Monday, April 14, 2008

Mengapa Ha (PKS) De (PAN) menang ?



Hasil mengejutkan di Pilkada Jabar mengentarkan dunia perpolitikan tanah air. Partai besar seperti Golkar, PDIP, PPP, dll ketar-ketir tertunduk sayu terbelalak dengan hasil pilkada Jabar. Begitupun para pebisnis survay, seperti LSI dan Puskaptis ikut tertampar karena kegagalan mereka dalam memprediksi pilkada Jabar. Pilkada Jabar, it's fenomenal.

Terlepas dari apapun pendapat media berkenaan dengan pilkada Jabar. Realitas insyaallah memastikan Ahmad Heryawan (PKS) dan Dede Yusuf (PAN) akan memimpin Jawa Barat. Semua pihak banyak tidak menyangka dua pemuda ini akan berhasil menuju Istana Jabar. Keduanya masih tergolong anak ingusan di kancak perpolitikan, atau barangkali memang hampir tidak pengalaman mengelola birokrasi. Tapi sekali lagi realitas menegaskan bahwa warga Jabar mendamba perubahan. Harapan itu tertuju pada sosok pemuda yang akrab di gelar HaDe selama masa kampanye. www.hadepisan.com

Tentu bukan hanya karena muda HaDe menang. Toh karena masih banyak muda belum berani bercita-cita besar di masa muda. Untuk menganalis lebih lanjut kemengan Hade mari kita simak bersama analisis Prof. Dede Mulyana (Guru Besar Fikom Unpad)
Dampak kampanye politik

Kampanye ketiga pasangan sebenarnya termasuk kampanye yang "primitif", termasuk iklan-iklan di surat kabar dan TV. Intinya sekadar membujuk, "Pilihlah kami!" tak bedanya dengan iklan kecap yang selalu mengklaim nomor 1. Tak ada kampanye penuh gereget, yang dapat membangkitkan emosi apalagi bawah sadar khalayak.

Pada dasarnya, dampak kampanye politik lewat media massa (dalam bentuk berita, iklan, debat politik, acara atau rubrik khusus) tidak sehebat yang diduga, mengingat khalayak yang --meminjam istilah Raymond Bauer-- "keras kepala" (obstinate). Berbagai kajian mengenai pengaruh pemberitaan kampanye politik di Barat, khususnya di Amerika Serikat, sejak penelitian yang dilakukan Paul Lazarsfeld dan rekan-rekannya di Erie County (Ohio, AS) 1940 yang klasik itu (Lazarsfeld et al., 1944), hingga penelitian di AS dan Inggris (Elihu Katz, 1989), menunjukkan bahwa kampanye politik lewat media massa tidak begitu berpengaruh untuk mengubah perilaku memilih, melainkan hanya memperteguh kecenderungan yang ada (lihat juga Straubhaar dan LaRose, 1996:428-429).

Komunikasi antarpersona, khususnya dalam keluarga, kelompok sebaya (peer group), klub, komunitas agama, dan sebagainya, ternyata lebih memengaruhi khalayak daripada komunikasi massa dalam memilih kandidat politik. Saya kira hal itu pun berlaku dalam Pilkada Jabar. Bahkan, boleh jadi peran keluarga, kerabat, kawan pribadi, guru (termasuk kiai) itu lebih besar lagi mengingat negara kita adalah negara kolektivistik dan paternalistik. Bila dalam masyarakat AS (yang menganut budaya individualistik) saja, pilihan politik seseorang masih kuat dipengaruhi pilihan politik keluarga, apalagi dalam masyarakat Indonesia yang menganut budaya kolektivistik.

Pengalaman kandidat politik bukan jaminan, jika itu tidak menunjukkan keberhasilan pada masa lalu. Da`i dan Aman terlalu biasa, terlalu mapan. Sulit untuk mengharapkan perubahan, apalagi gebrakan dari mereka. Cara memerintah bukan masalah fisik, melainkan masalah mentalitas. Dan mentalitas (konsep-diri dan pandangan hidup) sulit berubah, kecuali karena hidayah Allah dan cuci otak. Para ilmuwan sosial memahami hal ini. Maka berdasarkan kecerdasan mereka, khalayak Jabar memilih Hade dengan harapan ada perubahan, meskipun tanpa jaminan. Dengan kata lain, dari ketiga pasangan yang ada yang sama-sama "jelek", pasangan Hade-lah yang terbaik. Mekanisme kepartaian dan politik di Indonesia, juga di Jabar, memang belum mampu memunculkan para kandidat politik terbaik.

Sebenarnya, kampanye politik dapat berdampak besar jika partai politik yang mengusung kandidat punya tim Public Relations (PR) yang benar-benar ahli dan dapat merancang strategi jitu dalam berhubungan dengan media (wartawan), pengelolaan citra (kandidat dan partai politik) bagi khalayak, komunikasi internal dalam partai, dan pengelolaan informasi. Namun, jangankan dalam pilkada Jabar, dalam pilpres lalu pun saya belum melihat tim sukses kandidat yang benar-benar berhasil dalam mengampanyekan kandidat politik yang mereka promosikan.

Teori kategori sosial

Teori komunikasi massa yang diterima luas adalah teori penggolongan sosial (the Social Differentiation Theory) (DeFleur dan Ball-Rokeach, 1989: 181). Teori ini menganggap, dalam masyarakat terdapat kelompok-kelompok sosial yang tanggapannya terhadap pesan komunikasi massa cenderung sama. Prinsip ini tampaknya berlaku bagi masyarakat Jabar ketika memilih. Ini berarti, seberapa "dahsyat" Da`i dan Aman berpidato, seberapa terampil atau cerdas mereka berbicara, dan seberapa bagus kebijakan serta program politik yang mereka sampaikan. Hal itu tidak memengaruhi pilihan sebagian besar khalayak untuk mengubah pilihannya. Malah dalam debat politik minggu lalu, Hade tampil paling baik, karena berbicara kalem dan tanpa beban, sedangkan Danny agak grogi, dan Agum agak emosional. Itu semakin mendorong massa mengambang untuk menjatuhkan pilihan kepada Hade.

Dalam kampanye di media massa, kata Joseph T. Klapper (1978: 332), orang yang pandangan aslinya diperteguh ternyata jumlahnya 10 kali daripada orang yang pandangannya berubah. Kalaupun terjadi perubahan pandangan, itu merupakan peneguhan tidak langsung, dalam arti bahwa orang yang bersangkutan merasa tidak puas dengan pandangan awalnya sebelum pandangannya kemudian berubah. Dalam pilkada Jabar, kecenderungan itu juga terjadi. Misalnya menyangkut PNS atau simpatisan Golkar yang tidak lagi puas dengan kinerja Danny Setiawan yang lalu memilih Hade.

Dengan kata lain, mereka telah terpredisposisikan untuk berubah dan komunikasi massa kemudian memperteguh predisposisi tersebut serta menunjukkan jalan tertentu untuk berubah. Media massa baru efektif dalam membentuk pendapat mengenai isu-isu baru, bila individu dan kelompoknya belum punya pendapat mengenai isu-isu tersebut. Begitu opini terbentuk, maka pendapat baru inilah yang harus diperteguh. Proses pembentukan pendapat ini akan kuat sekali, bila individu tidak memiliki sumber informasi lainnya mengenai isu-isu tersebut.

Sayangnya, pembicaraan isu-isu baru ini terasa kurang diperhatikan kandidat politik atau parpol. Upaya kandidat politik atau parpol, lebih kepada pengerahan massa dan penonjolan penampilan (terutama wajah) kandidat politik. Makanya kita melihat lebih banyak foto, poster, spanduk, dan baliho yang menggambarkan wajah kandidat daripada program-program politik mereka. Kampanye mereka yang berbobot dan berisi terutama ditujukan kepada kelas menengah-terdidik dirasa kurang. Pawai di jalanan untuk mengampanyekan kandidat pun, menjadi hal yang lumrah untuk menjual kandidat atau partai politik.

Akhirnya, selamat untuk Hade!***


No comments: