Thursday, January 3, 2008

Kapitalisasi Politik

Oleh : Haedar Nashir

Apa yang paling laris dijual di negeri ini? Boleh jadi politik. Politik sejatinya merupakan pekerjaan yang mulia. Melalui politiklah urusan-urusan publik dapat dikelola secara efektif, sehingga negara dengan seluruh alatnya dapat difungsikan untuk sebesar-sebesar kemakmuran rakyat. Apa yang musykil dilakukan oleh tangan-tangan sosial masyarakat, dapat dilakukan dengan mudah oleh tangan partai politik maupun para politisi. Itu idealnya.

Kenyataannya? Tak semudah retorika. Kini, politik berubah drastis fungsinya. Politik jadi ajang komoditi, sekaligus alat-tukar yang paling menjanjikan. Dunia politik sungguh telah berubah menjadi pasar bebas, sekaligus pasar taruhan yang paling menggiurkan. Tengoklah bagaimana para calon dalam pilkada di mana saja. Selalu ada obral uang, sekaligus bual janji, untuk menuju tangga jabatan puncak di pemerintahan daerah. Lalu, lahirlah para pialang sekaligus broker politik yang kian mengawetkan dan menggelembungkan budaya politik uang.

Politik uang bukan malah berhenti, tapi kian menjadi-jadi. Kita sungguh miris mendengar kabar, bagaimana uang miliaran begitu mudah jadi alat jaul-beli kepentingan politik dalam berbagai pilkada di negeri ini. Baru mau mendaftar jadi calon saja konon sudah harus mengeluarkan fulus sangat besar, apalagi sudah jadi calon dan terpilih. Tak dapat dibayangkan, bagaimana para pejabat negara/politik itu manakala sesudah terpilih kemudian harus "melunasi utang-utang politik". Lalu, kapan berkonsentrasi untuk mengemban amanat publik secara serius tanpa diganggu oleh tagihan-tagihan "kas-bon politik"? Jabatan publik jadi sulit kembali ke hulunya, yakni rakyat pemberi mandat. Bisa-bisa malah memanjakan cukong.

Kita sungguh sulit memahami denyut nadi politik saat ini. Bukan hanya pragmatis sebagaimana watak dasar politik: who gets what, when and how. Politik, menurut Machiavelli, laksana perjuangan ala Rubah, menempuh apa saja untuk menuju singgasana. Guna menjadi sangat perkasa, virtouse. Tak peduli apakah politik itu dimainkan partai atau politisi "sekuler" atau yang membawa klaim agama, jalan dan hasil akhirnya tetap sama: menempuh segala macam cara. Segala hal menjadi serba boleh, yang beda tampilan dan klaim politiknya.

Kini politik selain pragmatis, menjadi sangat materialistik. Tak ada uang, tak ada jabatan publik. Setiap jengkal langkah, harus ada duit. Dunia politik jadi rimba ber-uang. Uang begitu tampak mudah, entah dari mana? Padahal, konon negeri ini sedang jatuh krisis dan miskin, hingga orang miskin dan penganggur kian membengkak, dan tentu saja utang luar negeri masih tetap jadi beban terberat hingga berapa generasi.

Boleh jadi ini memang zaman kapital? Selamat datang di dunia kapitalisme politik. Suatu era ketika politik memang menjadi bagian dari kerja kaptilalisme neoliberal, yang semakin menggurita dan digdaya. Apa pun menjadi bagian dari kegiatan ekonomi-uang, termasuk politik. Politik menjadi bagian dari ekonomi mengejar serba profit, keuntungan materi, di luar kepentingan kekuasaan dan prestise sosial. Jadi bagian dari mesin produksi yang berorientasi pasar, bahkan pasar bebas dalam cengkeraman nafsu dan sistem liberalisme bahkan neo-liberalisme. Semua kegiatan politik dan yang berkaitan dengannya menjadi proses kapitalisasi.

Para politisi atau orang partai politik tidak lagi risih menggunakan kosakata kapitalisasi politik. Maksudnya mungkin modal politik dari suatu kegiatan politik yang akan menghasilkan akumulasi raihan kekuasaan setelah itu. Tapi, secara tidak sadar sesungguhnya menunjukkan wajah "kapital" dari perpolitikan di negeri ini. Politik jadi bagian tak terpisahkan dengan kegiatan ekonomi dan menggunakan prinsip dan cara kerja bisnis sebagaimana hukum kapitalisme bekerja. Politik semata-mata ingin meraih "profit" akumulasi kekuasaan dan dukungan. Dengan siapa pun berkongsi tak mengapa, yang penting target-target keuntungan politik dapat diraih, jika tidak saat ini maka untuk tahun 2009.

Kejarlah keuntungan sebesar-besarnya, bila perlu dengan menggunakan segala cara. Bila perlu menjual klaim moral dan agama untuk politik. Dengan klaim moral dan agama, kapitalisasi politik bahkan menjadi berwajah ganda: propan dan sakral. "Sakralisasi" politik atas nama moral, agama, dan Tuhan bahkan makin membuat laris atau tinggi harganya, hingga masuk ke dunia propan tak kepalang tanggung. Tangan yang satu berwajah "langit" hingga tampak seperti Malaikat yang turun ke jagad politik, sedang tangan yang lain berlumuran pragmatisme politik yang tak kalah propan ketimbang politik "sekuler". Jika dalam hukum Machiavelli segala cara dibolehkan untuk meraih "virtouse" (kedigdayaan kuasa), maka dalam hukum "politik keagamaan" segala cara dibolehkan karena ada dalil moral atau agama. Tapi muaranya sama: melipatgandakan dan meraih keuntungan politik sebesar-besarnya dengan menggunakan hukum-hukum ekonomi kapitalisme.

Maka tak mengherankan jika dunia politik di negeri ini semakin elitis, tidak populis. Baik elitis berlabel pragmatis, maupun ala "rahbaniah" ideologi politik keagamaan. Elitisme politik keagamaan bergaya "rahbaniah" ingin menciptakan genre atau jamaah politik yang kental "kesantriannya" atau "keislamannya" dalam formalisme dan paham Islam puritan-ideologis, yang membedakan secara kategoris dan ekslusif dari yang lain. Suatu logika politik-keagamaan beraroma teori poskolonial dalam era misi Zending di negeri-negeri jajahan pada masa lampau. Setiap rumah harus dimasuki dengan semangat "mendakwahi" orang, yang hasil akhirnya sesungguhnya kapitalisasi politik yang berorientasi elitis itu.

Kapitalisasi politik yang serba berorientasi target-kuasa plus militansi ideologi yang membara, akan melahirkan hegemoni baru. Tak ada celah dan ruang kultural yang longgar, kecuali politik. Tak ada relasi sosial yang lentur, kecuali politik yang serba serius. Bahkan agama pun, yang semestinya memberi ruang dan pandangan yang serba melintasi dan melampaui mulai kehilangan autentisitasnya, diinterupsi absolutisme ideologi politik.

Tahun 2009 seolah dekat. Kekuatan-kekuatan dan elite nasional kian bergairah saling memposisikan diri melalui beragam simulasi peran. Calon mencalonkan sudah dimulai, ada yang serius ada pula yang sekadar menanam saham. Memang itulah dunia politik dan hingga batas tertentu wajar adanya. Partai dan politisi memang dilahirkan untuk perjuangan kekuasaan, dan itu sah adanya. Tapi selalu ada harga yang harus dibayar atau lebih tepatnya dikorbankan, yakni kepentingan-kepentingan rakyat yang bersifat nyata, yang sesungguhnya memerlukan kebijakan-kebijakan politik yang autentik prorakyat.

Para politisi dan partai politik memang banyak yang menyapa rakyat dengan ramah. Tetapi terbatas ketika ada keperluan hajatan politik seperti Pemilu dan Pilkada. Atau ketika ada maunya. Sapaan ramah seperti itu pun sifatnya sumir atau parsial saja, tidak masuk ke wilayah fundamental dan substansial.

Partai politik dan politisi yang jualan politik tampaknya tak sungguh-sungguh masuk ke pembuatan keputusan dan kebijakan politik yang prorakyat. Bagaimana kebijakan untuk memecahkan kemiskinan, menghentikan perusakan aset-aset negara, menjaga kedaulatan bangsa, memecahkan pengangguran, menyelesaikan utang luar negeri, menghentikan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok, dan sebagainya. Soal kelangkaan minyak tanah saja tak begitu diperhatikan. Masak di usia kemerdekaan 62 tahun negeri ini rakyat masih dililit kelangkaan minyak tanah? Seolah negeri ini belum merdeka.

Agaknya banyak perspektif yang lepas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik ini. Selain politisi dan partai politik, pemimpin pemerintahan pun seolah kehilangan "world-view" dalam mengelola dan mengarahkan jalannya negara. Soal satu Mendagri saja begitu berlarut-larut, yang mengesankan negara disubordinasikan ke dalam rasa sentimental dan bukan urusan tata kelola pemerintahan yang semestinya mengutamakan kepentingan publik. Banyak hal kecil menjadi heboh, sebaliknya yang urusan-urusan besar seolah dibiarkan berlalu bersama waktu.

Publik dininabobokan dengan retorika yang kehilangan perspektif, kecuali sebatas ornamen polesan dan kerja-kerja politik sesaat. Sementara bangsa dan negara ini semakin kehilangan banyak momentum untuk bangkit dan maju setara dengan bangsa dan negara lain. Politik dan juga pemerintahan, meminjam logika Michel Foucault, sekadar melakukan reproduksi kekuasaaan. Malah bukan sekadar mendaur-ulang, sekaligus kapitalisasi nafsu-kuasa. Para pelaku politik lantas menjadi serba bebal dan ajimungpung, di tengah banyak rakyat kecil yang hidup kian terengah-engah.

No comments: