Friday, April 18, 2008

Mahasiswa dan Revolusi Ekonomi

Mahasiswa dan Revolusi Ekonomi Kita, mahasiswa adalah generasi muda yang dikenal memiliki semangat, penuh dedikasi, enerjik, cerdas dan sudah barang tentu berilmu. Sebab kita digodok di sebuah tempat yang bernama kampus. Terlebih apabila kita tengok sedikit perjuangan bangsa ini, tidak terlepas dari peran serta dari sosok yang bernama mahasiswa. Di tahun 1928, Ada sosok seperti Wahidin Sudiro Husodo, seorang mahasiswa Stovia, Jakarta. Bersama rekan-rekannya, dia bisa menghimpun banyak pemuda dan lahirlah Sumpah Pemuda, yang bisa mengikat komponen bangsa untuk bersatu, di bawah bayang-bayang penjajahan Belanda. Setelah itu, lahirlah sosok Bung Hatta dan Sutan Syahrir, dengan kumpulan Pelajar Indonesia-nya di negeri Belanda, memberi semangat kepada pemuda lain, untuk lepas dari kungkungan penjajah.

Dan dengan pemikiran-pemikirannya memberi kontribusi besar dalam rangka kelahiran sebuah negeri bernama Indonesia. Selanjutnya Adam Malik dan kawan-kawan, dengan semangat membaranya, mendorong agar kaum tua seperti Sukarno dan lainnya cepat-cepat memproklamirkan kemerdekaan, selepas Hiroshima dan Nagasaki dibom. Jangan tunggu waktu lebih lama lagi, katanya. Karena semangatnya aksi penculikan pun terjadi. Ingat kasus Rengasdengklok? Dan atas dorongan sosok-sosok muda itu, proklamasi dibacakan, di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Di tahun 1966, ketika pemerintahan Bung Karno sedang tidak menentu, tampillah sosok-sosok mahasiswa, seperti Arif Rahman Hakim, Cosmas Batubara, Abdul Gafur. Mereka memberikan semangat kepada rakyat agar melaksanakan TRITURA yang melahirkan orde baru Tak hanya itu, ketika di tahun 1974, di saat pemerintahan orde baru memberikan kebijakan yang kurang sesuai dengan kebanyakan rakyat, Hariman Siregar dan kawan-kawan juga turun ke jalan. Dan meletuslah peristiwa MALARI. Terakhir dan masih hangat dalam benak kita, di tahun 1998, kita menyaksikan bagaimana peranan mahasiswa mendobrak kebekuan politik Suharto. Terjadilah apa yang dinamakan reformasi. Dari sederetan peristiwa-peristiwa keterlibatan mahasiswa sudah tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa mahasiswa memang mampu mengambil peran penting dalam sejarah perjuangan bangsa ini. Mahasiswa dengan semangat idealismenya dan hati nurani yang menjadi pedoman pergerakannya masih berkomitmen dalam mengambil peran terhadap berbagai permasalahan bangsa ini. Meskipun tidak bisa kita pungkiri juga bahwa ada kelompok-kelompok mahasiswa yang secara sadar ataupun tidak sedang ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu. Apabila kita kilas balik lagi 10 tahun yang lalu, bahwa salah satu penyebab yang melatarbelakangi pergerakan mahasiswa ketika itu adalah karena keadaan bangsa kita yang sedang digoncang oleh badai krisis ekonomi. Harga-harga yang melambung tinggi, kemiskinan yang semakin meningkat, utang negara yang semakin mencekik akhirnya membuat rakyat berteriak hingga kerusuhan terjadi di mana-mana. Mungkin inilah salah satu ledakan kecil dari mengguritanya sistem ekonomi kapitalisme dan akan ada ledakan-ledakan yang lebih dahsyat yang akan kita hadapi jika sistem ini tidak juga di renovasi (baca: hancurkan). Tidak hanya di Indonesia namun juga sebagian besar negara-negara di dunia. Memang tidak bisa kita pungkiri bahwa ekonomi kapitalis telah memberikan begitu banyak hasil positif bagi kemajuan bangsa ini. Pembangunan sarana infrastuktur, perkembangan sains dan teknologi dan berbagai macam kemudahan hidup yang sampai detik ini dapat kita nikmati menjadi bukti bahwa ekonomi kapitalis seakan-akan telah berhasil dalam membangun bangsa. Kemakmuran terwujud dengan sebaik-baiknya. Namun, di balik itu semua ternyata ekonomi kapitalis memiliki efek-efek negatif. Pengangguran, penimbunan barang, jeratan-jeratan hutang, krisis dunia yang terus berulang-ulang, merupakan sebagian kecil dari bencana-bencana ekonomi dunia yang ditimbulkan oleh ekonomi kapitalis. Terjadinya kemiskinan yang semakin meluas di negara dunia ketiga dan ekploitasi ekonomi dari sekelompok negara maju terhadap negara-negara berkembang telah menciptakan penjajahan gaya baru. Kekacauan yang terjadi pun tidak hanya dalam bentuk ekonomi saja, tetapi telah meluas menyentuh pada wilayah hukum, sosial budaya, bahkan kancah pertarungan politik. Kriminalitas dan konflik-konflik sosial menjadi peristiwa keseharian yang menunjukkan ketimpangan sosio-ekonomi, sehingga yang terlihat adalah instabilitas, dimana kemajuan tidak bermakna kesejahteraan. Beberapa pakar ekonomi pun memprediksikan sebuah krisis yang maha dahsyat yang akan terjadi. Oleh karena itu, hari ini, untuk kesekian kalinya diperlukan peran kita sebagai mahasiswa untuk mengatasi permasalahan yang sedang siap umtuk meledak. Sebuah revolusi ekonomi yang lebih berkeadilan, yang mampu menjadi solusi, baik dalam tataran praktis maupun teoritis. Hari ini, rakyat menunggu Wahidin, Hatta, Adam Malik, Arief Rahman Hakim dan Hariman Siregar baru, yang siap melakukan revolusi terhadap kondisi yang terjadi. Dibutuhkan mahasiswa yang masih memiliki semangat idealisme dan hati nurani terhadap kondisi bangsa, khususnya di bidang ekonomi. Tapi, adakah di antara kita yang masih punya niat bersih seperti itu? Sebab kuliah di jaman ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Sehingga selepas keluar dari perguruan tinggi, yang ada dalam benak kita adalah ingin secepatnya mendapat hasil atau gaji besar, agar uang kuliah cepat kembali. Dan tidak mustahil kita terjebak kepada hal seperti itu. Wallahu a'lam.(www.fossei.org)

Wednesday, April 16, 2008

The Secret: Mukjizat Berpikir Positif


  • Judul Buku: The Secret
  • Pengarang: Rhonda Byrne
  • Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
  • Jumlah halaman:
  • Penulis Resensi: Is Mujiarso

Mengapa 1 % populasi menghasilkan sekitar 96 % uang yang pernah dihasilkan? Apakah menurut Anda ini hanya kebetulan? Ini dirancang sedemikian rupa. Mereka mengerti sesuatu. Mereka mengerti Rahasia, dan sekarang Anda sedang diperkenalkan dengan rahasia ini.

Kutipan di atas mungkin terdengar bombastis. Tapi, apakah Anda sudah siap --untuk mengetahui sebuah rahasia?

Buku ini berjudul The Secret, tapi oleh penerbit yang menerjemahkannya diberi sub-judul "Mukjizat Berpikir Positif".

Tentu saja, nasihat tentang pentingnya berpikir positif sudah teramat sering didengungkan. Jadi, apa kelebihan buku ini, yang mengangkat "kembali" nilai yang sudah "klise" itu? Sehingga, sampai-sampai, menjadi salah satu buku "Top 5 Best Seller" di Amazon.com, dibedah di acara Oprah (Winfrey) Show dan di Indonesia selalu dikutip oleh para motivator dalam berbagai presentasi mereka?

Salah satunya, tak lain kreativitas Rhonda Byrne dalam mengemas nasihatnya. Ia tidak menggurui pembaca dengan memaparkan ilmu, trik, jurus-jurus dan aneka tips yang berkaitan dengan tema yang hendak disampaikannya. Melainkan, seperti tersirat dari judulnya, ia mengambil langkah agak memutar dengan mengungkapkan rahasia orang-orang sukses di masa lalu. Byrne berangkat dari premis bahwa orang-orang sukses di seluruh dunia telah memahami dan menerapkan hukum-hukum alam, terutama hukum tarik-menarik yang dianggap sebagai hukum terkuat di alam semesta.

Layaknya sebuah forum diskusi panel, dalam buku ini Byrne mengumpulkan 24 pembicara untuk mengupas hukum tarik-menarik tersebut sebagai sebuah rahasia besar yang perlu diketahui oleh siapa pun yang ingin sukses. Para pembicara yang dipilih terentang dari beragam latar belakang, dari psikolog, ahli metafisika, pakar fengshui, pengusaha, filsuf, fisikawan kuantum hingga dokter spesialis syaraf. Di antara mereka ada beberapa nama yang tak asing bagi pembaca di Indonesia, misalnya Jack Canfield yang menulis Chicken Soup for the Soul dan The Success Principles.

Pendapat-pendapat mereka tentang rahasia sukses tersebut dikemas oleh Byrne sedemikian rupa dan disajikan dalam kutipan-kutipan ringkas, sehingga menarik dan tidak membosankan. Kutipan-kutipan itu dimunculkan berselang-seling di sela-sela narasi Byrne sendiri. Diawali dengan bab "Cara Menggunakan Rahasia", Byrne kemudian membagi pembahasannya dalam 6 bagian yang masing-masing mewakili rahasia besar, yakni Rahasia Uang, Rahasia Relasi, Rahasia Kesehatan, Rahasia Dunia, Rahasia Anda dan Rahasia Kehidupan.

Buku ini pada dasarnya dibangun dari argumen bahwa hukum tarik-menarik mutlak dan otomatis bekerja pada setiap manusia, dipercayai atau tidak, dipahami atau tidak. Masih ingat salah satu "ajaran" yang paling populer dari novel Sang Alkemis karya Paulo Coelhoe yang kemudian dibahasakan oleh fisikawan kita, Johanes Surya dengan istilah "mestakung" alias semesta mendukung? Nah, kira-kira seperti itu pulalah prinsip yang mendasari buku setebal 232 halaman ini. Yakni, ketika seseorang memikirkan hal-hal yang diinginkan, dan memfokuskan semua niat di kepalanya, maka --dengan dukungan semesta-- dia akan memperolehnya.

Menurut buku ini, hukum tarik-menarik menempatkan setiap orang sebagai magnet yang bisa menarik segala sesuatu dari luar. Pikiran juga bersifat magnetis, sehingga ketika seseorang memikirkan sesuatu, pada saat yang sama ia menarik sesuatu itu ke dalam dirinya. Di sinilah tampak relevansi pesan untuk selalu berpikir positif, dan dengan demikian tampak pula buku ini sebenarnya mengingatkan kembali pada pelajaran tentang mind power yang sudah banyak dibahas oleh para ahli. Byrne merangkum dan meramu unsur-unsur yang sebenarnya sedikit banyak sudah pernah kita baca atau pelajari, dan menyajikannya dengan cara bertutur yang kreatif sehingga lebih mudah dipahami.

Lebih-lebih, ia menghadirkan ilmuwan alam untuk memperkuat argumennya tentang cara kerja hukum tarik-menarik pada manusia, sehingga semuanya jadi tampak meyakinkan, serba masuk akal dan "ilmiah". Misalnya, dengan menghadirkan fisikawan kuantum Fred Alan Wolf, Byrne "membawa-bawa" fisika kuantum untuk meyakinkan pembacanya. Simak bagian yang dikutip dari sang fisikawan: Saya tidak berbicara tentang pikiran yang muluk atau kegilaan khalayan. Saya berbicara dari pengertian yang lebih mendalam dan mendasar. Fisika kuantum sungguh-sungguh menunjukkan pada penemuan ini...

Harus diakui, buku ini memang kreatif, cerdas dan menarik. Namun, pada sisi lain, laris dan hebohnya buku ini sebenarnya menunjukkan bahwa sebagian dari kita cenderung telah kecanduan untuk selalu dimotivasi dengan kalimat-kalimat yang hebat. Betapa pun, kalimat-kalimat itu sebenarnya sudah berulang kita dengar atau baca dari orang lain atau buku-buku motivasi yang kini berjejal di rak kita.

Ekonomi Sufistik, Adil dan Membahagiakan



  • Judul Buku: Ekonomi Sufistik, Adil dan Membahagiakan
  • Pengarang: Muhammad Gunawan Yasni, S.E., Ak., MM
  • Penerbit: PT Mizan Pustaka
  • Jumlah halaman: 150
  • Penulis Resensi: Ivan Irawan

Apa yang bisa kita dapatkan dengan membaca sebuah buku yang merupakan rangkuman dan kumpulan tulisan seseorang? Tentunya adalah sebuah kesempatan untuk dapat memahami suatu pokok bahasan cukup dengan membaca satu bagiannya. Kita tidak perlu harus membaca keseluruhan buku secara utuh untuk mengetahui buah pikir dari penulis buku, dan memungkinkan kita untuk tidak perlu membaca sesuai urutan bab di buku. Suatu masalah akan dibahas sampai tuntas dalam satu bagian, sementara bagian lain pun, meskipun memiliki keterkaitan dengan bagian lain, adalah sesungguhnya adalah satu pokok pikiran yang berdiri sendiri. Untuk orang yang tidak memiliki waktu cukup banyak untuk membaca buku, buku semacam ini akan sangat bermanfaat.

Buku Ekonomi Sufistik - Adil dan Membahagikan yang merupakan kumpulan tulisan Muhammad Gunawan Yasni, S.E., Ak., MM., juga mewarisi sifat-sifat tersebut. Kita dapat membaca dan memahami berbagai buah pikiran, pengalaman, dan penerapan ekonomi dan keuangan syariah oleh penulis yang juga merupakan anggota Dewan Syariah Nasional (DSN), Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan anggota Dewan Pengawas/Penasihat Syariah di beberapa lembaga keuangan syariah. Bahkan untuk lebih memudahkan pemahaman, membangkitkan minat membaca dan mencoba menghindari persepsi serius dan rumit, penulis melengkapi buku ini dengan berbagai karikatur menarik yang kebanyakan adalah cerminan karikatur pribadi penulis. Karikatur ini bukan sekedar karikatur, karena berisi pokok-pokok pikiran utama dari tulisan.

Secara umum, buku ini mencoba untuk memaparkan bagaimana universalnya ekonomi dan keuangan syariah. Begitu universalnya sehingga sistem ini bukan hanya diterapkan oleh umat muslim, namun juga dirasakan manfaatnya oleh umat yang lainnya. Sebuah bank milik keluarga Yahudi di Illinois Amerika Serikat telah secara turun-temurun menjalankan praktik bank non-riba. Begitu pula dengan Marshall Plan yang membangun Eropa Barat setelah kehancuran di Perang Dunia II juga sesungguhknya menerapkan model pembiayaan syariah.

Ekonomi dan keuangan syariah adalah jawaban bagi berbagai ketimpangan dan distorsi moral serta etika yang diakibatkan penerapan ekonomi konvensional yang berbasis riba. Perlahan namun pasti, penerapan ekonomi konvensional akan menyebabkan semua harta kekayaan di bumi ini berpindah kepemilikan kepada segelintir pelaku perbankan berbasis riba. Ketimpangan ini terjadi karena pemberi pinjaman selalu mengambil untung dalam setiap tindakannya, sementara penerima pinjaman selalu memiliki pilihan untung atau rugi.

Ekonomi syariah merupakan ekonomi sufistik, dimana bertujuan untuk mencapai keadilan sosial, keamanan sosial, dan menjaga keseimbangan sosial bagi sebuah masyarakat. Dengan pendekatan ini, maka diharapkan terbangun hubungan yang harmonis antara yang berpunya dan yang dhuafa dengan mengimplementasikan zakat, infak, sedekah, serta wakaf, sementara tetap melakukan sharing productivity melalui musyarakah dan mudharabah dalam suatu hubungan industrial Islam berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah.

Sistem ekonomi syariah mampu menghindarkan kita dari berbagai hal yang berpotensi merugikan diri kita soal riba (bunga berbunga), gharar (mengambil risiko yang berlebihan), dharar (membahayakan diri sendiri dan/atau orang lain), maysir (berjudi), bai' al ma'dum (menjual yang tidak/belum dimiliki), risywah (menyuap), najsi (melakukan penawaran palsu), ikhtikar (melakukan penimbunan) dan dzhulum (melakukan penganiayaan).

The Moslem Entrepreneur


  • Judul Buku: The Moslem Entrepreneur
  • Pengarang: Asyraf Muhammad Dawabah
  • Penerbit: Zikrul Hakim
  • Jumlah halaman:
  • Penulis Resensi:

Dalam Islam berbisnis tak cuma urusan mencari uang atau menumpuk kekayaan. Bisnis bisa pula menjadi sarana ibadah. Wasilah yang dapat mengantarkan kita ke pintu surga.

Mungkin ada yang menganggap hal tersebut berlebihan. Namun sejarah mencatat Abdurrahman bin Auf, saudagar super kaya pada zaman nabi, masuk surga karena kekayaan dan kedermawanannya. “Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: Kulihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan perlahan-lahan merangkak.” Demikian petikan hadits yang diriwayatkan Ummul Mukminin Aisyah.

Sejarah memang mencatat dengan baik reputasi Abdurrahman bin Auf sebagai pebisnis tulen. Contohnya, ketika Abdurrahman bin Auf baru tiba hijrah di Madinah dari Makkah. Beliau langsung memulai aktivitas bisnisnya dengan menemui saudaranya Sa’ad bin Rabi’ seorang pengusaha terkemuka Madinah.

Pertemuan dua saudagar tersebut bahkan terekam dalam sebuah hadits nabi. Dari Anas ra, telah berkata:... “dan berkatalah Sa’ad kepada Abdurrahman: “Saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang kaya raya, silahkan pilih separuh hartaku dan ambillah! Dan aku mempunyai dua orang isteri, coba perhatikan yang lebih menarik perhatian anda, akan kuceraikan ia hingga anda dapat memperistrinya.” Jawab Abdurrahman bin Auf: “Semoga Allah memberkati anda, isteri dan harta anda! Tapi tunjukkan letaknya pasar agar aku dapat berbisnis... "

Dikisahkan saudara pengusahanya itu pun menunjukkan pasar Madinah yang ketika itu didominasi pedagang Yahudi. Salah satu rekomendasi jitu Abdurrahman, setelah beliau mensurvei kondisi pasar tersebut, adalah “Pisahkan pasar Yahudi dengan pasar Kaum Muslimin”. Rekomendasinya kepada Rasulullah tersebut diterima dan ditaati oleh komunitas muslim Madinah.

Apa yang terjadi kemudian? Diceritakan bahwa hanya dalam hitungan hari, pasar Yahudi menjadi sepi dan akhirnya tutup akibat dijauhi konsumennya yang berpindah ke pasar Islam yang dikelola Abdurrahman bin Auf bersama sahabat bisnisnya dari kalangan Muhajirin dan Anshor.

Ketika Abdurrahman bin Auf, ditanya kisah sukses bisnisnya, beliau mengatakan bahwa kunci keberhasilannya adalah kejujuran. "Jika barang itu rusak katakanlah rusak, jangan engkau sembunyikan. Jika barang itu murah, jangan engkau katakan mahal. Jika barang ini jelek katakanlah jelek, jangan engkau katakan bagus." Hanya dengan kejujuran (as-sidqu wa al-amien) pasar Yahudi yang telah mendominasi Madinah terkalahkan. Ihwal kejujuran dalam berbisnis Rasulullah bersabda: "Pengusaha yang jujur lagi amanah akan bersama para Nabi, orang-orang yang Syahid dan orang-orang Soleh." (HR. Tirmidzi).

Alhasil, menguasai pasar, memperluas jaringan usaha dan mendapat profit sangat tinggi dan omset milyaran atau triliunan tidak cukup dijadikan label kesuksesan seorang pebisnis. Di dunia "Entrepreneur Muslim" standard kesuksesan tidak bisa dilepaskan dari nilai, norma dan aturan-aturan syariah, atau hukum yang telah ditetapkan Allah.

Menghindari manipulasi produk, tidak memonopoli pasar hingga merugikan usahawan kecil, dan tidak menghalalkan segala cara untuk menguasai konsumen sehingga menzalimi rekan-rekan bisnis merupakan karakter yang wajib dimiliki pengusaha Muslim.

Buku yang ditulis Asyraf Muhammad Dawabah ini memuat "etika bisnis Islami" dan pandangan Islam terhadap akuntabilitas seorang pebisnis, dengan memaparkan langkah-langkah kesuksesan para pengusaha Muslim masa Khilafah Islamiyah. Termasuk sistem transaksi bisnis yang mereka lakukan, demi mewujudkan suatu perekonomian yang sehat, bersih, adil dan merata.

Buku ini bukan untuk dibandingkan dengan buku "panduan berbisnis" karya penulis Barat seperti Dale Carnegie, Ziz Ziglar, Stephen R. Covey, Robert T. Kiyosaki, Rich Devos, Denis Waitley, Jack M. Zufelt atau Peter Drucker dan lainnya. Atau, kisah sukses berbisnis kapitalis a la Henry Ford, Bill Gates, Rich Devos atau Sam Walton. Kendati tidak "gegap gempita", buku kecil ini pantas dijadikan "entrepreneur spirit" bagi pebisnis Muslim yang bercita-cita menggapai kesuksesan di dunia dan di akhirat.

Muhammad SAW: The Super Leader Super Manager



  • Judul Buku: Muhammad SAW: The Super Leader Super Manager
  • Pengarang: Dr. Muhammad Syafii Antonio, M.Ec
  • Penerbit: ProLM Centre
  • Jumlah halaman: xvi+320
  • Penulis Resensi: ISM

Muhammad is the most successful of all Prophets and religious personalities (The Encyclopaedia Britanicana)

Mengaji perjalanan hidup Rasulullah SAW adalah bagaikan mengarungi lautan yang tidak bertepi karena sangat luas, sangat kaya, dan sangat mencerahkan. Keluasan suri tauladan Muhammad SAW mencakup semua aspek hidup dan kehidupan.

Itulah pengalaman yang dirsakan Syafii Antonio ketika menyusun buku berjudul Muhammad SAW: The Super Leader Super Manager ini. Karenanya, agar pembahasan dalam buku ini tidak terlalu melebar, penulis menetapkan delapn bidang utama leadership yang akan dikaji yaitu self development atau personal leadership, bisnis dan kewirausahaan, keluarga, kepemimpinan keluarga, dakwah, sosial dan politik, sistem hukum, pendidikan, dan strategi militer.

Alhasil, inilah buku yang berhasil melihat Muhammad Rasulullah SAW dengan kaca mata baru yang lebih luas. Dalam arti bukan saja mengakui Muhammad sebagai nabi dan rasul tetapi juga menempatkannya sebagai pemilik trait of leadership dan models of management.

Berhasilkah? Sepertinya begitu. Terbukti dari komentar yang dilontarkan pakar dan tokoh yang sudah lebih dahulu berkesempatan membaca buku ini.

Simak apa yang dikatakan Ketua MPR RI, Dr Hidayat Nur Wahid. Katanya, ini buku pertama yang ditulis cendekiawan Indonesia yang mengkaitkan secara padu dan sistematis antara suri tauladan Muhammad Saw dengan disiplin leadership dan manajemen modern. "Merupakan satu pencerahan yang dinanti Indonesia dan dunia," pujinya.

Tak hanya Hidayat, seorang pembaca juga menuliskan kesan-kesan setelah membaca buku ini dalam blog pribadinya: Saya baca pelan-pelan buku sangat takjub sekali, karena isinya adalah kutipan dari sumber informasi mengenai Nabi Muhammad SAW di seluruh dunia, ada yang dari Jerman, Perancis, Inggris, China dll.

Ini merupakan "Learn How to Succeed in Business and Life from the best Example". Belajar kearifan leadership dan manajemen dari suri tauladan terbaik dalam self development, dari seorang pribadi, pedagang, pemimpin bisnis, investment manager hingga ke business owner, sebagai kepala keluarga, da'i, pemimpin sosial-politik, guru, pemimpin hukum, sebagai orang kaya, sedang maupun miskin. Baik sebagai suami ber-monogami hingga ke polygami. Baik sebagai mertua, menantu, suami yang baik, suami dari mantan budak, keturunan ningrat, janda beranak banyak, gadis, sampai dengan wanita lanjut usia.

Muhammad adalah sosok yang terlalu hebat dan luas untuk digambarkan. Buku ini mampu mematahkan stigma negatif dan nista dari para orientalis yang telah rabun jauh menilai tentang sosok Rasulullah dengan penuh distorsi fakta dan subjektivitas sepihak yang tak terpuji.

Membaca section demi section buku ini, kata seorang pembaca lain dalam blog pribadinya, saya merasa membaca buku sirah Nabi namun juga seperti membaca buku seri management aplikatif yang sederhana dan penuh motivasi.

Monday, April 14, 2008

Mengapa Ha (PKS) De (PAN) menang ?



Hasil mengejutkan di Pilkada Jabar mengentarkan dunia perpolitikan tanah air. Partai besar seperti Golkar, PDIP, PPP, dll ketar-ketir tertunduk sayu terbelalak dengan hasil pilkada Jabar. Begitupun para pebisnis survay, seperti LSI dan Puskaptis ikut tertampar karena kegagalan mereka dalam memprediksi pilkada Jabar. Pilkada Jabar, it's fenomenal.

Terlepas dari apapun pendapat media berkenaan dengan pilkada Jabar. Realitas insyaallah memastikan Ahmad Heryawan (PKS) dan Dede Yusuf (PAN) akan memimpin Jawa Barat. Semua pihak banyak tidak menyangka dua pemuda ini akan berhasil menuju Istana Jabar. Keduanya masih tergolong anak ingusan di kancak perpolitikan, atau barangkali memang hampir tidak pengalaman mengelola birokrasi. Tapi sekali lagi realitas menegaskan bahwa warga Jabar mendamba perubahan. Harapan itu tertuju pada sosok pemuda yang akrab di gelar HaDe selama masa kampanye. www.hadepisan.com

Tentu bukan hanya karena muda HaDe menang. Toh karena masih banyak muda belum berani bercita-cita besar di masa muda. Untuk menganalis lebih lanjut kemengan Hade mari kita simak bersama analisis Prof. Dede Mulyana (Guru Besar Fikom Unpad)
Dampak kampanye politik

Kampanye ketiga pasangan sebenarnya termasuk kampanye yang "primitif", termasuk iklan-iklan di surat kabar dan TV. Intinya sekadar membujuk, "Pilihlah kami!" tak bedanya dengan iklan kecap yang selalu mengklaim nomor 1. Tak ada kampanye penuh gereget, yang dapat membangkitkan emosi apalagi bawah sadar khalayak.

Pada dasarnya, dampak kampanye politik lewat media massa (dalam bentuk berita, iklan, debat politik, acara atau rubrik khusus) tidak sehebat yang diduga, mengingat khalayak yang --meminjam istilah Raymond Bauer-- "keras kepala" (obstinate). Berbagai kajian mengenai pengaruh pemberitaan kampanye politik di Barat, khususnya di Amerika Serikat, sejak penelitian yang dilakukan Paul Lazarsfeld dan rekan-rekannya di Erie County (Ohio, AS) 1940 yang klasik itu (Lazarsfeld et al., 1944), hingga penelitian di AS dan Inggris (Elihu Katz, 1989), menunjukkan bahwa kampanye politik lewat media massa tidak begitu berpengaruh untuk mengubah perilaku memilih, melainkan hanya memperteguh kecenderungan yang ada (lihat juga Straubhaar dan LaRose, 1996:428-429).

Komunikasi antarpersona, khususnya dalam keluarga, kelompok sebaya (peer group), klub, komunitas agama, dan sebagainya, ternyata lebih memengaruhi khalayak daripada komunikasi massa dalam memilih kandidat politik. Saya kira hal itu pun berlaku dalam Pilkada Jabar. Bahkan, boleh jadi peran keluarga, kerabat, kawan pribadi, guru (termasuk kiai) itu lebih besar lagi mengingat negara kita adalah negara kolektivistik dan paternalistik. Bila dalam masyarakat AS (yang menganut budaya individualistik) saja, pilihan politik seseorang masih kuat dipengaruhi pilihan politik keluarga, apalagi dalam masyarakat Indonesia yang menganut budaya kolektivistik.

Pengalaman kandidat politik bukan jaminan, jika itu tidak menunjukkan keberhasilan pada masa lalu. Da`i dan Aman terlalu biasa, terlalu mapan. Sulit untuk mengharapkan perubahan, apalagi gebrakan dari mereka. Cara memerintah bukan masalah fisik, melainkan masalah mentalitas. Dan mentalitas (konsep-diri dan pandangan hidup) sulit berubah, kecuali karena hidayah Allah dan cuci otak. Para ilmuwan sosial memahami hal ini. Maka berdasarkan kecerdasan mereka, khalayak Jabar memilih Hade dengan harapan ada perubahan, meskipun tanpa jaminan. Dengan kata lain, dari ketiga pasangan yang ada yang sama-sama "jelek", pasangan Hade-lah yang terbaik. Mekanisme kepartaian dan politik di Indonesia, juga di Jabar, memang belum mampu memunculkan para kandidat politik terbaik.

Sebenarnya, kampanye politik dapat berdampak besar jika partai politik yang mengusung kandidat punya tim Public Relations (PR) yang benar-benar ahli dan dapat merancang strategi jitu dalam berhubungan dengan media (wartawan), pengelolaan citra (kandidat dan partai politik) bagi khalayak, komunikasi internal dalam partai, dan pengelolaan informasi. Namun, jangankan dalam pilkada Jabar, dalam pilpres lalu pun saya belum melihat tim sukses kandidat yang benar-benar berhasil dalam mengampanyekan kandidat politik yang mereka promosikan.

Teori kategori sosial

Teori komunikasi massa yang diterima luas adalah teori penggolongan sosial (the Social Differentiation Theory) (DeFleur dan Ball-Rokeach, 1989: 181). Teori ini menganggap, dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok sosial yang tanggapannya terhadap pesan komunikasi massa cenderung sama. Prinsip ini tampaknya berlaku bagi masyarakat Jabar ketika memilih. Ini berarti, seberapa "dahsyat" Da`i dan Aman berpidato, seberapa terampil atau cerdas mereka berbicara, dan seberapa bagus kebijakan serta program politik yang mereka sampaikan. Hal itu tidak memengaruhi pilihan sebagian besar khalayak untuk mengubah pilihannya. Malah dalam debat politik minggu lalu, Hade tampil paling baik, karena berbicara kalem dan tanpa beban, sedangkan Danny agak grogi, dan Agum agak emosional. Itu semakin mendorong massa mengambang untuk menjatuhkan pilihan kepada Hade.

Dalam kampanye di media massa, kata Joseph T. Klapper (1978: 332), orang yang pandangan aslinya diperteguh ternyata jumlahnya 10 kali daripada orang yang pandangannya berubah. Kalaupun terjadi perubahan pandangan, itu merupakan peneguhan tidak langsung, dalam arti bahwa orang yang bersangkutan merasa tidak puas dengan pandangan awalnya sebelum pandangannya kemudian berubah. Dalam pilkada Jabar, kecenderungan itu juga terjadi. Misalnya menyangkut PNS atau simpatisan Golkar yang tidak lagi puas dengan kinerja Danny Setiawan yang lalu memilih Hade.

Dengan kata lain, mereka telah terpredisposisikan untuk berubah dan komunikasi massa kemudian memperteguh predisposisi tersebut serta menunjukkan jalan tertentu untuk berubah. Media massa baru efektif dalam membentuk pendapat mengenai isu-isu baru, bila individu dan kelompoknya belum punya pendapat mengenai isu-isu tersebut. Begitu opini terbentuk, maka pendapat baru inilah yang harus diperteguh. Proses pembentukan pendapat ini akan kuat sekali, bila individu tidak memiliki sumber informasi lainnya mengenai isu-isu tersebut.

Sayangnya, pembicaraan isu-isu baru ini terasa kurang diperhatikan kandidat politik atau parpol. Upaya kandidat politik atau parpol, lebih kepada pengerahan massa dan penonjolan penampilan (terutama wajah) kandidat politik. Makanya kita melihat lebih banyak foto, poster, spanduk, dan baliho yang menggambarkan wajah kandidat daripada program-program politik mereka. Kampanye mereka yang berbobot dan berisi terutama ditujukan kepada kelas menengah-terdidik dirasa kurang. Pawai di jalanan untuk mengampanyekan kandidat pun, menjadi hal yang lumrah untuk menjual kandidat atau partai politik.

Akhirnya, selamat untuk Hade!***


"It's the Voters, Stupid!"


Oleh : Budiarto Shambazy : Kompas





Kemenangan cagub/cawagub Jawa Barat, Ahmad Heryawan-Dede Yusuf (PKS-PAN), menjadi sign post yang yang menunjukkan demografi politik sedang berubah. Perilaku pemilih di Jabar bisa terulang kembali tahun 2009.

Secara historis Jabar sering lebih berperanan ketimbang Ibu Kota, Jakarta. Itu sebabnya, dalam mural sejarah bangsa ini posisi politik Jabar termasuk unik.

Bung Karno dan PNI memulai karier politik di Bandung. Kota Kembang salah satu pusat studie club—selain Batavia dan Surabaya—yang merupakan basis perjuangan generasi muda di awal abad ke-20.

Rengasdengklok di Jabar adalah kota kecil yang jadi tempat persembunyian para penculik yang menyandera Bung Karno-Bung Hatta sehari sebelum Proklamasi. Lalu, siapa yang tak kenal Muhammad Toha, pahlawan peristiwa ”Bandung Lautan Api” 24 Maret 1946?

Perundingan pertama RI-Belanda berlangsung di Linggarjati, juga kota kecil di Jabar, November 1946. Historia Jabar disebut oleh puisi Chairil Anwar, Antara Karawang-Bekasi, yang antara lain berbunyi, ”Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi, tidak bisa teriak ’Merdeka’ dan angkat senjata lagi”.

Keberagaman politik Jabar tampak dari kepemimpinan di Kodam Siliwangi. Di kodam strategis ini orang Batak (AH Nasution), orang Jawa (HR Dharsono), atau orang Manado (AE Kawilarang) yang diterima sebagai panglima.

Jabar tak mengenal kutub politik kanan atau kiri karena tanah yang subur itu sejak dulu mengenal moderasi. Kadang kala Jabar mengoreksi Jakarta, tetapi tanpa pembangkangan.

Sekali lagi, hasil pilgub Jabar merupakan petunjuk penting untuk mereka-reka perilaku pemilih pada pemilu/pilpres tahun depan. Ada empat makna yang patut ditelaah.

Makna pertama, kemenangan ”Hade” (Heryawan-Dede) merupakan kehendak mayoritas yang menolak incumbent (pemangku jabatan) yang dianggap kurang berhasil. Ini fakta yang membuktikan pemilih makin hari makin rasional.

Siapa yang menyangka mereka berprinsip ”kecil itu indah”? Dua partai ”kecil”, PKS dan PAN, ternyata dianggap lebih baik daripada ”kartel partai” yang dipimpin dua partai raksasa, Golkar dan PDI-P.

Belajar dari pilgub di DKI tempo hari, PKS tentu menjadi daya tarik utama bagi para pemilih. Mungkin saja salah satu kiatnya karena kepemimpinan PKS yang bersifat kolegial demi menghindari kultus individual.

Tak mustahil sukses PKS itu didukung pula oleh sikap yang membuka diri bagi warga non-Muslim. Seperti pernah diutarakan di rubrik ini, teman saya dari etnis China yang bukan Islam kini dibujuk untuk menjadi caleg PKS.

Makna kedua, pemilih rupanya kurang peduli lagi dengan figur, ikon, atau tokoh dengan berbagai predikat politik dan kultural yang terkenal. Ingat, Heryawan bukanlah ”pesohor politisi” dan Dede lebih top sebagai pesohor daripada politisi.

Lagi pula Heryawan dan Dede masih berstatus anggota parlemen yang bukan bertugas di Jabar. Heryawan adalah anggota DPRD DKI dan Dede anggota DPR.

Artinya, mereka mungkin saja berprinsip nothing to lose ketika memutuskan ikut pilgub Jabar. Toh, andaikan gagal terpilih, mereka, ibaratnya, ”Tetap jatuh di kasur empuk”.

Berbeda kontras dengan cagub Danny Setiawan (Golkar-Demokrat) dan cawagub Nu’man Hakim (PDI-P, PPP, PKB, PDS, dan PKPB) yang berstatus incumbent. Danny adalah Gubernur Jabar, sedangkan Nu’man wakil gubernurnya.

Dan, cagub Agum Gumelar (PDI-P, PKB, PDS, PPP, PBB, PKPB) adalah tokoh berpengalaman yang beberapa tahun terakhir coba mencalonkan diri jadi gubernur DKI, Ketua KONI Pusat, bahkan wapres. Jangan lupa, ia pun bolak-balik pernah menjadi menteri.

Nah, pemilih memilih duet ”dua sipil” ketimbang duet ”sipil-militer”. Padahal, Agum jenderal purnawirawan yang cukup berakar di Jabar dan cawagub Iwan Sulandjana (Golkar/Partai Demokrat) bahkan pernah menjadi Panglima Kodam dan Kepala Staf Kodam Siliwangi.

Makna ketiga, Hade dipilih mayoritas rakyat karena berusia muda, yakni sama-sama 41 tahun. Agum dan Danny sama- sama berusia 62 tahun, Iwan 57 tahun, dan Nu’man 55 tahun.

Anda bisa membayangkan sebuah provinsi besar di republik ini dipimpin oleh dua anak muda. Ini merupakan prestasi fenomenal yang baru terjadi setidaknya sejak era Orde Baru!

Makna keempat, lebih dari 35 persen pemilih apatis karena tak menggunakan hak pilihnya karena golput. Gejala ini sebenarnya telah terlihat dari hasil akhir pilgub DKI yang juga mencatat jumlah golput lebih dari sepertiga total pemilih.

Rakyat memilih golput untuk ”menghukum” partai dan politisi. Masalahnya, apakah partai dan politisi siap membayar hukuman itu dengan menetapkan program-program sosial untuk menarik minat rakyat menggunakan suaranya kembali?

Jadi, empat makna yang hasil pilgub Jabar: rakyat menolak incumbent yang dianggap gagal dan tak peduli dengan ketokohan. Rakyat lebih suka yang muda dan memilih golput karena kecewa. So, what’s next?

Jabar merupakan lumbung suara yang amat bisa menentukan hasil akhir setiap pemilu. Gengsi politik Jabar tak kalah tinggi dibandingkan dengan Jateng atau Jatim yang sebentar lagi juga melangsungkan pilgub.

Pelajaran terpenting adalah ingatlah semboyan yang kini ngetop di AS, ”It’s the voters, stupid!”