Thursday, January 3, 2008

Tokoh Perubahan 2007: The Sound of Moral

"First and foremost, we should be governed by common sense. But common sense should be based on moral principles first. And it is not possible today to have morality separated from religious values."

Vladimir Vladimirovich Putin

Itulah suara terdalam dari seorang Putin, presiden Rusia. Seorang agen dinas rahasia KGB di masa Soviet yang komunis. Putin dinilai berhasil membawa negerinya untuk bangkit kembali sehingga majalah Time menobatkannya sebagai Person of the Year tahun 2007. Bagi Putin, nilai-nilai religius merupakan pijakan moral yang utama dalam memerintah. Globalisasi memang bukan sekadar memungkinkan menyatukan warna dunia dalam seketika, tapi juga mambangkitkan identitas agar tak tergerus. Dan religi adalah the ultimate values yang paling kukuh untuk menjadi pilar. Itulah pilihan terbaik untuk tetap "menoleh ke kanan". Indonesia akan mampu bangkit dari keterpurukannya jika masyarakatnya berpegang pada nilai-nilai religi yang berakar kuat di masyarakatnya.

Seperti dua tahun belakangan ini, pada hari ulang tahunnya, 4 Januari, Republika mengumumkan pemenang anugerah Tokoh Perubahan 2007. Kali ini adalah untuk yang ketiga. Mereka bagai angin semilir. Damai dan menyejukkan. Pelan namun menyibakkan. Itulah ciri Tokoh Perubahan 2007 pilihan Republika tahun ini. Mereka adalah Maftuh Basyuni, Deddy Mizwar, Habiburrahman El Shirazy, Andrea Hirata, Yusuf Mansyur, dan Ratna Megawangi.

Pada 2005, Republika memilih delapan tokoh yang menebarkan energi positif dan optimisme. Pada 2006, anugerah diberikan kepada tujuh tokoh yang menunjukkan pribadi pekerja keras. Kali ini, Republika memilih enam tokoh penyuara moralitas dalam memandu masyarakat. Merekalah pelantun the sound of moral.

Maftuh Basyuni adalah khas sosok pesisir utara Jawa: lugas dan berani. Membenahi Departemen Agama adalah tekadnya yang sangat kuat. Kemudahan, penghematan, pelayanan, dan membasmi praktik korupsi, percaloan, maupun mengail di air keruh dari 200-an ribu jamaah haji adalah upaya perbaikan yang terus-menerus ia lakukan. Adakalanya ia terpeleset seperti pada musim haji tahun lalu. Upayanya membenahi layanan katering haji mendapat perlawanan keras, bahkan sabotase dari pihak-pihak berkuasa di Arab Saudi.

Maftuh juga berbenah di bidang lain yang menjadi urusan departemennya seperti masalah pendidikan, birokrasi, dan pengelolaan anggaran maupun aset Depag. Ia tak banyak bicara dan lebih banyak bekerja, tanpa mengenal kompromi. Perlahan citra dan kinerja Depag pun membaik. Untuk kali pertama, Tokoh Perubahan didominasi seniman, yaitu Deddy, Habib, dan Andrea. Deddy bisa menghadirkan visinya yang kokoh di tengah terpaan produk sinetron dan film layar lebar yang dipenuhi roman picisan, pornografi, dan horor. Walau karyanya dipenuhi dengan idealisme namun ia bukan karya apik yang sunyi dari tepuk tangan.

Terbukti dari rating yang tinggi dan iklan yang penuh serta tiket yang laku keras dan masa tayang yang lama di bioskop papan atas. Karyanya juga mendapat berbagai penghargaan di berbagai festival. Hal itulah yang membedakan Deddy dengan sineas lain yang juga sama-sama berdiri di garda depan produk bermutu. Bukan hendak mengecilkan yang lain, namun Deddy bisa membuktikan kualitas kreativitasnya yang tetap bergemuruh.

Karya Deddy tak melulu pada kualitas teknis perfilman. Ia juga menukik pada isinya itu sendiri. Bukankah pembeda utama antara seni cerita dengan seni lainnya adalah ceritanya itu sendiri? Bukankah berkesenian ditujukan untuk masyarakat dan bukan untuk para seniman sendiri? Bukankah berkesenian bukan sekadar menghibur tapi juga untuk pencerahan jiwa? Bukankah seniman juga butuh uang untuk hidup dan berkarya lagi? Semua dijawab tuntas oleh Deddy lewat Lorong Waktu, Kiamat Sudah Dekat, Para Pencari Tuhan, dan Naga Bonar Jadi 2.

Ada ungkapan penghibur bahwa karya yang baik tak selalu karya yang paling banyak digemari. Itu memang betul. Tapi, alangkah eloknya jika selain karya itu baik tapi juga digemari. Itulah yang terjadi pada Habib atau akrab disapa Kang Abik. Novelnya, Ayat-ayat Cinta, memang meniti di atas cerita kisah cinta seorang mahasiswa. Sebuah model yang klise.

Namun caranya bercerita, munculnya kejutan di setiap babak, bingkai multikultural dan multikeyakinan para tokoh utama yang terlibat, dan keindahan cinta tanpa syahwat merupakan eksotisme novelnya. Bahkan, dari segi bingkai multikultural dan multikeyakinan, Ayat-ayat Cinta masih lebih kuat dibandingkan dengan karya klasik Buya Hamka, Di Bawah Lindungan Ka'bah. Ya, Hamka baru telah lahir dalam sastra Islami. Di sana ada tawa, kerinduan, juga tangis. Tentu yang lebih utama, sebagaimana ditulis dalam sampulnya, inilah novel pembangun jiwa. Novel yang mampu menggugah dan menginspirasi para pembacanya untuk menjadi pribadi-pribadi yang baik.

Andrea Hirata tetap berkukuh bahwa dia bukanlah novelis. Bukan pula sastrawan. Bukan juga pembaca sastra yang baik. Apa yang ia tulis ia akui sebagai sebuah buku tentang pendidikan. Kesahajaan itulah yang membuat novelnya begitu otentik dan menyegarkan. Ia seakan makhluk baru dalam dunia sastra Indonesia. Andrea memang orang yang muncul dari dunia antah berantah dalam jagad sastra Indonesia. Justru karena itu bahasa dan ungkapannya begitu asli. Ia tak mewarisi dan tak terpengaruh siapa-siapa. Padahal novelnya, Laskar Pelangi, ia tulis hanya dalam tiga pekan. Bukankah ia seorang penulis yang luar biasa?

Sebagai seorang karyawan PT Telkom tentu ia sangat sibuk. Namun, kecintaan dan dorongannya untuk memberikan hadiah pada ibu gurunya yang sedang terbaring sakit membuatnya teramuk menulis. Apa yang ia tulis adalah kisah nyata dan pengalaman pribadinya beserta teman-temannya yang tergabung dalam persahabatan Laskar Pelangi saat mereka di SD. Apa yang ia tulis adalah wajah nyata Indonesia tentang kemiskinan dan berbagai akibatnya, apalagi di wilayah terpencil di Belitung. Namun, berbagai keterbatasan itu bukanlah pintu mati jika di sana ada seorang guru yang menghayati dan mencintai profesinya. Tunas-tunas muda itu begitu keranjingan untuk belajar dan menyerap ilmu. Seperti kata Andrea, Laskar Pelangi memang bukan [sekadar] novel, dia adalah mata air di padang makna.

Di tengah gejala hedonisme, individualisme, pamer kekayaan, dan penderitaan akibat rentetan musibah dan krisis ekonomi berkepanjangan, Ustadz Yusuf Mansyur menyeru tentang "kenikmatan dan keuntungan" bersedekah. Ia pun mengeluarkan rumus matematika sedekah. Setiap pengeluaran akan ada pemasukan yang berlipat. Ia menyerukan solidaritas sosial.

Akhirnya, Ratna Megawangi. Dosen IPB yang lebih banyak dikenal lewat tulisan-tulisannya soal kesetaraan gender dari perspektif Islam merupakan pribadi yang telah enam tahun bergelut mengembangkan pendidikan yang bertumpu pada pembentukan karakter. Ia berjuang tanpa berisik. Bersama-sama para mantan mahasiswanya, kini ia telah mendirikan lebih dari 100 sekolah taman kanak-kanak di berbagai daerah. Melalui jalan sunyi, ia berharap Indonesia bisa menuainya ketika anak didiknya besar kelak. nasihin masha

1 comment:

Anonymous said...

ok deh