Sunday, January 27, 2008

Antara Duka Gaza dan Cendana


Oleh : Nedi Yansah

Tepat pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008, sakaratul maut menjemput Mantan Presiden Soeharto. Sedih bergelora pilu tentu menggenapi seluruh Bangsa Indonesia. Dari Sabang Merauke, para tetua dan pemuda bangsa ini tentu merasa kehilangan yang sangat. Kepergian Sang Fenomenal, tentu fenomenal pula penyikapannya. Kepergian seorang Jenderal Besar, yang oleh MPR dianugerahi penghormatan sebagai Bapak Pembangunan Nasional, tentu tentu adalah peristiwa bersejarah berkesan bagi bangsa dan dunia. Semarak media massa pun semakin mengandakan kesedihan Bangsa Indonesia.

Genap duka itu pun semakin gempita, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengumumkan kematian Mantan Presiden Soeharto sebagai hari belasungkawa nasional. SBY pun turut mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk mengibarkan bendera setengah tiang sebagai bentuk penghormatan dan duka cita atas kepergian Mantan Presiden Soeharto. SBY pun turun untuk meredam duka bangsa dan menyatakan bahwa bangsa ini harus mengikhlaskan kepergian Mantan Presiden Soeharto.

Tentu, yang paling berduka dengan kepergian Mantan Presiden Soeharto adalah pihak keluarga yang ditinggalkan. Cendana adalah rumah duka yang menjadi pusat sungkawa segenap anak bangsa. Prosesi duka pun tergelar dengan apiknya. Teknis gerak penyelenggaraan jenazah menjadi begitu birokratisnya. Detik gerak perjalanan jenazah pun menjadi momen yang paling di sorot. Jalur perjalanan dari Rumah Sakit Pertamina, Cendana, dan Istana Giri Bangun menjadi begitu special. Semua tatap memusat. Semua media berebut mengungkap detik kedukaan kepergian Mantan Presiden Soeharto. Sungguh sebuah gelaran fenomenal. Tentu itu bukanlah sebuah kesalahan, karena memang sebegitulah layaknya bentuk penghargaan bangsa ini atas semua jasa besar beliau. Atau barangkali gegap prosesi dan tumpah ruah simpati seluruh anak bangsa tidak sebanding dengan jasa beliau. Terlepas dari adanya kekhilafan selama perjalanan kepemimpinan beliau.

Terlepas dari prosesi duka bangsa Indonesia ditinggal pergi Mantan Presiden Soeharto, nun jauh disana di bumi para nabi, di Negeri Palestina ada juga duka yang bergelora. Duka jutaan rakyat Palestina, khususnya penduduk Gaza di bawah kekajaman imperialisme penjajah, Zionis Israel. Duka ribuan wanita yang harus menjadi janda. Duka ribuan anak yang harus menjadi yatim atau piatu, atau barangkali juga yatim piatu. Duka yang menahun, bukan duka instant yang mungkin sedang dirasakan Bangsa Indonesia.

Duka Rakyat Palestina pun kini sedang memuncak. Duka yang bercampur cekam dan geram atas kebiadaban Israel memblokade Jalur Gaza. Semua sarana dan prasarana lumpuh. Bahan pangan, energi penerang menjadi hal yang langka. Jalur Gaza menjadi kota yang tak layak huni. Jalur Gaza menjadi kota yang tidak bersahabat lagi bagi kehidupan. Jalur Gaza menjadi Sungguh jauh berbeda dengan negeri kita.
Jikalau seandainya Indonesia adalah Palestina, atau barangkali juga Jakarta adalah Jalur Gaza. Tentu prosesi duka itu pun sama dengan kini yang sedang menimpa bangsa. Prosesi duka anak-anak yang menagis karena lapar dan kedinginan. Prosesi para isteri yang begitu menderita karena sakit namun tak bisa membeli obat. Detik perjalanan yang begitu akrab dengan rakyat Gaza yang begitu lemah dan bernyakitan. Tidak mempunyai uang untuk membeli makanan, dan obat. Namun pun ketika berusaha menuju rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, engkau melihat pemandangan yang lebih mengiris hati. Karena ada ratusan orang yang sudah lebih dahulu tiba dan menanti pengobatan dari rumah sakit. Anak-anak, kaum perempuan, orang-orang tua. Mereka semuanya menunggu pengobatan. Tapi tak ada obat. Tidak ada sarana pengobatan, karena listrik sudah terputus dan mereka semua berada dalam gelap.
Pemandangan duka yang terjadi di Palestina sesungguhnya mendobrak ingatan kita tentang relung empati bangsa Indonesia yang hilang, Diamnya Indonesia yang notabene-nya memiliki penduduk muslim terbesar di dunia, mengambarkan begitu keringnya ikatan ukhuwah islamiyah. Memang kepergian Mantan Presiden Soeharto telah menghadirkan kedukaan yang mendalam pada segenap bangsa ini. Tetapi juga, itu bukan berarti kedukaan kita melupakan bahwa ada bagian dari manusia di muka bumi ini yang membutuhkan empati kita. Atau barangkali kepergian Mantan Presiden Soeharto dapat menjadi momentum bangkitnya peduli kita terhadap derita penduduk palestina, khsususnya penduduk Gaza. Jikalau dunia dan para pejaung HAM internasional terdiam, apapun. Apakah juga kita harus diam? Jikalau dengan ditinggalkan oleh seorang Mantan Soeharto bangsa, baik itu pemerintah maupun rakyat ini begitu pedulinya? Mengapa dengan derita kemanusian di penduduk Gaza kita belum melakukan apa-apa?

Pemerintah sepertinya akan terlambat atau barangkali telah hilang nyalinya untuk mengutuk kebiadan Israel atas kejahatan kemanusiaanya di Jalur Gaza. Mantan Presiden Soeharto tentu akan sangat bersedih jikalau tahu sedu sedan kepedihan anak bangsa ini habis hanya menangisi beliau. Tindakkan nyata Soeharto terhadap Bosnia adalah prestasi peduli atas nama kemanusiaan. Soeharto telah melahirkan keteladanan, tentu jikalau kita cinta dengan beliau melakukan kebaikan yang dicontohkannya adalah bentuk konkrit kecintaan. Membuka ruang empati untuk Palestina, khususnya penduduk Gaza, pastilah sebuah kebanggaan bagi Mantan Presiden Soeharto. Mari kita jadikan momentum kepergian Mantan Presiden Soeharto untuk peduli dengan kemerdekaan bangsa lain, sebagaimana termaktub dalam kesepakatan para Founding Fathers..
Penulis : adalah Gubernur Mahasiswa BEM FE UNSRI (e-mail: akhi_nedisef@yahoo.com:
Hp (0813-77806698)

1 comment:

thewinner_life said...

Soeharto boleh meninggal dunia. tapi hukum tetap harus ditegakkan. Kroni-kroninya harus dihukum