Thursday, January 3, 2008

Indikator Kesuksesan

Oleh KH Dr Didin Hafidhuddin MSc


Sikap seseorang atau sekelompok orang terhadap sesuatu sangat ditentukan oleh persepsi yang dimilikinya tentang sesuatu itu. Persepsi, yang benar dan tepat disertai keyakinan yang kuat, biasanya akan melahirkan sikap yang benar dan tepat pula. Sebaliknya, persepsi yang salah dan keliru akan melahirkan sikap yang salah dan keliru pula.

Kesuksesan hidup merupakan dambaan setiap orang, apapun posisi, profesi, dan status sosial yang dimilikinya. Akan tetapi banyak orang yang keliru di dalam memahami dan mempersepsi arti dan makna kesuksesan tersebut sehingga di dalam menggapainya banyak langkah yang keliru, bahkan cenderung kontra-produktif. Banyak orang yang memandang jabatan formal yang tinggi sebagai indikator kesuksesan, sehingga segala cara dipergunakan untuk meraihnya seperti dengan money politics, menebarkan fitnah untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya dan mengumbar janji yang bersifat gombal yang sesungguhnya sangat tidak mungkin untuk dipenuhi. Meskipun secara moral dan etika orang tersebut sudah tidak layak lagi memangku suatu jabatan, apalagi jabatan publik, karena terindikasi melakukan kejahatan yang merugikan negara dan masyarakat atau sebagian besar masyarakat sudah tidak menginginkannya laig, akan tetapi jabatan tersebut terus-menerus dipegang dan dipertahankannya. Ia memandang mundur dari suatu jabatan atau tidak memilikinya, merupakan akhir dari segala-galanya. Inilah yang disindir secara tajam oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari: ''Kalian sungguh-sungguh ingin mendapatkan kekuasaan dan jabatan, padahal kelak (di akhirat) akan menjadi suatu penyesalan yang tiada tandingannya''.

Jabatan dipandang sebagai indikator kesuksesan, apabila dipersepsi dan diyakini sebagai suatu amanah yang akan dipertanggungjawabkan kepada rakyat atau masyarakat yang mempercayainya dan kelak di kemudian hari di hadapan Allah SWT. Karena sikap amanah inilah, pejabat tersebut akan berusaha seoptimal mungkin untuk menjadi pejabat yang bersih, adil, dan bersungguh-sungguh di dalam melakukan berbagai macam aktifitas yang akan melahirkan kesejahteraan masyarakatnya. Itulah pejabat yang akan mendapatkan kesuksesan di dunia maupun di akhirat. Rasulullah SAW dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari bersabda: ''Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari tidak ada naungan selain naungan-Nya: (salah satunya) pejabat atau pemimpin yang adil....''

Harta yang melimpah ruah, rumah dan kendaraan yang mewah, tanah yang luas, simpanan uang yang banyak di berbagai bank, seringpula dipandang sebagai bukti kesuksesan hidup sehingga setiap orang berusaha memilikinya tanpa memperhatikan cara-cara untuk mendapatkannya dan tanpa memiliki rasa malu sedikit pun. Kasus suap-menyuap yang melanda pada sebagian anggota DPR yang terhormat atau anggota DPRD-DPRD di berbagai daerah atau yang melanda kepada para penegak dan pengabdi hukum dan melanda pula pada hampir sebagian besar pejabat publik di berbagai instansi dan lembaga di negara kita ini, yang telah menjadi penyakit masyarakat yang sangat kronis adalah wujud dari sikap keliru tersebut. Yang lebih memprihatinkan lagi, banyak di antara mereka yang berbangga-bangga dengan harta dan jabatan tersebut, bahkan cenderung membenarkannya dengan berbagai macam argumentasi yang dicari-cari. Padahal cara-cara kotor tersebut jelas-jelas hanya akan melahirkan berbagai macam keterpurukan, baik bagi yang bersangkutan maupun masyarakat secara keseluruhan. Ajaran Islam sangat melarang keras sikap dan perilaku tersebut sebagaimana dikemukakan dalam QS 2:188 ''Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kmau dapat memakan sebagian dari ha rta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui''. Dalam sebuah hadits riwayat Imam Ahmad dari Abu Hurairah, ia berkata: ''Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap dan yang menerimanya, terutama dalam bidang hukum''.

Indikator kesuksesan hanyalah bagi orang yang mendapatkan ilmu pengetahuan, harta, jabatan dan kedudukan yang didapatkan dengan cara-cara yang halal, benar, transparan dan sesuai dengan aturan yang berlaku. Ajaran Islam sangat menekan pada proses yang dilakukan untuk mendapatkannya dan bukan pada hasil yang diraihnya semata-mata, sebab hal tersebut akan memiliki korelasi yang kuat dengan perilaku yang terjadi kemudian. Harta dan jabatan yang didapatkan dengan cara yang halal akan mendorong pada perilaku yang positif, sebaliknya jika didapatkan dengan cara yang salah dan kotor, akan mendorong pada perilaku yang negatif dan merusak. Jabatan yang diraih dengan cara-cara yang kotor dan keji, akan menyebabkan si pejabat tersebut, jika mendapatkannya, akan terus-menerus melakukan korupsi dengan berbagai macam cara dan tindakan yang cenderung sewenang-wenang untuk kepentingan diri dan kelompoknya dan mengabaikan kepentingan masyarakat luas. Karena itu, dalam sebuah Hadits shahih, Rasulullah SAW bersabda: ''Setiap daging yang tumbuh dari harta yang haram, maka neraka lebih utama baginya''. Artinya hadits ini menggambarkan bahwa makanan yang haram, baik substansi maupun cara mendapatkannya, akan terus-menerus mendorong pada perilaku yang merusak tatanan kehidupan.

Kekayaan, ilmu pengetahuan, jabatan dan kedudukan, diperintahkan Allah SWT untuk dikuasai oleh umat Islam dengan cara-cara yang benar, sehingga umat Islam menjadi umat yang tangguh dan kuat yang mampu memberikan keselamatan dan kesejahteraan bagi umat manusia secara keseluruhan. Semua itu, bagi umat Islam, hanyalah sebagai sarana dan alat untuk mencapai tujuan hidup yang hakiki dan kesuksesan yang abadi, yaitu berada dalam naungan dan ridha Allah SWT. Umar bin Khattab, dalam sebuah doanya, menyatakan: ''Ya Allah, jadikan dunia dalam genggaman tanganku dan jangan mengendalikanku''. Harta dan jabatan yang digenggam akan mampu dikendalikan dan diarahkan pada hal-hal yang positif dan bermanfaat. Akan berlainan keadaannya, jika harta dan jabatan itu yang mengendalikan, akan menghilangkan pikiran yang jernih dan menihilkan hati nurani.

Para sahabat di zaman Rasulullah SAW adalah orang-orang yang berhasil dan sukses dalam berbagai macam bidang kehidupan. Banyak di antara mereka yang memiliki kekayaan, akan tetapi kekayaannya diraih dengan cara yang bersih dan kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan perjuangan, menyantuni anak yatim dan fakir miskin, serta membangun peradaban yang indah dan menarik. Banyak pula di antara mereka yang mampu menjadi pejabat yang handal dan terpercaya, yang memandang jabatan sebagia amanah yang berat yang mengandung resiko duniawi dan ukhrawi, sehingga banyak yang menolak ketika disodorkan suatu jabatan yang mempersilakan orang lain untuk memangkunya.

Namun, ketika mereka dengan berat hati menerimanya, di tangan mereka, rakyat dan masyarakat terpenuhi kebutuhan hidupnya dan terjaga keamanan serta ketenangannya. Di tangan mereka pula supremasi hukum ditegakkan dengan sebenar-benarnya tanpa memandang siapa yang menjadi sasarannya. Akibatnya, rakyat luas, di samping mempercayai kepemimpinan mereka, juga ikut terlibat dan berpartisipasi aktif dalam membangun kesejahteraan bersama. Masyarakat bukan sekadar mendengar ucapannya, akan tetapi melihat secara langsung perilakunya yang bernuansa uswah-hasanah (suri tauladan yang baik). Banyak di antara mereka yang menjadi cendekiawan dan ulama besar yang memiliki pengetahuan yang mendalam (tafaqquh fi ad-din) yang menghasilkan karya-karya besar dan monumental yang dapat dinikmati oleh generasi berikutnya. Itulah generasi yang sukses dengan kesuksesan yang sesungguhnya yang patut ditiru oleh kita semuanya. Rasulullah SAW bersabda: ''Sahabat-sahabatku adalah laksana bintang yang gemerlapan di langit, kepada siapapun kalian mencontohnya, kalian pasti akan mendapatkan hidayah.''
Wallahu A'lam bi ash-Shawab.
()

No comments: