dikutiplah beberapa penggal ayat suci untuk menguatkan analisisnya. Hukuman opini dijatuhkan kepada aparat negara, penghulu agama serta mereka yang selama ini dianggap umat agama tradisionalis yang antinalar. Sedang terhadap penganut ''agama baru'' ini, mereka tak menjanjikan apa-apa tentang kebenaran ajaran yang dianutnya kecuali sebuah kebebasan yang sumir.

Bagaimana ini semua bisa terjadi? Sebenarnya kalau ''agama baru'' ini tidak mengambil sikap merongrong terhadap ajaran yang telah ada, persoalannya akan menjadi lain. Memang, sepanjang bumi ini masih menjadi hunian anak manusia, maka beragam persoalan akan terus bermunculan, termasuk fenomena ''agama baru''. Sebagai umat Islam, tentu kita memiliki keyakinan yang tak bisa ditawar, bahwa Islam dengan segala tuntunannya sudah final sebagai sebuah akidah. Dan kita sudah bersumpah setia untuk menjaga keyakinan kita. Memang benar sebuah diktum yang mengatakan bahwa tidak mungkin aturan yang notabene profan buatan manusia berpretensi melindungi ajaran agama yang transendental dan datang dari Tuhan. Tetapi pranata sosial dan keagamaan tak bisa diabaikan keberadaannya untuk menjaga harmoni umat manusia. Tampaknya semua agama memiliki pranatanya sendiri-sendiri untuk membantu lahirnya harmoni di kalangan umatnya. Belum ada dalam sejarah, umat beragama hidup tanpa pranata sosial yang profan dan dibuat oleh manusia.

Nah! Bagaimana kalau seorang di antara anggota keluarga kita menghilang? Tak jelas di mana keberadaan anak kita? Menghilang karena ajaran tertentu. Menganggap orang tuanya kafir? Menjauhi rumah tempat dirinya dilahirkan karena menganggapnya najis? Memutus hubungan kekerabatan dengan semua anggota keluarganya. Tanpa merujuk kepada agama pun, kejadian semacam ini akan meluluhlantakkan harmoni di tengah sebuah keluarga. Tanpa diperintah oleh agama apa pun, kita akan mencari anak kita yang hilang. Menjadi aneh kalau ada orang tua yang bisa tidur nyenyak dan membiarkan anaknya minggat dari rumah tanpa alasan. Jangankan Tuhan yang memberikan amanah anak kepada kita, aparat hukum pun akan menanyakan kita sebab kehilangan anak. Kita harus bertanggung jawab. Apalagi kalau sampai anak kita memendam sebuah keyakinan yang aneh dengan menyebut kita sebagai bukan dari kalangannya sehingga pantas ditinggalkan untuk selama-lamanya. Duh Gusti! Kembalikan mereka yang terlalu jauh melangkah. Karuniakan hidayah-Mu. Jadikan kami, orang tua yang mampu melindungi keturunan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas amanah-Mu. WalLaahul Muwaffiq Ilaa Aqwamith Thoriiq.