Thursday, January 3, 2008

Kebenaran yang Terorganisasi

Ali bin Abi Thalib ra dalam salah satu kata hikmahnya menyatakan bahwa kebenaran yang tidak terorganisasi akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisasi secara rapi. Pernyataan ini sungguh sangat menarik dan prospektif.

Karenanya perlu mendapat perhatian dari kaum Muslimin, sebagai kelompok umat yang mendapat amanah Allah SWT untuk senantiasa menebarkan dan mempertahankan kebaikan, kedamaian, dan kebenaran dalam kehidupan umat manusia secara keseluruhan. Allah berfirman, ''Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah.'' (QS 3:10). Perhatikan pula QS 2:143.

Sudah menjadi sunnatullah yang bersifat pasti, bahwa jika kebenaran datang, maka kebatilan akan hancur. ''Dan katakanlah yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.'' (QS 17:81).

Tetapi perlu disadari bahwa aplikasi dari sunnatullah ini sangat terkait dengan pelaksanaan sunnatullah yang lainnya. Aturan Allah SWT dalam kehidupan ini tidak pernah berdiri sendiri, melainkan berhubungan satu sama lainnya.

Di antara sunnatullah tersebut adalah bahwa kebenaran itu harus diamalkan dan diperjuangkan dalam tatanan yang rapi dan teratur, dengan perencanaan yang matang, dengan tahapan-tahapan pelaksanaan dan skala prioritas yang jelas, dan didukung oleh sumberdaya Muslim yang berkualitas, serta pengorganisasian yang kuat. Allah SWT berfirman, ''Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.'' (QS 61:4).

Dalam realitas kehidupan yang kita saksikan sekarang ini, betapa kemunkaran dan kebatilan telah merajalela dan mendominasi di hampir semua sektor kehidupan. Semuanya dibungkus dan dikelola dengan rapi, sehingga seolah-olah merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan modern sekarang ini.

Masyarakat luas banyak yang terpengaruh dan terkooptasi oleh nilai-nilai kebatilan, baik bagi dirinya maupun bagi masa depan bangsa dan negara. Bahkan, jika ada yang menentang dan mengingatkan mereka, maka masyarakat cenderung membelanya. Kasus goyang Inul dan goyang-goyang lainnya dengan berpakaian yang sangat tidak sopan --membuka aurat yang mengundang syahwat-- dianggap sebagai hal yang wajar.

Gaya hidup bercirikan materialisme dan kebebasan telah merasuk ke dalam struktur pikiran, hati, dan perbuatan masyarakat banyak, apalagi didukung oleh kekuatan media informasi yang begitu menggurita, yang telah mampu mengobok-obok jati diri dan akhlak masyarakat. Atas nama kebebasan dan hak asasi manusia, orang boleh melakukan apa pun yang dikehendakinya. Nilai-nilai moral yang bersumber dari ajaran agama telah dipinggirkan, bahkan sengaja ditinggalkan.

Terjadi proses sekularisasi yang sangat dahsyat di tengah masyarakat. Antara ibadah dan muamalah telah terjadi pemisahan yang sangat nyata. Ibadah shalat, haji, dan umrah (yang kadang dilakukan berulang kali) misalnya, sengaja dipisahkan dengan muamalah di bidang ekonomi, pendidikan, kebudayaan, dan kesenian.

Bahkan ada sebagian kalangan yang berpendapat tidak perlu membawa ajaran agama pada dunia kesenian. Dunia kesenian, menurut mereka, adalah dunia kebebasan, tanpa ada pembatas dan koridor apa pun. Orang boleh mengekspresikan karya seni dan imajinasinya sekehendak hati, tanpa harus dikaitkan dengan nilai-nilai moral.

Yang juga sangat memprihatinkan sekaligus mengherankan adalah kelompok pendidik yang gigih menolak RUU Sistem Pendidikan Nasional untuk ditetapkan sebagai undang-undang, hanya karena dalam RUU itu ada kata iman dan takwa, dan kewajiban memberikan pendidikan agama yang sesuai agama peserta didik.

Tampaknya mereka lebih senang mengembangkan sistem pendidikan sekuler atau mungkin juga sistem pendidikan yang antiagama daripada sistem pendidikan yang melahirkan peserta didik yang bermoral dan bertakwa kepada Allah SWT, Tuhan Yang Mahakuasa.

Ajaran Islam adalah ajaran yang sangat menekankan prinsip kesatuan (tawhid) dalam segala hal: kesatuan ibadah dengan muamalah, seni dengan moral, individu dengan masyarakat, ilmu dengan amal, dan dunia dengan akhirat. ''Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia) dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik (di akhirat) dari apa yang telah mereka kerjakan.'' (QS 16:97).

Menghadapi dominasi kebatilan yang demikian dahsyat, para pembela, pejuang, dan aktivis kebenaran perlu melakukan cara-cara yang rapi dan dengan organisasi yang kuat bercirikan: Pertama, perlu dimilikinya strategi besar dan blue print pembangunan masyarakat Muslim yang bercirikan tawhidullah, berkesejahteraan, berkeadilan, ber-ukhuwah islamiyah, dan ber-amar ma'ruf nahyi munkar, dengan tahapan-tahapan yang jelas dan langkah-langkah konkret yang berkesinambungan.

Blue print ini menjadi sangat penting agar energi tidak terkuras habis dalam menjawab pekerjaan rumah yang selalu dilemparkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Kaum Muslimin sering menguras semua energi, bahkan hampir terjadi perpecahan dan pertentangan antara satu dan lainnya ketika memberikan respons pada pekerjaan rumah - pekerjaan rumah tersebut. Tampaknya perlu ada lembaga khusus yang didukung secara moral dan material oleh semua pihak dan kalangan umat.

Kedua, amar ma'ruf nahyi munkar hendaknya tidak dilakukan secara sporadis dan insidental, dan hanya menekankan aspek lisan, tetapi harus dilakukan secara terus-menerus (istimror) dan menyangkut semua bidang kehidupan. Caranya dengan melahirkan berbagai institusi alternatif agar menjadi pilihan kebaikan bagi masyarakat.

Misalnya, usaha membangun stasiun televisi yang dirancang bagi peningkatan kualitas pengetahuan dan akhlak masyarakat, tampaknya merupakan bagian penting dari kegiatan dakwah yang harus dipikirkan semua komponen umat. Potensi dana dan sumberdaya manusia yang dimiliki umat Islam untuk membangun dakwah lewat televisi ini harus terus digali dan dikembangkan.

Kita yakin, para hartawan, para pengusaha, dan para pejabat yang memiliki komitmen terhadap hal ini, insya Allah masih cukup banyak.
Ketiga, penguatan semangat bekerja sama antara sesama kelompok umat harus terus-menerus dilakukan. Sudah waktunya memperhatikan titik-titik persamaan.

Sesungguhnya, persamaan di berbagai kelompok umat itu lebih dominan daripada perbedaannya. Namun, sangat disayangkan yang lebih sering menonjol adalah perbedaannya. Perlu ditumbuhkan semangat tasamuh (toleransi) sehingga lahir kekuatan yang tangguh walaupun kondisi internalnya relatif heterogen.

Keempat, majelis taklim - majelis taklim dan lembaga-lembaga kajian keislaman perlu mengoptimalkan materi dan tenaga pengajarnya. Institusi ini, di samping ditujukan untuk melakukan transformasi dan peningkatan pengetahuan keislaman, juga diharapkan menjadi benteng pertahanan masyarakat dari berbagai intervensi yang merusak akhlak dan moral.

Karena itu, semua komponen umat (termasuk di dalamnya ulama, dai, guru, aktivis orpol dan ormas, dan para tokoh) harus menyatukan gerak dan langkah dakwahnya dalam barisan yang rapi dan teratur. Insya Allah semua itu bisa mengatasi dan mengalahkan dominasi kemunkaran, walaupun kemunkaran itu diorganisasi dengan baik. Wallahu A'lam bi ash-Shawab.

Oleh : Didin Hafidhuddin

No comments: