Thursday, January 3, 2008

Kalau Cinta Bersemi di Tempat yang Salah

Oleh : KH A Hasyim Muzadi


Allah SWT adalah Lumbung Cinta Abadi. Tak ada satu pun kehendak-Nya yang tercurahkan, kecuali atas dasar cinta. Bahkan ketika Dia hendak menciptakan alam semesta, semuanya juga berasal dari cinta-Nya yang begitu agung. Maka, untuk tetap menumbuhkan rasa cinta, Dia menularkan benih-benih luhur ke jantung hati alam semesta melalui Baginda Rasul Muhammad SAW.

Melalui Sang Nabi inilah, maka meluncur deras ikhtisar cinta di bentangan dunia, khususnya di kalangan ummat manusia. Demikianlah! Nabi Muhammad merupakan sosok perlambang dunia cinta. Kelembutan hatinya, telah meluluhkan hati terdalam banyak manusia dan karena keluhuran budinya, banyak angkara murka luluh mencair. Belaian tangannya yang halus, mampu membungkam kecongkakan dunia. Sentuhannya yang tulus, menyebabkan lawan takluk tanpa merasa dikalahkan. Maka, melalui Nabi Muhammad-lah, suri teladan cinta begitu mudah ditemukan.

Kini, sebagian besar bangsa kita tengah merindukan kehadiran sosok para pecinta yang sesungguhnya. Cinta hanya dapat dirasakan kalau terjadi interaksi yang intens. Kalau menjelang wafatnya, Nabi Muhammad masih berat meninggalkan umat Islam, maka sosok seperti apakah Baginda ini?

''Ummaty! Ummaty (Umatku! Umatku!),'' demikian beliau mendesah pada detik-detik terakhir kehidupannya. Adakah cara paling menyentuh untuk menunjukkan kecintaan seseorang selain menyebut nama orang yang dicintainya, bahkan di saat ajal menjelang? Adakah pecinta seagung Baginda Muhammad? Begitu kabar wafatnya Rasulullah menyebar, semua isi alam ini menangis.

Mendung bergelayut, burung-burung saling bertasbih, para malaikat menumpahkan air mata kesedihan yang mendelam. Umat manusia seperti ditenggelamkan dalam kegundahan yang teramat sangat. Begitu Nabi Muhammad wafat, maka alam terus menerus berada dalam dunia lara duka yang tak berbatas.

Banyak cara dilakukan orang untuk menyatakan bahwa cintanya tidak bertepuk sebelah tangan dengan Sang Rasul. Mereka yang terdekat secara zaman dengan Baginda, akan selalu mamatut-matutkan dirinya dengan pola kehidupan Rasulullah. Para sahabat terdekat dan sezaman dengan beliau, juga akan meneladani serta menapaktilasi semua kebiasaan yang dilakukan Baginda Rasul semasa hidup.

Bagaimana dengan umatnya yang tak pernah bersua beliau? Bagaimanakah cara meneladani kebiasaan seseorang ketika yang dicinta tak pernah secara fisik dirasakan kehadirannya? Bagaimanakah cara mencintai seseorang yang kita tak pernah bertemu dengannya? Bahkan lukisan tentang dirinya pun tak ada? Kita sebagai umat Islam yang hidup ribuan tahun setelah kehadiran beliau di dunia ini, bisa mengadopsi bentuk-bentuk cinta Rasul melalui sirahnya yang sampai kepada kita. Bisa juga melalui keterangan-keterangan para cerdik cendekia yang sampai kepada kita serta bisa pula lewata kisah-kisah abadi tarikh masa lalu.

Kini, kita sebagai umat Islam, bagian terbesar bangsa Indonesia, tengah mengharapkan lahirnya sosok pecinta sejati. Bangsa-bangsa di dunia, begitu cinta kepada pejuang mereka, maka mereka bangun sebuah patung besar untuk mengenang kepahlawanannya. Begitu gandrungnya anak-anak kita kepada sosok pujaan mereka, tak ada ruang dinding kamarnya yang tersisa selain tempelan foto-foto bintang kesukaan mereka. Kalau anak kita menggemari sepak bola, maka gambar superstar sepak bola akan meramaikan semua sisi-sisi biliknya.

Mereka berikhtiar berperilaku seperti David Beckham, kalau mereka menyukai pemain besutan Manchester United ini. Kalau anak kita menggemari seorang penyanyi, maka kemana pun sang penyanyi ''manggung'' ia akan berusaha keras untuk bisa berdekatan dengannya. Kalau setiap saat televisi kita hanya menanyangkan sinetron yang kualitasnya tidak memadai, maka jangan harap anak kita akan meninggalkan tabung bergambar itu sebelum acara usai.

Kini, 150 juta lebih penduduk Indonesia menikmati tayangan televisi. Seperti sebuah virus, demam tontonan televisi sudah menyebar hingga ke ruang-ruang privat masyarakat. Banyak di antara anak-anak kita yang jauh lebih suka meneladani bintang pujaannya dari pada kita sendiri. Sampai kita sendiri bertanya-tanya, mau jadi apakah anak kita kelak. Banyak di antara anak-anak kita yang lebih cinta bintang kegemarannya dari pada cintanya kepada kita sebagai orangtua. Tetapi, begitu sibuknya kita dengan urusan sehari-hari, hingga kita tidak sadar sudah begitu jauh anak kita melangkah.

Menggemari seorang pujaan tentu tidak salah karena mereka tengah mencari sosok panutan sebelum mereka benar-benar menemukan jati diri. Menjadi salah, kalau anak kita sampai meniru pola hidup para bintang pujaannya, terutama yang negatif. Jujur kita akui, pada sebagian besar waktu, cinta anak-anak kita bersemi di tempat yang salah. Atau, jangan-jangan cinta kita semua, para penikmat tayangan televisi, juga mengalami hal serupa? Bersemi di tempat yang salah. Duh Gusti!

Dalam beberapa dekade terakhir, dunia tontonan yang bergejala hedonis ini, telah merasuk sangat jauh hingga ke tulang sumsun terdalam kita. Begitu menumpuknya beban masyarakat, sebagian besar karena kualitas tontonan yang yang hanya mengejar rating belaka. Makhluk macam apakah rating ini sesungguhnya, sehingga begitu kuat membius sebagian besar televisi kita?

Begitu banyak stasiun televisi yang kita miliki, tetapi begitu sedikit yang serius berkomitmen menaburkan nilai-nilai luhur kepada masyarakat penikmatnya. Betapa banyak penelitian dilakukan untuk mengukur kualitas tayangan tertentu, tetapi begitu banyak hasilnya yang menunjukkan betapa besar impact negatif yang ditularkan oleh begitu banyak acara-acara di televisi kita. Memercayakan pendidikan anak-anak bangsa ini kepada tayangan di televisi, sungguh merupakan sebuah pertaruhan teramat berani. Tentu kita tidak bisa menampik kehadiran televisi dalam kehidupan kita sehar-hari. Tetapi tentu saja kita juga harus siap memberikan daya tangkal dari anasir-anasir negatif yang ditimbulkannya.

Kalau kita cinta anak-anak kita, anak-anak bangsa ini, mari semua berkomitmen memberikan yang terbaik. Kalau kita kurang begitu yakin atas kemampuan kita karena kemampuan yang terisisa jauh lebih minim efeknya dibanding jumlah persoalan yang ada, maka cukuplah bagi kita memberikan perhatian yang serius kepada anak-anak kita. Sudah terlalu banyak survei dilakukan dan sudah begitu banyak pula penjelasan seputar dampak negatif dari serangkaian tontotan yang disuguhkan kepada kita.

Tak perlulah semua kita berhasrat membenahi semua keruwetan bangsa ini, tetapi cukuplah bagi kita mengurus satu persoalan ini dulu. Ini merupakan tanggung jawab semua anak bangsa; pemerintah sebaga regulator, pemilik televisi sebagai pemodal, pekerja televisi sebagai penanggung jawab rubrikasi, pemilik production house sebagai produser tayangan hiburan serta kita sebagai penonton.

Marilah kita segera sadar! Ini persoalan serius. Hidup kita hari ini tak lebih dari sekadar pinjaman dari sebagian hak-hak anak-anak kita. Kehidupan akan terus berlanjut, dan kehidupan anak-anak kita sudah menunggu di pintu gerbang masa depan. WalLaahu A'lamu Bishshowaab.

Sumber :http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=316526&kat_id=49

No comments: