Wednesday, February 25, 2009

Detik Terakhir


Pagi itu, meski langit telah mulai menguning, burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap. Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbata memberikan petuah, "Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan AlQur'an. Barang siapa mencintai sunnahku, berati mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersama aku." Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan napas dan tangisnya. Ustman menghela napas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. "Rasulullah akan meninggalkan kita semua," desah hati semua sahabat kala itu. Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia.

Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar. Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu, kalau bisa. Matahari kian tinggi, tapi pintu Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya. Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam.

"Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu. Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?" "Tak tahulah aku ayah, sepertinya ia baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Satu-satu bagian wajahnya seolah hendak di kenang. "Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tak ikut menyertai. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap diatas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. 

"Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?" Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata jibril. Tapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. "Engkau tidak senang mendengar kabar ini?" Tanya Jibril lagi. "Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?" "Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku:

'Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada didalamnya," kata Jibril. 

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugasnya. Perlahan ruh Rasulullah ditarik Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini." Lirih Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril membuang muka. "Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. " Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, karena sakit yang tak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat niat maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku." Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku, peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah di antaramu."

Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan.Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. 

"Ummatii, ummatii, ummatiii?" - "Umatku, umatku, umatku"



Ending


Kawan… tentu kata “ending” bukanlah kata yang asing untuk kita, bukan?. Di negeri ini banyak pengandaian bijak yang menjelaskan bahwa “Tiada pertemuan tanpa akhir”. Tentu sangat akrab kita dengan pengandaian tiada padang tanpa pasir, tiada pertemuan tanpa akhir, bukan?. Pun sebagai seorang muslim kerangka iman kita dikuatkan dengan bahasa ending ini. Ending dibahasakan pada rukun iman ke-lima,yaitu percaya kepada hari kiamat. Kepercayaan, yang merupakan harga mati ketika memilih Islam sebagai way of life. Kiamat adalah ending dari keberlangsungan semesta ini. 

Kawan… bukankah “kematian” juga adalah ending? Ending dari kehidupan setiap makhluk yang merasakan ”kehidupan”. Ending dari keangkuhan kehidupan seorang Fir’aun adalah ketika dia dipendam-matikkan di Laut Merah. Pengembaraan alam pasti akan berujung. Pengarungan samudra pasti akan bertepi. Itu juga adalah bahasa ending. Ditemukannya benua baru, Benua Amerika oleh Cristopher Columbus adalah ending dari petualangannya mencari daratan India. Untuk itulah pada awalnya penduduk asli amerika di sebut Indian. 

Kawan...tentu Anda pernah mendengar istilah Happy Ending, bukan? Kondisi akhir yang mengharu-birukan kita pada luapan kebahagian. Happy ending yang tiada tara sebagai manusia adalah ketika menutup kehidupan dalam keadaan Khusnul Khotimah, dan berhak mengecap nikmatnya syurga Allah SWT. Syurga adalah piala yang begitu didamba di ending yaumil akhir ini. Happy ending seorang Columbus adalah ketika menemukan Benua Amerika. Happy ending seorang Archimedes ketika dia tidak sadarkan diri dan berteriak ”Uereka” menemukan kepahaman yang dicari selama beberapa waktu sebelumnya. Pun Anda, saya yakin juga akrab dengan keadaan yang penuh dengan ”Happy Ending” ini.

Kawan...bagaimana jika kita membuat antitesis dari Happy Ending adalah Sad Ending. Sad ending yang berarti akhir yang sangat memilukan. Kepiluan yang tiada tara seorang Fir’aun adalah ketika ia harus mengakhir kehidupannya dalam keadaaan Su’ul Khotimah di Laut Merah dan di jebloskan ke Neraka Jahannam, bukan? Kesedihan yang membara dari sebuah kompetisi adalah kekalahan dan menjadi pecundang. Atau lingkup terkecil, kepiluan yang begitu menyakitkan bagi seseorang pelajar adalah ketika tidak lulus ujian. 

Lalu...bagaimana Anda melihat bahasa Ending itu. Jika saya mengasosiasikan bahwa ending itu adalah bahasa lain dari Vision. Visi berbicara bagaimana seseorang melihat masa depan. Melihat masa depan berarti juga melihat kemungkinan ending itu. Itu berarti juga ending itu bisa direncanakan. Happy atau sad ending berarti juga pilihan. Pilihan untuk bermimpi melihat masa depan itu, apakah berakhir kebahagian atau kepiluan. Ending berarti juga ada ruang kuasa kita untuk mengarahkan ending itu. Namun, kita juga harus menyadari bahwa tidak seratus persen semuanya berada di bawah kuasa manusia. Ada ruang di mana kita harus berserah diri hanya kepada Allah SWT. Kawan...segeralah membangun visi itu, biarkan peluang Happy Ending itu semakin terbuka. Uereka...Wallahu’alam

Monday, February 23, 2009

Entahlah...

Entahlah...
Alam begitu tak ku mengerti
Masih menyimpan selaksa misteri

Entahlah...
Aku juga kadang tak mengerti diri
Ia masih gelap dengan sejuta sisi

Entahlah...
Mungkin juga aku akan berlari
Belari dari gegap gempita hati

Entahlah...
Barangkali aku tak kan lagi berseri
Menapaki sisa-sisa hari

Entahlah...
Aku hanya ingin diam teredam
Pedam dalam kepasrahan hati

Entahlah...
Mungkin aku tak kan mampu kembali
Menyisir masa-masa penuh ilusi

Entahlah...
Aku hanya mampu berharap dari-Mu
Berharap akan keberpihakan takdir-Mu

Entahlah...
Apakah aku masih mampu bermimpi
Mengenapi cita mengarungi semesta ini

Konferensi Islam Tawarkan Islam Sebagai Solusi Krisis Global

Colchester (ANTARA News) - Konferensi Islam ke-3 yang digelar Islamic Society, sebuah lembaga mahasiswa Muslim di University of Essex, menawarkan Islam sebagai solusi.

Konferensi itu merupakan kelanjutan dua konferensi sebelumnya pada 2008 yang bertajuk "A Jpurney to Islamic Values" dan 2007: "Islam as a Moderate Religion", ujar Amika Wardana, dosen jurusan Pendidikan Sejarah dari Universitas Negeri Yogyakarta yang mengambil program Doktor Sosiologi di University of Essex, kepada koresponden Antara, London, Minggu.

Amika mengatakan, konperensi yang mengusung tema "Islam Bbeyond the Veil?" itu menampilkan lima pembicara, di mana empat di antaranya merupakan penduduk Muslim Inggris dan seorang ahli psikologi pendidikan dari Kerajaan Saudi Arabia.

Sekretaris Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Inggris Raya itu menyatakan apresiasinya pada kegiatan yang digelar University of Essex dan juga mempertanyakan apakah Islam betul-betul memberikan solusi untuk berbagai masalah dalam kehidupan masyarakat Barat sekarang ini.

Amika, yang mengkaji interaksi antarkomunitas Muslim di Inggris Raya, khususnya antara yang berasal dari Indonesia, Pakistan dan Arabia, mengatakan bahwa setiap Muslim baik secara individu maupun sebagai sebuah komunitas harus menyadari bahwa mereka adalah bagian dari kompleksitas dunia ini.

Dikatakannya, untuk terlibat aktif dalam menyelesaikan masalah dunia ini, bukan saatnya lagi menerapkan strategi konfrontasi, membuat perbedaan yang tidak tersatukan antara Islam dan barat yang tidak Islami.

"Model Clash of Civilisation" yang digunakan oleh mantan Presiden George W. Bush dan juga Osama Bin Laden adalah bukan cara yang tepat untuk menghadirkan kedamaian di bumi ini," ujar suami Norma Sari Wardana itu.

Menurut Amika yang menyelesaikan master di University of Nottingham Graduate pada 2007 itu, cara berpikir semacam itu hanya akan menciptakan kehancuran dan pertentangan yang tidak akan pernah terselesaikan dalam kehidupan manusia.

Ia juga mengharapkan komunitas Muslim di Indonesia yang mayoritas mengambil pelajaran dari komunitas-komunitas Musim yang minoritas di Eropa.

Kaum Muslimin harus mampu menampilkan Islam sebagai nilai lebih dalam kehidupan pribadi dan masyarakatnya baik itu ketika menjadi kelompok mayoritas maupun minoritas, ujarnya.


Slogan

Ketua Islamic Society University of Essex, Abdullah Al-sheddy mengatakan, konferensi dengan polemik yang disampaikan sejarahwan Bernard Lewis, menempatkan Islam yang bukan saja sebagai agama, tetapi juga sebagai "way of life" (pandangan hidup) yang berkembang dalam keseluruhan materi konferensi.

Dubes RI untuk Qatar, Rozi Munir tahun lalu diundang khusus untuk mengikuti konperensi yang tahun ini dihadiri lebih dari 300 undangan yang separuhnya adalah warga Inggeris.

Muslim Inggris, Abdul Raheem Green sebagai pembicara pertama mengatakan, pernyataan Islam sebagai solusi kehidupan manusia modern masih tampak sebagai slogan belaka dan membutuhkan kerja keras dari kaum Muslimin untuk mewujudkannya.

"Nilai solutes Islam juga harus lebih realistis pada beberapa masalah tertentu saja bukan untuk semua masalah," ujar pria kelahiran Daar-es-Salaam, Tanzania, dari keluarga Agnostik-Katolik.

Menurut Abdul RaheemGreen, menempatkan Islam sebagai satu-satunya solusi bagi semua masalah adalah sebuah kesalahan yang dikemudian hari malah menjadi boomerang bagi masa depan Islam.

Dikatakannya apabila kaum Muslimin menginginkan sikap toleran dari masyarakat Kristen-Katolik dan juga pro-sekularisme di Inggris, maka Islam juga harus menunjukkan toleransinya kepada agama-agama yang lain.

Sedangkan pembicara lainnya Khola Hasan dan Dr. Yahya Al-Baheth, masing-masing membahas tentang pentingnya implementasi atau diakuinya Hukum Islam khususnya berkaitan dengan perkawinan dan warisan di Inggris dan peran penting keluarga dalam menciptakan generasi Muslim yang kuat.

Khola, penyandang master dalam bidang Perbandingan Hukum Internasional dari SOAS (School of Oriental and African Studies) ini mengingatkan perempuan Muslim adalah kelompok yang rentan menjadi korban tidak diakuinya Hukum Islam dalam sistem hukum di Inggris.

Banyak perempuan yang pernikahannya tidak terdaftar di Civil Magistrate tidak mendapatkan bagian pensiun dari suaminya yang meninggal atau tidak bisa menuntut cerai karena suaminya melakukan tindak kekerasan, ujar Khola Hasan.

Sementara itu, Tarek El-Diwany, konsultan di bidang perbankan dan keuangan Islam, mengkritik merajalelanya riba dalam sistem keuangan dan perbankan dunia.

Menurutnya, resesi ekonomi global yang terjadi saat ini adalah satu dampak dari masih dipertahankannya riba. Akibatnya, semua orang dari seluruh negara di dunia, khususnya negara Dunia Ketiga, memiliki beban hutang dan tidak mungkin bisa dilunasinya karena adanya praktek riba dalam sistem keuangan dunia.

Secara khusus alumni program studi Akuntasi dan keuangan dari University of Lancaster ini mencontohkan Indonesia yang harus sekuat tenaga menguras seluruh sumber daya alamnya untuk membayar hutang ke negara-negara maju Eropa Barat dan Amerika Utara.

Di akhir ceramahnya, Tarek menegaskan Sistem Perbankan Syariah pun masih mempraktekkan sistem riba ini, meskipun dengan nama lain. Ini hanya permainan semantik saja, tapi keduanya (sistem perbankan konvensional dan syariah) masih berdasarkan riba.

Konferensi ini ditutup dengan paparan Dr. Muhammad Abdul Bari, Sekretaris Jenderal Muslim Council of Britain, yang menuding media Barat yang terus menerus menampilkan narasi teror dalam pemberitaan media berkenaan dengan Islam dan dunia Muslim.

Adalah menjadi kewajiban setiap Muslim di manapun dia berada untuk bekerja keras menunjukkan bahwa keislamannya bukanlah ancaman bagi orang lain.

Pernyataan ini ditanggapi Abdul Raheem Green yang mengingatkan bahwa setiap Muslim di Inggris selayaknya mengenal semua tetangga tempat dia tinggal, mengunjungi ketika ada yang terkena musibah dan menawarkan bantuan apabila ada yang membutuhkan.

"Bukankah ini diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW," katanya.

Iklan PKS: Disruption atau Destruction


Mendekati Pemilu Legislatif (Pileg) 2009, partai-partai secara masif mulai beriklan. Partai yang menurut catatan media cetak mengeluarkan pembiayaan iklan yang paling besar adalah Partai Demokrat (PD) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Sebagai partai yang memerintah (ruling party), PD tentu saja ingin memperkuat positioning-nya sebagai partai yang "Berjuang untuk Rakyat". Iklan PD memaparkan fakta dan angka keberhasilan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sedangkan Partai Gerindra sebagai pendatang baru beriklan secara masif dan kontinyu untuk memperkenalkan partai dan capres Gerindra Prabowo Subianto.


Partai beriklan untuk membangun dan memperkuat positioning dirinya. Positioning adalah upaya partai untuk memasuki benak konstituen, mencari ruang untuk menempatkan diri di antara partai lainnya. Positioning yang tepat dapat meningkatkan dukungan terhadap partai dengan membuka potensi pemilih baru. Ada dua cara untuk mendulang pertambahan suara. Yang pertama, langkah ekspansif. Langkah ini membuka pasar di luar basis pemilih lama, Yang kedua adalah secara penetratif dimana partai cenderung memperdalam perolehan di basis suara.


Iklan partai yang terakhir mendapat perhatian dan ulasan yang cukup banyak di media adalah iklan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). PKS memang sedang menghadapi dilema dengan positioning. Sebagai partai yang menempatkan menteri-menteri di kabinet SBY-JK agak sulit bagi PKS untuk menyerang incumbent sebagaimana yang dilakukan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang memang menempatkan dirinya sebagai penantang (oposisi).


Sementara itu di lain pihak, PKS sendiri sulit untuk melakukan kapitalisasi atas keberhasilan-keberhasilan dari pencapaian incumbent karena kader PKS hanyalah menteri. Hal ini berbeda dengan Partai Golkar (PG) yang menempatkan kadernya sebagai wapres sehingga pemanfaatan klaim "keberhasilan" Kabinet SBY-JK dapat dibenarkan (justified). Tak heran, iklan PG dengan percaya diri mengangkat tema seperti swasembada beras, resolusi konflik, dan anggaran pendidikan sebesar 20%.


Iklan PKS bertemakan "pertikaian para elit" yang muncul kemudian merupakan upaya untuk mengubah lanskap politik yang terlihat mulai ajeg. PKS berupaya memberikan perspektif baru yang menguntungkan dirinya dalam lanskap politik tersebut (reframe). Berdasarkan survei-survei terakhir posisi 3 (tiga) besar masih ditempati PD, PDIP dan PG. Perolehan suara antara ketiga partai ini juga relatif tidak terlalu jauh. Sementara itu, jarak antara sang Tiga Besar dengan partai-partai dibawahnya cukup jauh. Capres yang diprediksi akan bertarung sengit adalah Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarno Putri. Capres lainnya menyusul kemudian berturut-turut adalah Sri Sultan, Prabowo Subianto dan Capres dari PKS Hidayat Nurwahid.


Sebagai partai yang berambisi untuk memperoleh sekitar 20% suara (yang tentu juga berambisi menempatkan kadernya sebagai capres), PKS telah mengambil langkah taktis dengan menyatakan diri sebagai Partai Terbuka untuk memudahkan ekspansi demi memperluas segmen pemilih. Selama ini PKS dikenal sebagai partai kanan (agama). Namun PKS kini mengaku sebagai partai yang secara ideologi tidak jauh berbeda dengan PG dan PD, yaitu partai tengah. Dengan demikian, segmen pemilih partai-partai tersebut bisa dimasuki PKS. Untuk mendukung pesan tersebut, PKS meluncurkan iklan tokoh-tokoh pahlawan dari semua spektrum ideologi politik. Tokoh Muhammadiah, NU, Soekarno bahkan sampai Soeharto ditampilkan. Iklan tersebut mendapat reaksi negatif dari para politisi yang merasa "memiliki" tokoh-tokoh tersebut.


Khusus untuk tokoh Soeharto, kritik terhadap PKS menyebabkan partai ini mendapatkan pemberitaan negatif dari media massa. Bahkan di kalangan elit PKS juga terjadi silang pendapat, dan terkesan ada yang disalahkan. Iklan ini gagal mendongkrak pesan dan hasil yang ingin dicapai karena disusul temuan survei yang menunjukan bahwa suara PKS tidak mampu masuk menjadi tiga besar.


Keajegan situasi ini (baca: lanskap yang masih didominasi PD, PG dan PDIP) menimbulkan kekhawatiran pada PKS. Taktik baru pun diluncurkan, yaitu disruption. Disruption dapat diterjemahkan sebagai "mengacaukan". Mengacaukan bertujuan untuk mengubah atau mengguncang lanskap politik yang ada. sehingga terbangun lanskap baru. Diharapkan dengan taktik ini terbuka celah bagi PKS untuk masuk menggantikan salah satu dari pemain tiga besar atau setidaknya mendorong perspektif adanya Empat Besar.


Dengan latar belakang demikian, iklan "pertikaian para elit" ini diluncurkan. Teks iklan tersebut dapat dibaca sebagai "para elit ini hanya bertikai, PKS mendorong persatuan". Iklan ini juga dapat ditafsirkan menjadi dua. Yang pertama,"Partai besar lain negatif, PKS Positif". Tafsiran kedua :"PKS sejajar dengan partai-partai besar lainnya karena ditampilkan dalam frame yang sama".


Tafsiran pertama bertujuan untuk membangun diferensiasi yang membedakan PKS dengan partai-partai lainnya, yaitu PKS sebagai pendorong terjadinya persatuan. Langkah ini senafas dengan iklan sebelumnya (iklan hari pahlawan) yang menampilkan berbagai tokoh, termasuk Soeharto. Ketika iklan "hari pahlawan: mendapat tanggapan negatif, PKS menyatakan bahwa setiap tokoh-tokoh tersebut memiliki jasa baik yang seharusnya dihargai dan diingat.Kesalahan yang pernah dilakukan sebaiknya dimaafkan. PKS juga berdalih iklan tersebut juga merupakan bagian dari upaya membangun rekonsiliasi. Iklan "pertikaian para elit" yang muncul belakangan dapat dianggap sebagai langkah penguat pesan-pesan tersebut.


Tafsiran kedua tampilan iklan "pertikaian para elit" (baca: partai di tiga besar) adalah PKS menyejajarkan dirinya dengan Tiga Besar. Langkah ini menggunakan taktik komparasi agar PKS mampu menciptakan efek kesejajaran.


Di below the line, PKS juga melakukan taktik Disruption. Isu yang dimainkan adalah koalisi pencalonan presiden. Para kader PKS"dibebaskan"berbicara terkait capres-cawapres dan koalisi. Setelah menyatakan sebagai partai terbuka, wacana koalisi Islam-Nasionalis pun digulirkan. Diharapkan kandidat dari PDIP dapat disandingkan dengan kandidat dari PKS.


Namun wacana ini meredup setelah PDIP gagal menetapkan calon wapresnya beberapa waktu lalu. Elit PKS pun mulai membangun wacana lain dengan mencalonkan Sri Mulyani sebagai wakil presiden dengan menyatakan bahwa Sri Mulyani lebih menguasai konsep ekonomi ketimbang Jusuf Kalla. Menyusul memanasnya situasi PD dengan PG, salah seorang pengurus teras DPP PKS pun mewacanakan kemungkinan koalisi dengan PG. Wacana yang paling mutakhir dari PKS (melalui pengurus teras DPP) adalah menyatakan akan kembali berkoalisi dengan PD karena konsituen PKS menginginkannya. Bolak-baliknya PKS mendorong kandidat capres/capres dan koalisi melalui taktik "mengacaukan" ini tiada lain adalah untuk mencari positioning bagi PKS.


Taktik Disruption ini kalau pun gagal tidak akan banyak merugikan PKS. Oleh karena itu, tafsir tambahan terhadap iklan "pertikaian elit politik" ini bisa dikembangkan menjadi destruction (penghancuran). Pemunculan iklan ini secara intens dan luas dengan memanfaatkan medium televisi hanya akan meningkatkan apatisme masyarakat terhadap politisi dan partai politik. Iklan terkadang hanya memperteguh pesan sehingga apatisme masyarakat akan memperteguh persepsi mereka terhadap citra negatif partai. Hal ini akan berimbas pada rendahnya partisipasi pemilih. Berdasarkan pengalaman di Pilkada, kondisi ini cenderung menguntungkan partai yang memiliki basis massa yang loyal dan mesin politik yang andal.


PKS tentunya tidak punya intensi memanfaatkan disruption dalam tafsiran yang terakhir. Sebagai partai dakwah tentunya PKS akan menjaga etika politik dan bersikap konstruktif. Apalagi Hidayat Nurwahid pernah menghimbau agar MUI mengeluarkan fatwa haram bagi golput.

sumber: http://www.maknainformasi.com/blog/?p=148

Menjadi Politisi Dakwah


dakwatuna.com - Apakah politisi dapat menjadi da’i? Atau apakah dai dapat menjadi politisi? Dan apakah mungkin kegiatan dakwah menjadi kegiatan politik? Atau sebaliknya kegiatan politik menjadi kegiatan dakwah? Menjawab beberapa pertanyaan di atas tidaklah mudah, apabila kita melihat persepsi masyarakat tentang dakwah dan politik. Dakwah dan politik adalah dua ‘kata’ yang kontra bagi mereka. Hal itu karena politik dipahami sebagai aktifitas dunia, sedang dakwah dipahami sebagai aktifitas akhirat. Yang pada gilirannya dipahami bahwa dakwah tidak pantas memasuki wilayah politik, dan politik haram memasuki wilayah dakwah. Dakwah adalah pekerjaan para ustadz, dan politik pakerjaan para politisi. Jika seorang ustadz yang menjadi politisi, ia harus menanggalkan segala atribut dan prilaku ke-ustadz-annya, dan harus mengikuti atau beradaptasi dengan perilaku para politisi. Demikian pula apabila seorang politisi menjadi ustadz ia pun harus menanggalkan baju politiknya, dan jika tidak, ia akan tetap dicurigai menggunakan agama sebagai alat politik.

Tapi, pertanyaan di atas akan menjadi mudah untuk dijawab, apabila politik dipahami sesuai dengan definisi aristoteles bahwa politik adalah: “Segala sesuatu yang sifatnya dapat merealisasikan kebaikan di tengah masyarakat.” Definisi ini meliputi semua urusan masyarakat, temasuk di dalamnya masalah akhlak yang selama ini menjadi wilayah kerja dakwah, sebagaimana dipahami masyarakat.

Dan atau apabila dipahami definisi politik menurut Al Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, yaitu:

“Politik adalah hal memikirkan tentang persoalan-persoalan internal maupun eksternal umat.” Intermal politik adalah “mengurus persolalan pemerintahan, menjelaskan fungsi-fungsinya, merinci kewajiban dan hak-haknya, melakukan pengawasan terhadap para penguasa untuk kemudian dipatuhi jika mereka melakukan kebaikan, dan dikeritik jika mereka melakukan kekeliruan.” Sedang yang dimaksud dengan eksternal politik adalah “memelihara kemerdekaan dan kebebasan bangsa, mengantarkannya mencapai tujuan yang akan menempatkan kedudukannya di tengah-tengah bangsa lain, serta membebaskannya dari penindasan dan intervensi pihak lain dalam urusan-urusannya.”

Baik internal maupun eksternal politik, sama-sama mencakup ajakan kepada kebaikan, seruan berbuat makruf dan pencegahan dari kezaliman, yang selama ini menjadi wilayah kerja dakwah.

Dengan pemahaman 2 definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa politik dan dakwah adalah dua kegiatan yang sangat terkait, dan sangat mungkin dakwah menjadi kegiatan politik, atau politik menjadi kegiatan dakwah, atau dapat disebut two in one. Bahwa dakwah adalah politik apabila ia berperan memahamkan masyarakat kepada hak dan kewajiban mereka. Dan bahwa politik adalah dakwah jika ia berperan mengajak masyarakat berbuat baik, memfasilitasi mereka berbuat makruf dan menutup semua pintu bagi masyarakat untuk berbuat zalim dan dizalimi.

Secara operasional, bahwa dakwah adalah politik dan politik adalah dakwah dapat dipahami dengan baik oleh setiap muslim apabila pertama, memahami universalitas Islam; kedua, memahami risalah penciptaan manusia; dan ketiga, mengatahui cara merealisasikan risalah tersebut sesuai dengan ajaran Islam. Sehingga setiap muslim harus menjadi da’i sekaligus menjadi politisi. Karena itulah Hasan Al Banna mengatakan, “Sesungguhnya seorang muslim belum sempurna keislamannya kecuali jika ia menjadi seorang politisi, mempunyai pandangan jauh kedepan dan memberikan perhatian penuh kepada persoalan bangsanya.”

Lalu bagaimana menjadi politisi dakwah? Berikut ini sub-sub bahasan yang menjelaskan lebih rinci mengenai masalah ini:

1. Kedudukan Politik Dalam Islam

Islam agama sempurna, mencakup seluruh urusan kehidupan manusia yang terdiri dari kehidupan individu, keluarga, masyarakat, dan negara, serta segala aktifitas yang meliputnya, seperti ekonomi, politik, pendidikan, hukum dan lain sebagainya. Islam tidak memilah antara kehidupan dunia dan akhirat. Dalam setiap aktifitas mengandung unsur dunia dan akhirat sekaligus.

Shalat misalnya, dalam persepsi banyak orang ia adalah amalan akhirat angsih. Tapi jika ditelaah lebih dalam, dapat ditemukan bahwa shalat adalah amalan akhirat sekaligus amalan dunia. Ia menjadi demikian karena, pertama, shalat dilaksanakan di dunia, pahalanya saja yang diperoleh di akhirat; kedua, shalat itu dzikir, dan setiap yang berdzikir pasti mendapatkan ketenangan, dan ketenangan itu kebutuhan asasi manusia dalam beraktifitas. Rasulullah saw jika sedang gundah, beliau berkata kepada Bilal: “Tenangkanlah kami dengan shalat hai Bilal!” dan yang ketiga, shalat sangat dianjurkan dilaksanakan dengan berjamaah, dan bagi yang melaksanakannya mendapatkan derajat 27 kali lipat dari pada yang shalat sendirian. Shalat berjamaah membuat kita - dengan sendrinya - bersilaturahim, mendidik kita hidup bermasyarakat dan bernegara yang teratur dan rapi. Dalam shalat berjamaah harus ada imam dan makmum yang semua tindakannya harus sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, makmum harus taat pada imam, mengikuti semua gerakan dan perintah imam, apabila tidak maka shalat sang makmum tidak sah. Dan apabila sang imam salah atau khilaf, maka wajib bagi makmum untuk menegurnya sampai imam kembali kepada yang benar. Demikian pula seharusnya yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Contoh yang lain, kegiatan jual beli, dalam persepsi banyak orang, ia adalah kegiatan dunia angsih. Padahal jika ditelaah lebih mendalam, maka ia pun sekaligus menjadi kegiatan akhirat. Hal itu, karena walaupun zhahirnya jual beli adalah amalan dunia, tapi karena di dalamnya ada aturan main yang harus di patuhi oleh masing-masing penjual dan pembeli, dan jika mereka patuh pada atauran itu, maka keduanya mendapatkan pahala yang akan diperolehnya di akhirat, tapi jika salah satu atau keduanya menyalahi atuaran tersebut, maka yang berbuat salah mendapatkan dosa, yang hukumannya akan ia dapatkan pula di akhirat. Oleh karena itu Rasulullah saw besabda, “pedagang yang jujur mendapatkan naungan arasy pada hari kiamat.”

Dengan demikian, semua amalan, baik mahdhah maupun gairu mahdhah di dalam Islam, memiliki kedudukan yang sama, termasuk di dalamnya politik. Bahkan jika politik berarti kekuasaan, Utsman bin ‘Affan ra berkata: “Al Qur’an lebih memerlukan kekuasaan dari pada kekuasaan membutuhkan Al Qur’an.”

Karena politik bagian dari keuniversalan Islam, maka setiap muslim meyakini bahwa Islam memiliki sistim politik yang bersumber dari Allah, dicontohkan oleh Rasulullah dan dikembangkan oleh para sahabat dan salafussaleh, sesuai dengan dinamika perkembangan hidup manusia setiap masa. Berikutnya setiap muslim pun siap menjalankan sistem itu, dan tidak akan menjalankan sistim yang lain, karena kahawatir akan tergelincir pada langkah-langkah syaitan. Itulah bagian dari pengertian firman Allah SWT; “Hai orang-orang yang beriman! Masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh). Dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syatan. Sesungguhnya syaitan itu bagi kalian adalah musuh yang nyata.” Qs. al Baqarah: 208.

2. Peran Politik Dalam Dakwah

Allah telah menetapkan risalah penciptaan manusia, yaitu beribadah kepada-Nya, kemudian menjadikannya khalifah dalam rangka membangun kemakmuran di muka bumi bagi para penghuninya yang terdiri dari manusia dan alam semesta.

Agar risalah ini menjadi abadi dalam sejarah peradaban manusia, Allah SWT ‘merekayasa’ agar dalam kehidupan terjadi hubungan interaksi ‘positif’ dan ‘negatif’ di antara semua makhluk-Nya secara umum, dan di antara manusia secara khusus. Yang dimaksud dengan interaksi positif ialah, adanya hubungan tolong menolong sesama makhluk. Sedangkan interaksi negatif ialah, adanya hubungan perang dan permusuhan sesama makhluk. Allah SWT berfirman: “…Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai yang dicurahkan atas semesta alam.” Qs. Al Baqarah: 251.

Keabadian risalah tersebut sangat tergantung pada hasil dari setiap interaksi baik yang positif maupun negatif. Jika yang melakukan tolong menolong adalah orang-orang saleh, yang pada gilirannya mereka saling menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan; dan jika berada dalam peperangan, dimenangkan pula oleh orang-orang saleh itu, maka pasti yang akan terjadi adalah keabadian risalah.

Tapi jika yang melakukan tolong menolong adalah orang-orang buruk yang bersepakat melaksanakan kejahatan dan permusuhan, dan selanjutnya mereka pula yang memenangkan peperangan, maka pasti yang akan terjadi adalah kehancuran.

Disinilah letak politik berperan dalam dakwah. Dakwah mengajak pada kebaikan, melaksanakan risalah penciptaan manusia, menyeru kepada yang makruf dan mencegah semua bentuk kemungkaran, sementara politik berperan memberikan motivasi, perlindungan, pengamanan, fasilitas, dan pengayoman untuk terealisasinya risalah tersebut.

Sejarah telah membuktikan, bahwa naskah-naskah Al Qur’an yang sangat ideal pernah menjadi kenyataan dalam kehidupan sehari-hari umat manusia. Pada zaman Nabi saw, seorang Bilal bin Rabah yang hamba sahaya pada masa jahiliyah menjadi orang merdeka pada masa Islam, dan memiliki kedudukan yang sama dengan para bangsawan Quraisy, seperti Abubakar Siddiq dan Umar bin Khattab. Ini karena Islam yang didakwahkan oleh Rasulullah saw mengajarkan persamaan derajat, sekaligus beliau sebagai pemimpin umat - dan tidak salah jika dikatakan pemimpin politik umat - menjamin realisasi persamaan derajat itu sendiri. Sehingga pernah suatu ketika beliau marah kepada seorang shabatnya yang mencela warna kulit Bilal.

Pada zaman yang sama, ketika Nabi saw mengirim pasukannya ke negeri Syam, beliau berpesan agar pasukan itu tidak menebang pohon kecuali untuk kebutuhan masak, melarang membunuh anak-anak, perempuan, orang tua yang tidak ikut berperang dan orang yang telah menyerah, beliau juga melarang membunuh orang yang sedang beribadah di gereja, dst. Ini semua adalah buah dari ajaran Islam yang termaktub dalam Al-Qur’an.

Sepeninggalan beliau, Rasulullah digantikan oleh Abubakar Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib secara berurutan. Pada zaman keempat sahabat itu, keadaan yang telah dibangun oleh Rasulullah saw tidak berubah, semua warga dibawa kepemimpinan khilafah menjalankan hak dan kewajiban, mendapatkan persamaan derajat, tidak ada yang dizalimi kecuali mendapatkan haknya, atau berbuat zalim kecuali telah mendapatkan sangsi. Keadaan ini berlangsung sampai masa keemasan Islam di Damaskus, kemudian di Bagdad dan Andalusia.

Tapi seirng dengan perkembangan berikutnya, umat menjauh dari agamanya, kegiatan agama dijauhkan dari kegiatan realitas kehidupan masyarakat sehari-hari, demikian pula sebaliknya, hingga sampailah zaman itu pada generasi kita.

Kita bersedih dengan keadaan kita, umat Islam sebagai umat terbesar di alam raya ini, tapi terzalimi hak-haknya, umat Islam sebagai penduduk mayoritas di negeri tercinta ini, tapi terbantai di Maluku dan di Poso, tidak boleh menjalankan syariat agamanya secara kaffah, dihambat para pemimpinya yang saleh untuk memimpin bangsanya, tidak diberi kesempatan yang sama dalam mengembangkan ekonominya, dst.

Mungkinkah sejarah kita hari ini berulang seperti sejarah generasi pertama umat ini. Sangat mungkin! Tentu apabila kita mau memenuhi syarat-syaratnya. Sebagiannya telah kami sebutkan dalam makalah ini, yaitu dakwah dan politik sebagai instrumen terlaksananya ajaran Islam harus menyatu menjadi karakter setiap muslim, atau dengan kata lain menjadi poltisi dakwah.

3. Karakteristik Politisi Dakwah

Setiap muslim berkewajiban menjadi da’i, paling tidak, untuk dirinya dan keluarganya, sebagaimana Rasulullah saw berwasiat: “Sampaikanlah tentang ajaranku walaupun satu ayat.” Dan sekaligus secara perlahan menjadi politisi dakwah, sebagaimana telah kami ungkapkan sebelumnya. Adapun sifat dan karakter yang dimiliki para politisi dakwah adalah sebagai berikut:

A. Memiliki Keperibadian politik.

Kepribadian politik adalah sekumpulan orientasi politik yang terbentuk pada diri seseorang dalam menyikapi dunia politik. Ia memiliki tiga aspek.

Pertama, Doktrin-doktrin yang menagndung makna politis, baik secara langsung maupun tidak langsung. Doktrin-doktrin yang tidak langsung meliputi:

(a) Doktrin khusus yang berkaitan dengan ketuhanan, manusia, alam semesta, pengetahuan dan nilai-nilai. Yaitu:

* Keyakianan bahwa Allah swt adalah musyarri’ (Pembuat hukum).
* Keyakinan bahwa al wala’ (loyalitas) dan al bara’ (anti loyalitas) adalah konsekuensi aqidah, loyal hanya kepada Allah, Rasul dan orang-orang beriman. Dan kepada selainnya tidak akan pernah loyal.
* Keyakinan bahwa semua manusia sama dalam hal penciptaan, hak dan kewajibannya.
* Keyakinan bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi, dengan tujuan memakmurkan bumi sesuai dengan syariat Allah, dan bahwa alam ini ditundukkan untuknya.
* Keyakinan bahwa sumber nilai-nilai adalah wahyu.

(b) Doktrin khusus tentang masyarakat, perubahan sosial, dan perempuan. Yaitu:

* Keyakinan bahwa karakteristik dan prinsip masyarakat muslim adalah akhlak.
* Keyakinan bahwa perubahan sosial adalah atas dasar kemauan dan gerak manusia itu sendiri, berangkat dari pembinaan individu, kemudian keluarga, masyarakat dan negara.
* Keyakianan bahwa perempuan memiliki hak-hak politik sama dengan hak-hak politik laki-laki.

Sedang doktrin-doktrin yang mengandung makna politis secara langsung adalah:

(a) Doktrin khusus tentang keadilan dan kedamaian sosial.

(b) Doktrin tentang strategi moneter, kemerdekaan dan kebangkitan ekonomi.

(c) Doktrin khusus tentang hukum dan kekuasaan, bahwa hukum Islam sebagai sumber kekuasaan; umat sebagai lembaga pengawas dan yang mengangkat dan menurunkan pemerintah; syura adalah keniscayaan; keadilan ditegakkan; kebebasan dan persamaan derajat adalah hak dan kebutuhan setiap orang.

(d) Doktrin khusus tentang kepahlawanan dan kewarganegaraan.

(e) Doktrin khusus tentang kemerdekaan kultural; kewajiban membebaskan diri dari penjajahan; dan kewajiban berjihad di jalan Allah.

Kedua, Pengetahuan dan wawasan politik, masalah ini akan dibahas pada point memiliki kesadaran politik.

Ketiga, Orientasi dan perasaan politik. Para politisi dakwah yang telah meyakini doktrin-doktrin di atas, disertai dengan pengetahuan dan wawasan yang luas tentang politik, maka pasti ia memiliki orientasi dan perasaan politik. Diantaranya: Loyal kepada pemerintah yang menegakkan syariat Islam; rasa ukhuwah insaniyah dan islamiyah, serta rasa persamaan derajat dengan orang lain; hasrat melakukan perubahan sosial dengan ishlah dan tarbiyah; menghindari kekerasan; menghargai pendapat orang-orang berpengalaman; sikap positif terhadap aktivitas positif; benci kesewenang-wenangan; cinta kemerdekaan; rasa kewarganegaraan dan kepahlawanan; rasa benci dan tunduk kepada bangsa lain; mendukung gerakangerakan-gerakan kemerdekaan di seluruh dunia; bermusuhan dengan penjajah dan seterusnya.

Kesemua orientasi dan perasaan politik tersebut sangat penting, dan seharusnya politisi dakwah membangunnya pada dirinya dan pada umat Islam serta pada masyarakat umum.

B. Memiliki kesadaran politik.

Kesadaran poltik yang musti dimiliki oleh seorang politisi dakwah adalah:

Pertama, Kesadaran misi, yaitu kesadaran terhadap ajaran Islam itu sendiri, atau kesadaran akan doktrin-doktrin yang telah disebutkan di depan. Ia meliputi pada penyadaran akan dasar-dasar aqidah, akhlak, sosial, ekonomi dan plitik Islam; Juga meliputi pada penyadaran akan pentingnya aplikasi Islam, sebagai asas identitas umat; Selanjuntnya meliputi pula pada penyadaran terhadap karakteristik konseptualnya. Misalnya ia adalah konsep universal untuk seluruh zaman dan tempat.

Kedua, Kesadaran gerakan, yaitu kesadaran terhadap ajaran islam tidak akan terwujud di tengah masyarakat dan negara kecuali ada organisasi pergerakan yang berkomitmen dengan asas Islam, dan bekerja untuk mewujudkannya.

Ketiga, Kesadaran akan problematika politik yang terjadi di masyarakat, yang meliputi probelematika politik nasional, regional dan internasional. Contoh untuk problematika nasional adalah penegakan hukum Islam dengan usulan agar UUD 1945 pasal 29 diamandemen, dan memasukkan ke dalamnya tujuh kata piagam Jakarta.

Keempat, Kesadaran akan hakikat dan sikap politik, yaitu kemapuan politisi dakwah memahami peristiwa poltik dan sadar akan sikap kekuatan-kekuatan politi dalam menghadapi berbagai peristiwa politik itu sendiri. Kesadaran semacam ini tidak mungkin ada tanpa kemampuan mutabaah terhadap berbagai peristiwa dan berbagai kekuatan politik baik melalui media massa maupun kajian-kajian.

Keempat kesadaran poltik tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesadaran misi adalah kesadaran permanen; kesadaran gerakan adalah kesadaran permanen dan fleksibel; kesadaran problematika politik adalah kesadaran fleksibel berdasarkan pandangan yang permanen; dan kesadaran sikap politik adalah kesadaran fleksibel sesuai jenis peristiwa.

C. Berpatisipasi dalam kegiatan-kegiatan politik.

Paertisipasi politik seseorang sangat bergantung orientasi politiknya yang telah terbentuk oleh doktrin-doktrin politik yang telah diyakininya. Maka seorang politisi dakwah yang telah meyakini bahwa menegakkan pemerintahan Islam dalah kewajiban, pasti akan berparisipasi pada setiap kegiatan politik yang kan menuju ke sana. Dalam rangka menggapai keyakinan tersebut, seorang politisi dakwah dapat berpartisipasi; pertama, dalam bentuk individu dengan menjadi anggota organisasi politik; sedang yang kedua, dalam bentuk memberikan solusi atas realita dan problematika masyarakat.

Contoh untuk bentuk yang pertama adalah, lahirnya parati-partai politik yang sebelumnya hanya berbentuk gerakan-gerakan dakwah yang terorganisir rapi dan sistematis, yang kemudian setiap anggota gerakan menjadi anggota partai politik secara otomatis. Dan mensukseskan setiap kegiatan partai tersebut pada setiap jenjang struktur yang menjadi hak dan wewenangnya.

Sedang contoh untuk bentuk yang kedua adalah, keikutserataan seorang politisi dakwah dalam aksi-aksi politik, seperti demonsntrasi menentang kebijakan nasional ataupun internasional yang merugikan agama Islam, atau keikutsertaan seorang politisi dakwah dalam pelayanan sosial, misalnya dengan membantu warga yang sedang mendapatkan musibah atau bencana alam, atau dengan melakukan upaya menghilangkan buta huruf di masyarakat, atau dengan mengadakan aksi mengangkat masyarakat dari bawah garis kemiskinan dls.

4. Langkah-langkah Menjadi Politisi Dakwah

Semoga dengan uraian di depan dapat menghilangkan keterbelahan pemahaman bahwa dakwah dan poltik adalah sesuatu yang kuntra, dan tidak dapat disatukan dalam satu aktifitas. Semoga pula dapat ‘menggoda’ kita untuk menanam saham kebaikan dalam rangka membangun peradaban dunia, yang sesuai kehendak Allah, melaui aktifitas dakwah dan politik. Akan tetapi dari mana kita memulai?

Pertama, Membangun kembali pemahaman kegamaan kita, bahwa agama Islam itu agama yang syamil, mencakup seluruh aspek kehidupan; bahwa agama Islam itu asasnya aqidah, batangnya amal ibadah dan buahnya adalah akhlak; bahwa agama Islam itu diamalkan di dunia dan pahalanya diperoleh di akhirat; bahwa agama Islam itu diturunkan Allah untuk semua manusia, dan sterusnya. Pemahaman ini harus dibangun melalui peroses belajar mengajar. Islam mengajarkan bahwa belajar dilakukan dengan dua hal: Satu, dengan membaca fenomena-fenomena alam dan literatur-literatur; dan dua, dengan belajar melalui guru. Kedua metode tersebut harus dilakukan oleh stiap muslim, tidak boleh hanya salah satunya. Sebab dengan membaca saja seseorang dapat tersesat, atau dengan melalui guru saja, seseorang memiliki wawasan yang sempit. Karena dengan demikian, kita sebagai politisi dakwah dapat mengamalkan Islam penuh tanggung jawab, tidak berdasarkan hawa nafsu.

Kedua, Membangun kembali kebersamaan kita, bahwa kita itu bersaudara, tidak dipisahkan oleh batasan darah, suku dan bangsa, apalagi hanya dibatasi oleh perbedaan organisasi keagamaan atau perbedaan madzahab; bahwa kita itu perlu kerjasama dan berjamaah, karena memang setiap amalan dalam agama Islam sangat dianjurkan dilakukan dalam berjamaah; bahwa kita tidak dapat merealisasikan sebagian besar ajaran agama Islam kecuali dengan bersama-sama. Kebersamaan dapat dibangun dengan kemampuan kita melepaskan egoisme individu masing-masing kita, sehingga kita dapat menerima dan memberi nasehat orang lain, serta mampu bersabar atas kekurangan dan perbedaan dalam kebersamaan. Sehingga kebersamaan ini membuat politisi dakwah menjadi kuat dan dapat segera mencapai cita-citanya.

Ketiga, Mengenal kembali potensi dan kelebihan diri kita; bahwa masing-masing kita memiliki kelebihan yang berbeda dengan orang lain; bahwa kelebihan kita dapat menjadi keunggulan yang menutupi kekurangan orang lain; bahwa keunggulan kita dapat menghapus kelemahan kita. Yang penting, dengan keunggulan itu dapat kita jadikan sebagai sarana yang memanjangkan umur pahala kita. Sehingga kita menumbuhkannya secara terus dan menjadi politisi dakwah melalui keunggulan tersebut.

Keempat, Memahami kembali realitas kehidupan kita; bahwa kita hidup pada hari ini, bukan hari kemarin yang sangat mungkin kulturnya jauh berbeda dengan hari ini; bahwa kehidupan itu penuh dengan dinamika, sehingga kita politisi dakawah dituntut memiliki kemampuan mengaktualisasikan ajaran Islam, dalam bentuk sarana, metode, dan cara sesuai zaman, tanpa harus keluar dari frame dasar agama ini.

Akhirnya, Telah menjadi harapan kami, semoga kita dapat menjadi politisi dakwah yang mempelopori pelaksanaan ajaran Islam, secara bersama-sama, berangkat dari keunggulan kita masing-masing, dalam nuansa memperhatikan keadaan, perubahan dan dinamika zaman, yang pada gilirannya Islam tidak hanya tertulis dalam Al Qur’an, tergambar dalam Sunnah dan tertarjamah dalam buku-buku, tapi menjadi kenyataan di muka bumi. Atau tidak hanya menjadi gambar dan maket, tapi dapat menjadi bangunan yang kokoh, yang semua orang dan makhluk dapat bernaun dan tinggal dengan damai dalam bangunan tersebut. Allahu a’lam