Tuesday, July 8, 2008

The Destiny Theory




“Ketidakpastian membuat perjalanan hidup menjadi penuh cita rasa. Nuansa yang yang kadangkala menerbit gundah. Dan seringkali mendebar indah


“Takdir” sering membuat banyak berdebar. Berdebar karena sensasi yang begitu menantang. Takdir sering mematikan kesombongan banyak orang, mematahkan keanggkuhan dan keyakinan tanpa menyertakan iman. Takdir sering melahirkan kebahagiaan pada banyak orang. Takdir adakalanya juga membuat banyak orang berteriak menagis histeris tak terbendung. Takdir tidak jarang juga membuat seseorang begitu sumringah senyumnya. Itulah kata “Takdir”. Takdir pembuka tabir kegelapan. Takdir berbicara realita. Takdir berbicara tentang kepastian. Takdir menyata jelas tentang masa depan. Takdir menjelas terang masa lalu yang begitu kelam tuk diterawang.

Bagaimana dengan Anda ? Pernahkah sensasi begitu mendebarkan itu Anda rasakan ? Sensasi disaat Anda pesimis untuk percaya diri menyatakan “Bisa”, ternyata Anda benar-benar bisa. Pun juga getar-getar rasa yang hadir disaat Anda yakin Anda “Bisa”, ternyata Anda gagal. Atau barangkali Anda pernah tahu, banyak orang di sekitar Anda yang Anda mengetahui kapabilitas konkrit dan abstraknya, tetapi realitas masa depannya begitu berbeda dengan seharus dan sepertinya dia sebagaimana Anda kira di masa lalu. Seharusnya Dia itu begini lho, tetapi ternyata dia begitu. Sepertinya dia akan seperti ini lho, ternyata dia seperti itu. Sebenarnya itulah takdir samar di tebak di masa lalu dan begitu tampak jelas di masa depan.

Berkenaan dengan takdir itu, saya pernah mendapatkan sebuah nilai filosofis yang begitu menarik tentangnya. Saya memperolehnya dari Guru saya juga di PT. Telkom, Tbk. Dia adalah pimpinan di divisi tempat saya bekerja. Kronologis diskusinya bermula ketika saya bercerita tentang gegap gempita resah yang begitu melara diri saya, kisah tentang pilihan dan persimpangan. Kebingungan yang hadir disaat saya harus memilih antara harus bertahan di PT. Telkom atau keluar memenuhi panggilan Beasiswa Pertukaran Mahasiswa Antar Negara. Pilihan yang semuanya begitu berarti. Pilihan antara periuk nasi dan deskripsi prestasi.dan Kebingungan yang tidak seharursnya saya pertahankan lama-lama.

Mendengar tutur saya. Beliau pun bercerita tentang masa lalu beliau. Beliau menjelaskan bahwa dulu beliau pernah gagal memperoleh beasiswa ke luar negeri, dikarenakan Indeks Prestasi Beliau tidak mememnuhi syarat. Tragisnya beliau harus gagal hanya kurang 0,06 point. Beliau bilang sedih memang. Seandainya Sang Waktu dapat diputar ulang, ingin rasanya beliau belajar lebih keras, agar beasiswanya dapat diraih. Namun malang tak mampu ditolak,untung tak bisa diraih. Kenyataan telah menjelas tegas bahwa beliau harus gagal kuliah ke luar negeri. Itulah sebenarnya yang disebut dengan takdir.

Lebih dalam beliau bercerita tentang The Destiny Theory, Teorema Takdir. Takdir adalah jalinan perjalanan menuju akhir perjalanan. Takdir adalah rangkaian persimpangan dimana kita sering dibingungkan untuk memilih. Takdir adalah disaat kita ingin memilih, tetapi kita tak mampu memilih. Takdir adalah saat kita menyesali masa lalu, tetapi kita tak beralasan menyesal. Takdir adalah ketika kita begitu bahagia, disaat kita meraih sesuatu yang begitu pesimis mampu kita raih. Itulah sebenarnya takdir. Begitu penuh misteri, tetapi dibalik sensasi itulah kita merasakan sebuah keindahan yang khusus.Keindahan tidak akan mampu kita raih, tanpa kebijakan kita dalam menyikapi takdir.

Lebih jauh lagi Agus Mustofa dalam bukunya Mengubah Takdir menyatakan takdir itu adalah kalkulator. Artinya keberhasilan kita di dunia ini bergantung pada potensi yang sudah diberikan Allah, dan usaha kita dalam bentuk memijit-mijit tobol kalkulator itu.

Kira-kira kurang lebih begini. Setiap diri kita ini sudah diprogram sebelumnya oleh Allah seperti halnya setiap kalkulator sudah diberi program di dalamnya oleh pabrik pembuatnya. Program dasar inilah yang kita sebut potensi diri, atau hukum Allah (sunnatullah). Setiap manusia mempunyai program dasar yang sama dengan variasi ada Ada yang dilebihkan sedikit dan ada yang dikurangi sedikit. Ibaratnya semua kalkulator pasti punya program dasar penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Kalau tidak ada program dasar itu tidak layak disebut kalkulator normal. Demikian pula setiap manusia telah diberi program dasar ‘kemanusiaan’ yang membuatnya layak disebut manusia.

Nah, seperti halnya kalkulator, ternyata selain punya program dasar yang sama, atribut tambahannya bisa berbeda-beda. Ada kalkulator yang cukup dengan tombol-tombol sederhana, ada yang dirancang khusus dengan tombol-tombol istimewa misalnya tombol kuadrat, akar, sin cos, dan lainnya. Nah dengan adanya perbedaan ini maka kecepatan kalkulator untuk mengerjakan sesuatu berbeda-beda. Misalnya bagi kalkulator sederhana untuk menghitung 3x3 perlu empat langkah yaitu pijit angka 3, pijit ‘x’, pijit 3 lagi, dan pijit ‘=’. Untuk kalkulator yang punya tombol kuadrat cukup dua langkah, yaitu pijit 3, lalu tombol kuadrat. Hasilnya sama, tapi kecepatannya beda.

Demikian halnya dengan keunikan kita masing-masing, untuk mencapai prestasi yang sama bagi setiap orang mungkin dibutuhkan ikhtiar yang beda jalannya dan beda kesulitannya. Ada yang pintar olahraga, akan mudah untuk main basket tapi belum tentu mudah mengerjakan matematika. Kita menyebutnya kecerdasan atau bakat yang berbeda. Namun kalau mau terus berusaha, yang tidak jago matematika tetap bisa mengerjakan soal matematika walaupun perlu usaha lebih keras, jalan lebih berliku, dan ketekunan. Bagi yang jago matematika, dia bisa mengerjakannya dalam sekejap, laksana pijit tombol kuadrat di kalkulator.

Selain keunikan yang sudah diberikan Allah kepada masing-masing diri kita, masih diperlukan ilmu untuk melakukan usaha dengan benar. Ini ibarat memijit tombol kalkulator dengan tombol yang benar dan urutan yang benar. Andai kita punya kemampuan laksana kalkulator yang canggih, tapi tidak pernah memijit tombol atau keliru memijit tombol, hasilnya juga akan salah. Lebih sayang lagi bila punya kemampuan tapi tidak tahu bahwa punya kemampuan, ibarat kalkulator punya tombol kuadrat tapi tidak tahu kalau ada, atau tidak tahu cara pakainya.
Lebih ironis lagi ada orang yang salah pijit tombol ‘off’ alias mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri atau melakukan hal yang mencelakakan dirinya. Itulah mengapa orang yang bunuh diri itu berdosa, karena kematian jenis seperti itu adalah kematian yang mengandung ‘ikhtiar’ dari pelaku. Sebenarnya, seperti kalkulator juga, tanpa pijit tombol ‘off’ pun kelak si kalkulator akan mati sendiri, yaitu karena kehabisan batere!

Analogi pak Agus ini menurut saya cukup bagus untuk menjelaskan konsep takdir secara sederhana. Hasil kita di dunia ini adalah kombinasi antara potensi yang diberikan Allah (disebut qadla), kemudian berinteraksi dengan usaha kita (laksana memilih tombol yang dipijit, ini terserah pengguna dan bergantung ilmunya), maka hasilnya tak pernah akan keluar dari ketetapan Allah, laksana himpunan hasil yang mungkin dikeluarkan kalkulator pasti sudah diketahui oleh pembuatnya.

Demikianlah ketetapan tentang takdir. Allah sudah menetapkan takdir bagi kita dalam bentuk potensi, hukum sunnatullah, dan Allah pun memberikan kepada manusia kebebasan untuk memilih akan diapakan ‘kalkulator’ yang telah dikaruniakan kepada kita dalam hidup ini.

Teorema takdir itulah salah satu alasan kuat yang memastikan saya memutuskan untuk keluar dari PT. Telkom dan memilih beasiswa pertukaran Aktivis Se-ASEAN. Keputusan yang membuat banyak orang berpikiran yang tidak-tidak tentang aku. Keputusan yang memastikan bahwa saya akan berstatus “pengangguran”. Keputusan yang memastikan bahwa saya keluar dari lingkaran kenyamanan. Keanyaman yang membuat saya cenderung apatis dengan perubahan. Ingin aku menyesal dan kembali sepertinya. Tetapi tidak, jangkar telah ku lempar, layar telah kubentang. Tak akan aku kembali melihat ke belakang. Aku meyakini takdirku adalah SUKSES…! Kepastian masa depanku adalah SUKSES…! Hari esokku adalah SUKSES mengoptimalkan peran diri untuk peradaban…! Akhir perjalananku adalah SUKSES SYAHID dijalannya. Berlebihan sepertinya, tetapi itulah pilihanku. Saya yakin hal itu akan menjadi pasti, ketika Anda yang membaca tulisan ini, dan mendo’akan agar semua citaku terwujudkan. Amiin. Bagaimana dengan Anda?