Thursday, January 3, 2008

Government Absenteeism

Oleh : Iman Sugema


Seorang wanita miskin bersama anaknya harus menanggung derita akibat ditinggal suami. Perutnya keroncongan, menahan lapar selama berhari-hari. Dalam keputusasaan, dia mengeluarkan sumpah serapah bahwa penderitaannya merupakan akibat dari tidak pedulinya sang penguasa terhadap orang-orang seperti dirinya.

Kebetulan, Khalifah Umar yang waktu itu sedang berkuasa lewat dan mendengar umpatan tersebut. Maka dibawakanlah sekarung gandum buat keluarga tersebut. Hebatnya lagi sang khalifah memanggul sendiri karung tersebut. Ketika ajudannya menawarkan diri untuk memikul gandum tersebut, Umar malah berkata, ''Ini adalah tanggung jawabku, maukah engkau memikul tanggung jawabku kelak di akhirat nanti.''

Ada pelajaran menarik dari riwayat tersebut. Pertama, ketidakberdayaan kaum miskin memerlukan campur tangan pemerintah. Orang miskin merupakan urusan pemerintah dan mereka akan menyalahkan pemerintah manakala pemerintah tidak ''hadir''. Kedua, Umar merupakan contoh penguasa yang sangat bertanggung jawab. Ia tidak hanya campur tangan tetapi juga turun tangan langsung memperhatikan si miskin.

Dalam konteks modern, negara harus memiliki mekanisme, lembaga, dan instrumen untuk menangani kemiskinan dan hal-hal lain yang tidak bisa dipecahkan oleh masyarakat baik secara individu maupun kolektif. Artinya pemerintah perlu benar-benar ''hadir'' dan dirasakan kehadirannya di tengah masyarakat.

Faham sebaliknya justru menyarankan agar pemerintah berpangku tangan atau tak usah campur tangan terhadap masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat. Bahasa kerennya, let's the market works. Toh kalau pertumbuhan ekonomi membaik, masalah kemiskinan, pengangguran, dan ketidakadilan ekonomi akan dengan sendirinya teratasi.

Kami menyebut faham seperti ini tidak sekadar liberalisme tapi lebih jauh lagi sebagai bentuk government absenteeism. Pemerintah seolah diharamkan untuk berperan dalam setiap bidang perekonomian. Kalau perlu, pemerintah cukup tidur saja; the market works when the government sleeps.

Kami dari Tim Indonesia Bangkit (TIB) menengarai bahwa penyakit absenteeism ini masih merupakan tema sentral dari kebijakan ekonomi pemerintah selama tahun 2007, seperti halnya tahun-tahun sebelumnya. Setidaknya, masyarakat belum merasakan kehadiran pemerintah secara nyata.

Dalam hal kemiskinan misalnya, pemerintah SBY-JK masih menjadi net creator. Tingkat kemiskinan sampai triwulan pertama 2007, masih lebih tinggi dibanding sewaktu pemerintahan Megawati. Mungkin di tahun 2008 akan turun sedikit. Tetapi, hampir tak ada langkah yang cukup masif untuk mewujudkan janji pengurangan kemiskinan seperti yang digembar-gemborkan sewaktu kampanye pilpres 2004 yang lalu.

Begitupun dengan masalah pengangguran yang cenderung sangat persisten. Program antipengangguran seperti Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK), pembangunan infrastruktur, dan energi nabati seperti hangus ditelan api. Ada triple track strategy yang diusung, tapi implementasi dan kebijakan anggarannya sama sekali tidak mendukung.

Absenteeism tidak hanya tecermin dalam bidang kemiskinan dan pengangguran, tetapi juga di bidang perminyakan. Ketika harga minyak dunia melambung mendekati 100 dolar AS per barel, segera timbul niat pemerintah untuk membebankannya kepada masyarakat. Caranya adalah dengan kenaikan harga terselubung di mana masyarakat akan dipaksa menggunakan bensin yang beroktan tinggi dengan harga lebih mahal.

Pemerintah pun seakan tidak berdaya dalam mengatasi terus berlanjutnya penurunan produksi minyak mentah. Delapan tahun yang lalu, kita masih memproduksi 1,5 juta barel per hari. Sekarang tinggal 0,9 juta barel per hari. Anehnya, di tengah penurunan produksi justru ongkos yang dibebankan dalam kontrak production sharing terus menggelembung. Hasil audit BPK dan BPKP menunjukan potensi kerugian negara sebesar Rp 18 triliun dalam penggelembungan cost recovery. Dalam hal ini pun pemerintah seakan tertidur.

Yang paling mengherankan justru di bidang anggaran yang sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Rendahnya penyerapan anggaran dalam tiga tahun terakhir ini tak kunjung bisa diatasi oleh pemerintah. Sampai akhir tahun 2007, sekitar 40 persen dari belanja modal gagal terserap. Padahal belanja ini sangat berperan dalam menstimulasi investasi swasta.

Belanja modal pemerintah bersifat komplementer terhadap belanja modal swasta. Karena itu tak heran laju investasi domestik semasa pemerintahan SBY-JK cenderung sangat rendah. Kalah jauh dibanding periode pemerintahan Megawati. Dengan kondisi tersebut di atas, tentunya rakyat akan bertanya di manakah pemerintah selama ini? Apakah kita masih memiliki pemerintah?

No comments: