Tuesday, June 17, 2008

Belajar dari van der Sar



SETELAH menyelesaikan pertandingan Selasa dinihari (10/6), kesebelasan Belanda seperti telah menyelesaikan separuh tugas di Piala Eropa 2008.


Menekuk 3-0 juara dunia Italia, bukan soal sepele. Tidak pula sekadar soal kuantitatif perolehan gol. Lebih. Kemenangan tersebut seakan melepaskan beban 30 tahun selalu terkalahkan menghadapi tim Azzuri. Italia seakan kutukan bagi Belanda, selain Jerman (Barat).


Ke atas lagi, seakan catenaccio Italia hampir diyakini para pengamat sebagai antitesis total football Belanda. Mungkin, tersingkir di babak II pun kelak, Belanda tidak peduli.


Memang tim manager Marco van Basten pernah menjanjikan – saat menerima tampuk kepelatihan 4 tahun lalu – ia mengejar target 4 tahun kemudian. Memang, 2 tahun sebagai pelatih, berintikan pemain debutan baru, Belanda di tangan van Basten ibarat pasukan yang baru terusir dari koloninya.


Setelah ditangani para pelatih Frank Rijkaard, Louis van Gaal, hingga Dick Advocaat pada periode 1998-2004, Tim Oranye tidak lolos untuk masuk putaran final Piala Dunia 2002. Van Basten hanya bisa mengangkatnya sampai babak II Piala Dunia 2006.


Padahal tim ini pernah runner up dua kali Piala Dunia. Pertandingan final mereka melawan Jerman Barat di tahun 1974 dan menghadapi Argentina di 1978, nyaris jadi tontonan klasik.


Keunikan lain tim ini, tidak sekali mereka memiliki pemain bersaudara – minimal nama keluarganya sama. Ada abang-adik Rene dan Willy van de Kerkhof di tahun 70-an. Paruh 80-an mereka punya Rob dan Richard Witschge. 1990-an ada Frank dan Ronald de Boer.


Kembali ke pertandingan Italia-Belanda tersebut. Selain Marco van Basten, pelatih dan manajer tim, kiper cum kapten kesebelasan Erwin van der Sar kunci kemenangan tersebut. Apa pula istimewanya jangkung kelahiran 29 Oktober 1970 ini?


Belanda pernah memiliki kiper legendaris Jan Jongbloed; mengawal jala tahun 1962 hingga 70-an. Di 80-an, ada Hans van Breukelen berwajah bintang film. Mereka pernah pula menjadi kapten, sekaligus pemain tertua di kesebelasannya.


Dunia pun pernah mengenal para legenda penjaga gawang: Lev Yashin, Dino Zoff, Jan Tomaszweski, Ramon Quiroga, Peter Shilton, Sepp Maier, dan sebagainya.


Menurut hemat saya, kelebihan van der Sar, pertama; kemampuan teknisnya yang tidak sekadar rata-rata. Kredibilitas dan penghormatan rekan-rekannya di lapangan, pertama kali pasti datang dari pengakuan mereka atas kerja keras dan kemampuan teknis van der Sar yang tak sekadar rata-rata.


Bukan hanya pada pertandingan historis dengan Italia itu saja. Saat bersama Ajax, Fulham, Juventus, dan Manchester United, juga bisa terlihat. Final Liga Champions Eropa sebulan lalu, van der Sar kunci kemenangan dramatis MU lewat adu penalti melawan Chelsea.


Kedua; ketenangannya dalam segala situasi. Tetap awas walau timnya sedang merangsek pertahanan lawan. Tidak panik saat lawan datang menggempur.


Ketiga; proporsionalitas. Dia tidak terlihat berlebihan jika berhasil melakukan sebuah penyelamatan gawangnya. Juga tidak terlampau terlihat down jika gawangnya bobol.


Keempat; kepercayaan dirinya yang memadai. Sebagai leader, ia mafhum, sebuah pertandingan dimenangkan justru saat terbangun keyakinan bahwa kita bisa melakukannya. Namun tidak meloncat menjadi jumawa.


Terakhir; rileks dan spontan. Setiap gol tercipta di gawang lawan, Erwin van der Sar akan kegirangan. Seusai pertandingan ia akan menyalami, merangkul, menepuk bahu, memegang pipi atau kepala kawan ataupun lawannya. Mudah dibaca: ia tulus.


Pada sektor, profesi, dan tingkatan apa pun; kita bisa belajar dari van der Sar.


Penulis adalah M. Ichsan Loulembah, Anggota Dewan Perwakilan Daerah RI

No comments: