Friday, July 4, 2008

Innoncence Grandfa


Usia memang menjelas tentang perbedaan banyak hal. Pun manusia juga berbeda ketika usianya berbeda. Usia menjelaskan bahwa ada manusia yang disebut bayi, anak-anak, remaja, dewasa, dan tua. Aku sekarang berusia 23 tahun. Itu berarti cukup beralasan, jika aku sebut aku sedang menuju dewasa. Pun aku juga tidak akan coba menyangkal jika Anda menyata bahwa aku belum layak untuk jadi dewasa. Tapi izinkanlah dan bantu aku untuk belajar dewasa. Menurut Anda sekarang anda berada di jenjang mana ?

Tidak usah dijawab. Toh, yang kita butuhkan bukanlah penghakiman tentang siapa dan seperti apa kita. Bukan juga itu menjadi alasan bagi kita untuk bersikukuh dan memaksa semua orang untuk menyatakan bahwa kita sudah dewasa. Atau barangkali kita ditakutkan tentang perspektif umum yang mencitrakan bahwa kita tidak sebaik yang kita pikirkan. Atau barangkali juga kita tidak seburuk yang kita pikirkan.

Berkenaan dengan pencitraan tentang diri. Saya ingin menceritakan tentang salah satu guru saya di Kampus baru saya, PT. Telkom. Dia memang secara usia sudah terkategori tua. Saking begitu tuanya Beliau, isnyaallah dia sedang menuju Masa Persiapan Pensiun. Beberapa hari kemarin dan hari ini, saya mengali banyak hal dari beliau. Beliau yang memang sudah tua, tetapi semangatnya menampak bahwa dia masih muda. Statemennya kelihatan bijak, namun menampakkan kebijakan yang kekanak-kanakan. Dia memilik karakter yang unik. Saking uniknya, saya tidak menyangka bahwa dibalik ketuaanya dia memberikan spirit kemudaan.

Saya menyebut fenomena ini adalah "Innocence Grandfa with Baby Character". Seorang kakek yang memiliki karakter bayi. Layaknya seorang Bapak, adalah sebuah hal yang lumrah ketika secara fisikal beliau tua. Mungkin juga tidak dinafikan, jika pertanda lemah tenaga sudah mulai hadir.

Ataupun adalah wajar jika, perusahaan tempat beliau bekerja secara sistemik mengarahkan untuk menempatkan beliau pada tempatnya. Bahasa bijaknya adalah mengistirahatkan beliau. Atau secara sarkasme mem-pensiun-kan. Atau boleh juga, dikatakan sebagai bentuk Pemutusan Hubungan Kerja, karena terkendala menurunnya produktivitas.

Namun, beliau memiliki kekhasan karakter. Kekhasan yang membuat Beliau berbeda di mata saya. Dialah "Si Innocence Grandfa". Beliau mampu mengkomunikasikan sesuatu kepada bawahannya dengan bahasa kebijakan. Bahasa lima jari begitu yang sering beliau gunakan. Ki Hajar Dewantara menyebutnya "Ingarso sung tolodo, Tut wuri handayani". A'agym bilang beliau mampu menggerakan dengan hati. Bukan layaknya para BOS atau Senior pada umumnya yang memerintah dengan "Telunjuk".

Secara posisi beliau layak untuk menyuruh dengan sedikit menakut-nakuti atau iming-iming materi. Namun beliau berbeda. Menakuti-nakuti malah menurut Beliau adalah cara membangun loyalitas yang instan. Pun ada efektifitas yang mampu diukur dengan peningkatan kreativitas, itu hanya sementara. Pun ada penghargaan atau rasa hormat itu, itu hanya penghormatan yang instan. Menunggu waktu semua akan berubah seketika. Menunggu waktu api itu akan membakar Si Pembuat Api.

Berbicara tentang pelanggan, beliau selalu menegaskan bahwa tidak hanya sekedar target penjualan yang tercapai. Tidak hanya laku dalam menjual, tetapi lebih penting bagaimana menjual yang mampu melahirkan loyalitas konsumen. Beliau sebutkan dalam menjual sebuah produk harus ada integrasi karakter. Secuil pun seorang penjual tidak boleh membohongi pelanggan. Pelanggan harus menjadi yang utama sebagaiman prinsip "3" yang berbunyi "Costumer Value". Bukan hanya transaksi yang diharapkan, tetapi harus ada kontinuitas komunikasi antar penjual dan pembeli. Snow ball effect yang akan berdampak pada loyalitas jangka panjang. Atau malah mampu membuat pembeli menjadi promotor utama dalam memasarkan produk.

Tidak hanya itu, beliau sangat blak-blakan menguak fakta yang sepertinya tidak layak beliau ungkapkan. Cara bertuturnya apa adanya. Mungkin lugu begitu kita sering menyebutnya. Secara pribadi saya sering tertawa kecil dengan sikap beliau. Namun, di sisi lain, saya belajar banyak dari beliau tentang menyikapi hal yang membosankan dengan semangat kekanak-kanakan. Keadaan yang membosankan yang dapat melahirkan kreativitas. Layaknya anak-anak bersikap. Menyikap realitas ini, saya semakin yakin bahwa hidup adalah siklus perubahan sikap. Masa bayi dan kekanakan setelah lebih dari enam puluh tahunan akan mungkin semua orang temui. Begitulah kilas fenomena Innoncence Grandfa with Baby Character.

Tuesday, July 1, 2008

Aku menunggu Indonesia Merdeka ?

Merdeka...
Meruntuhkan kebekuan
Merdeka...
Membangkitkan kelemahan
Merdeka...
Mendobrak kekakuan
Merdeka...
Merdeka...
Jayalah terus negeriku...

Start New Life

Wisuda memang memberi nuansa tersendiri terhadap diri. Sensasi yang sepertinya melegakan. Sensasi yang sepertinya melahirkan getar-getar kegembiraan. Betapa tidak, setelah lama bergelut dalam kreativitas sektoral, tentu telah melahirkan kebosanan. Pun itu hanya sebuah bersitan. Betapa juga tidak, setelah lama terkungkung dalam realitas ideal, tentulah juga terasa aneh melihat nuansa perbedaan perspektif pikir dan perspektif realita. Adakalanya ketidakmampuannya kita memanajemen idealita menjebak kita dalam paradigma kejumudan. Wisuda menguak tabir itu semua. Wisuda membuka jendela idealita untuk lebih bijak melihat realitas.


Kemarin, saya ditanya oleh salah seorang aktivis kampus kita. Bagaimanakah rasanya wisuda? Apakah bahagia merasa merdeka terkungkung idealita? Sebelumnya juga saya mendapat SMS dari salah seorang saudara yang tidak mau dan mampu secara tegar mengenalkan siapa dirinya. SMS-nya berbunyi, "Selamat atas diwisudanya Saudaraku. Tapi ingat kita tetap akan memegang idealitas kita". Sebuah pertanyaan yang mengelitik memang. Sebuah SMS yang begitu bermakna bagiku. Terlepas dari apapun saya menghatur terima kasih untuk mereka.


Pada saat itu, saya tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan atau pun menyikapi SMS bernada curiga sepertinya yang disampaikan. Saya cuma berguman dengan Beliau "Wisudalah, baru anda akan merasakannya". Ataupun pada Anda yang kesasar membaca blog saya. Saya ingin mengatakan "Jika Anda sudah pernah mengalami wisuda, saya yakin apa yang saya rasakan pun Anda rasakan". Walaupun Anda saya yakin juga ingin mengelak dan mungkin juga hendak membantah "Tidak, semua pasti tidak seperti Anda". Saya pun sepakat dan meyakini bahwa kita sama, walaupun sepertinya kita berbeda. Saya meyakini Anda sepakat bahwa Saya dan Anda sedang memasuki hidup baru "new life". Atau barangkali juga Anda langsung meloncat ke fase "new world". Dunia baru, dimana Anda dimaknai sebagai seorang karyawan atau seorang pengangguran.

Pun juga untuk Anda yang belum pernah melewati fase wisuda, segeralah biar Anda cepat mengerti apapun perspektif umum yang berkembang selama ini. Segeralah, biar Anda mampu bersikap secara adil terhadap realitas yang tidak seideal yang Anda pikirkan selama ini. Tapi apapun keadaan kita, saya ingin menyatakan bahwa segala sesuatu akan sangat tergantung dengan bagaimana kita memikirkan dan menyikapinya. Always think positively....!!!