Sunday, July 20, 2008

Spritual Branding

Ketika berbicara tentang air mineral, Aqua seperti tersinonimkan dengannya. Begitu pun, ketika berbicara tentang odol, kita sepertinya mem-pepsodent- kan odol merek lainnya. Ketika berbicara tentang ayam goreng, yang terpikirkan pertama kali adalah ayam goreng wong solo. Pun tidak terlepas, ketika berbicara kuis, pikir kita begitu mudah mengarah ke Helmy Yahya. Itulah kekuatan merek (branding). Kekuatan yang diukur seberapa baik citra sebuah merek di benak konsumen. Begitu pun diri kita sebenarnya memiliki nilai diri. Tinggal bagaimana kita menempatkan diri kita di benak orang lain.

Perbincangan mengenai merek (brand) dan pemerekan (branding) merupakan hal yang sangat esensial dalam konteks pemasaran. Merek merupakan simbol, warna, kata-kata atau atribut lain yang unik dan menjadi pembeda dengan merek lain. Sedangkan pemerekan merujuk pada proses membangun suatu merek, baik merek perusahaan, produk, personal, gagasan, kawasan atau kota, hingga bangsa atau negara.

Merek juga menjadi batas yang membedakan pemasaran dengan perdagangan (trading) yang aktivitasnya seputar jual-beli komoditas (tanpa merek). Sementara pemasaran diawali dengan identifikasi kebutuhan dan selera pasar, memilah dan memilih segmen pasar yang mau dibidik, menyiapkan produk yang sesuai dengan karakteristik konsumen dan memberinya nama/merek produk, menetapkan harga yang pas, lalu merancang pesan komunikasi, mendistribusikan produk hingga terpajang di tempat pembelian, dan setelah produk terjual masih terus memonitor pasar untuk memberikan layanan yang prima.

Dalam pemasaran spiritual, jiwa sebuah merek bertumpu pada suara hati atau nurani (ruh). Karakter merek adalah pancaran dari sifat-sifat mulia Sang Pencipta, karena merek menjadi benang spiritual untuk mengagungkan Allah; bukan cuma untuk membuat merek terkenal dan laris. Jadi, pesona merek spiritual adalah cerminan pesona Ilahiah, bukan pesona produk, perusahaan, gagasan, kawasan, kota atau bangsa semata.

Jenjang Merek Spiritual

Berbagai upaya untuk membangun pesona merek spiritual (spiritual branding) ini menjadi ciri utama pemasaran spiritual. Ada empat lapis merek yang perlu dicermati dari jenjang merek personal, produk, perusahaan hingga spasial. Agar merek bernilai spiritual, maka karakter dan identitas merek harus menebar nilai-nilai transendental yang memancarkan pesona Ilahiah.

Pertama, merek personal (personal branding). Sosok pribadi yang memiliki citra spiritual tentu bukan hanya dari kalangan agamawan. Banyak pebisnis yang masih jernih hati nuraninya sehingga tampil simpatik dan peduli terhadap sesama. Nabi Muhammad sendiri sejak usia belia dikenal sebagai sosok usahawan. Setelah diangkat menjadi nabi pada usia 40 tahun, baru menjadi figur pemimpin spiritual.

Kedua, merek produk (product branding). Air minum dalam kemasan merek MQ Jernih dari kelompok perusahaan milik Aa Gym menarik untuk jadi contoh karena mencantumkan 2,5% dari keuntungan disisihkan untuk kaum papa. Ini sebenarnya penerapan zakat untuk disalurkan kepada mereka yang berhak.

Ketiga, terkait merek produk, kita perlu mengulas merek perusahaan (corporate branding) yang berada di balik produk. Setiap outlet dan produk The Body Shops (TBS) secara konsisten mencitrakan peduli lingkungan hidup dan menentang uji-coba laboratorium atau produk yang menggunakan, apalagi menyakiti binatang (against animal testing). TBS adalah perusahaan bernuansa spiritual yang ramah lingkungan dengan produk berbahan baku alaminya.

Terakhir, untuk konteks yang lebih luas/spasial, kita perlu membahas merek kawasan, lokasi, kota atau tempat (destination branding). Karena itu, muncul istilah destination marketing, city-branding, dan places marketing untuk pemasaran kawasan wisata, hunian, kota, bahkan tempat belanja atau sekadar rumah makan. Dalam konteks makro, kita mengenal citra bangsa (country image) atau merek yang membawa nama bangsa (citizen brand).

Contoh menarik adalah ketika nabi hijrah dari Mekah ke Yatsrib yang diganti nama menjadi Madinah al Munawarah (kota yang gemerlapan). Dalam istilah pemasaran, nabi melakukan re-branding karena visinya untuk membangun kota megapolitan yang berperadaban tinggi. Kini setelah 15 abad kemudian kita menyaksikan pesona Madinah sebagai kota spiritual.

Pancaran spiritualitas merek juga bisa tercermin misalnya dari tulisan Allah sebagai identitas, seperti bendera Iran memakai simbol Allah dalam huruf Arab yang artistik dan tersamar. Sejumlah partai politik memakai simbol bintang, bulan, ka’bah atau salib untuk menunjukkan identitas spiritual. Namun, simbol alam ciptaan Tuhan misalnya matahari dan planet juga mencerminkan spiritualitas seperti logo ESQ yang menggunakan gugusan bintang untuk mengingatkan keagungan Allah.

Matriks Merek Spiritual

Selain atribut fisik yang berwujud, merek juga memancarkan nilai-nilai filosofis dan budaya (brand culture) serta kepribadian (brand personality) yang tak berwujud (intangible). Untuk identifikasi spiritualitas merek, kita bisa membedakan dengan merek rasional (rational branding) dan merek emosional (emotional branding) dari orientasi nilai yang dianut seperti terlihat dalam matriks.




Orientasi nilai seseorang (personal branding) bisa bersifat materialis dan rasional, atau hanya emosi (misal perasaan kasihan), menolong karena alasan kemanusiaan. Tapi aksi kaum spiritual dilandasi dengan filosofi dan niat pengabdian kepada Allah semata.

Bila dikaitkan dengan pesan komunikasi produk, maka yang ditonjolkan hanya manfaat ekonomis (citarasa, tahan lama, suara jernih) atau manfaat simbolis (seperti status dan gengsi bagi pemakai). Sementara kemasan pesan manfaat dari sisi religius misalnya, citra para pemakai produk sebagai orang yang dermawan atau berbudi mulia.

Dalam konteks corporate branding, ada pengelola perusahaan yang hanya berpikir minimalisasi biaya dan maksimalisasi laba; atau mengagungkan estetika dan kemewahan semata. Sedangkan budaya perusahaan spiritual menekankan universalitas dengan tetap bersandar pada spirit penghambaan kepada Allah.

Penerapan spiritual untuk merek kawasan/lokasi (destination/city branding) dapat dilakukan berbasis filosofi manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi dengan cara membangun kawasan wisata bernuansa alami yang memperkuat kesadaran pelancong untuk mengagumi kebesaran Allah. Jadi, bukan hanya menonjolkan estetika dan daya magis sebuah kawasan.

Orientasi pemasaran atau merek spiritual bukan lagi sekadar transaksi penjualan dan kepuasan pelanggan, tetapi yang lebih penting adalah mempererat ikatan hubungan jangka panjang dan berupaya memualiakan pelanggan seumur hidup.

Esensi merek spiritual adalah kembali kepada hal-hal yang paling mendasar yaitu sentuhan kemanusiaan (human touch) berbasis apresiasi yang langgeng dengan berbagai pihak terkait, tanpa melepas benang spiritual yang bersentuhan dengan nilai-nilai Ilahiah.

Era milenium baru ini membutuhkan kecakapan pemasaran melalui merek spiritual yang menyuarakan wahyu Ilahi ke seantero bumi. Selamat menciptakan dan menebar pesona merek spiritual, mulai dari personal branding Anda sendiri!

Petikan Nurani Pemasaran
Merek menjadi batas yang membedakan pemasaran (marketing) dengan perdagangan (trading). Dalam pemasaran spiritual, jiwa sebuah merek bertumpu pada suara hati atau nurani (ruh). Karakter merek adalah pancaran dari sifat-sifat mulia Sang Pencipta.
Empat lapis merek perlu dicermati dari jenjang merek personal, produk, perusahaan hingga spasial. Agar bernilai spiritual, maka karakter dan identitas merek harus menebar nilai-nilai transendental yang memancarkan pesona Ilahiah.
Contoh menarik adalah ketika nabi hijrah dari Mekah ke Yatsrib yang diganti nama menjadi Madinah al Munawarah (kota yang gemerlapan). Dalam istilah pemasaran, nabi melakukan re-branding karena visinya untuk membangun kota megapolitan yang berperadaban tinggi.
Untuk identifikasi spiritualitas merek, kita bisa membedakan dengan merek rasional (rational branding) dan merek emosional (emotional branding) dari orientasi nilai yang dianut.
Esensi merek spiritual adalah kembali kepada hal-hal yang paling mendasar yaitu sentuhan kemanusiaan (human touch) berbasis apresiasi yang bersentuhan dengan nilai-nilai Ilahiah.

Disadur dari tulisan Hifny Ali fahmi