Monday, February 23, 2009

Iklan PKS: Disruption atau Destruction


Mendekati Pemilu Legislatif (Pileg) 2009, partai-partai secara masif mulai beriklan. Partai yang menurut catatan media cetak mengeluarkan pembiayaan iklan yang paling besar adalah Partai Demokrat (PD) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Sebagai partai yang memerintah (ruling party), PD tentu saja ingin memperkuat positioning-nya sebagai partai yang "Berjuang untuk Rakyat". Iklan PD memaparkan fakta dan angka keberhasilan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sedangkan Partai Gerindra sebagai pendatang baru beriklan secara masif dan kontinyu untuk memperkenalkan partai dan capres Gerindra Prabowo Subianto.


Partai beriklan untuk membangun dan memperkuat positioning dirinya. Positioning adalah upaya partai untuk memasuki benak konstituen, mencari ruang untuk menempatkan diri di antara partai lainnya. Positioning yang tepat dapat meningkatkan dukungan terhadap partai dengan membuka potensi pemilih baru. Ada dua cara untuk mendulang pertambahan suara. Yang pertama, langkah ekspansif. Langkah ini membuka pasar di luar basis pemilih lama, Yang kedua adalah secara penetratif dimana partai cenderung memperdalam perolehan di basis suara.


Iklan partai yang terakhir mendapat perhatian dan ulasan yang cukup banyak di media adalah iklan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). PKS memang sedang menghadapi dilema dengan positioning. Sebagai partai yang menempatkan menteri-menteri di kabinet SBY-JK agak sulit bagi PKS untuk menyerang incumbent sebagaimana yang dilakukan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang memang menempatkan dirinya sebagai penantang (oposisi).


Sementara itu di lain pihak, PKS sendiri sulit untuk melakukan kapitalisasi atas keberhasilan-keberhasilan dari pencapaian incumbent karena kader PKS hanyalah menteri. Hal ini berbeda dengan Partai Golkar (PG) yang menempatkan kadernya sebagai wapres sehingga pemanfaatan klaim "keberhasilan" Kabinet SBY-JK dapat dibenarkan (justified). Tak heran, iklan PG dengan percaya diri mengangkat tema seperti swasembada beras, resolusi konflik, dan anggaran pendidikan sebesar 20%.


Iklan PKS bertemakan "pertikaian para elit" yang muncul kemudian merupakan upaya untuk mengubah lanskap politik yang terlihat mulai ajeg. PKS berupaya memberikan perspektif baru yang menguntungkan dirinya dalam lanskap politik tersebut (reframe). Berdasarkan survei-survei terakhir posisi 3 (tiga) besar masih ditempati PD, PDIP dan PG. Perolehan suara antara ketiga partai ini juga relatif tidak terlalu jauh. Sementara itu, jarak antara sang Tiga Besar dengan partai-partai dibawahnya cukup jauh. Capres yang diprediksi akan bertarung sengit adalah Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati Soekarno Putri. Capres lainnya menyusul kemudian berturut-turut adalah Sri Sultan, Prabowo Subianto dan Capres dari PKS Hidayat Nurwahid.


Sebagai partai yang berambisi untuk memperoleh sekitar 20% suara (yang tentu juga berambisi menempatkan kadernya sebagai capres), PKS telah mengambil langkah taktis dengan menyatakan diri sebagai Partai Terbuka untuk memudahkan ekspansi demi memperluas segmen pemilih. Selama ini PKS dikenal sebagai partai kanan (agama). Namun PKS kini mengaku sebagai partai yang secara ideologi tidak jauh berbeda dengan PG dan PD, yaitu partai tengah. Dengan demikian, segmen pemilih partai-partai tersebut bisa dimasuki PKS. Untuk mendukung pesan tersebut, PKS meluncurkan iklan tokoh-tokoh pahlawan dari semua spektrum ideologi politik. Tokoh Muhammadiah, NU, Soekarno bahkan sampai Soeharto ditampilkan. Iklan tersebut mendapat reaksi negatif dari para politisi yang merasa "memiliki" tokoh-tokoh tersebut.


Khusus untuk tokoh Soeharto, kritik terhadap PKS menyebabkan partai ini mendapatkan pemberitaan negatif dari media massa. Bahkan di kalangan elit PKS juga terjadi silang pendapat, dan terkesan ada yang disalahkan. Iklan ini gagal mendongkrak pesan dan hasil yang ingin dicapai karena disusul temuan survei yang menunjukan bahwa suara PKS tidak mampu masuk menjadi tiga besar.


Keajegan situasi ini (baca: lanskap yang masih didominasi PD, PG dan PDIP) menimbulkan kekhawatiran pada PKS. Taktik baru pun diluncurkan, yaitu disruption. Disruption dapat diterjemahkan sebagai "mengacaukan". Mengacaukan bertujuan untuk mengubah atau mengguncang lanskap politik yang ada. sehingga terbangun lanskap baru. Diharapkan dengan taktik ini terbuka celah bagi PKS untuk masuk menggantikan salah satu dari pemain tiga besar atau setidaknya mendorong perspektif adanya Empat Besar.


Dengan latar belakang demikian, iklan "pertikaian para elit" ini diluncurkan. Teks iklan tersebut dapat dibaca sebagai "para elit ini hanya bertikai, PKS mendorong persatuan". Iklan ini juga dapat ditafsirkan menjadi dua. Yang pertama,"Partai besar lain negatif, PKS Positif". Tafsiran kedua :"PKS sejajar dengan partai-partai besar lainnya karena ditampilkan dalam frame yang sama".


Tafsiran pertama bertujuan untuk membangun diferensiasi yang membedakan PKS dengan partai-partai lainnya, yaitu PKS sebagai pendorong terjadinya persatuan. Langkah ini senafas dengan iklan sebelumnya (iklan hari pahlawan) yang menampilkan berbagai tokoh, termasuk Soeharto. Ketika iklan "hari pahlawan: mendapat tanggapan negatif, PKS menyatakan bahwa setiap tokoh-tokoh tersebut memiliki jasa baik yang seharusnya dihargai dan diingat.Kesalahan yang pernah dilakukan sebaiknya dimaafkan. PKS juga berdalih iklan tersebut juga merupakan bagian dari upaya membangun rekonsiliasi. Iklan "pertikaian para elit" yang muncul belakangan dapat dianggap sebagai langkah penguat pesan-pesan tersebut.


Tafsiran kedua tampilan iklan "pertikaian para elit" (baca: partai di tiga besar) adalah PKS menyejajarkan dirinya dengan Tiga Besar. Langkah ini menggunakan taktik komparasi agar PKS mampu menciptakan efek kesejajaran.


Di below the line, PKS juga melakukan taktik Disruption. Isu yang dimainkan adalah koalisi pencalonan presiden. Para kader PKS"dibebaskan"berbicara terkait capres-cawapres dan koalisi. Setelah menyatakan sebagai partai terbuka, wacana koalisi Islam-Nasionalis pun digulirkan. Diharapkan kandidat dari PDIP dapat disandingkan dengan kandidat dari PKS.


Namun wacana ini meredup setelah PDIP gagal menetapkan calon wapresnya beberapa waktu lalu. Elit PKS pun mulai membangun wacana lain dengan mencalonkan Sri Mulyani sebagai wakil presiden dengan menyatakan bahwa Sri Mulyani lebih menguasai konsep ekonomi ketimbang Jusuf Kalla. Menyusul memanasnya situasi PD dengan PG, salah seorang pengurus teras DPP PKS pun mewacanakan kemungkinan koalisi dengan PG. Wacana yang paling mutakhir dari PKS (melalui pengurus teras DPP) adalah menyatakan akan kembali berkoalisi dengan PD karena konsituen PKS menginginkannya. Bolak-baliknya PKS mendorong kandidat capres/capres dan koalisi melalui taktik "mengacaukan" ini tiada lain adalah untuk mencari positioning bagi PKS.


Taktik Disruption ini kalau pun gagal tidak akan banyak merugikan PKS. Oleh karena itu, tafsir tambahan terhadap iklan "pertikaian elit politik" ini bisa dikembangkan menjadi destruction (penghancuran). Pemunculan iklan ini secara intens dan luas dengan memanfaatkan medium televisi hanya akan meningkatkan apatisme masyarakat terhadap politisi dan partai politik. Iklan terkadang hanya memperteguh pesan sehingga apatisme masyarakat akan memperteguh persepsi mereka terhadap citra negatif partai. Hal ini akan berimbas pada rendahnya partisipasi pemilih. Berdasarkan pengalaman di Pilkada, kondisi ini cenderung menguntungkan partai yang memiliki basis massa yang loyal dan mesin politik yang andal.


PKS tentunya tidak punya intensi memanfaatkan disruption dalam tafsiran yang terakhir. Sebagai partai dakwah tentunya PKS akan menjaga etika politik dan bersikap konstruktif. Apalagi Hidayat Nurwahid pernah menghimbau agar MUI mengeluarkan fatwa haram bagi golput.

sumber: http://www.maknainformasi.com/blog/?p=148

No comments: