Sunday, December 2, 2007

Pilkada dan Masa Depan Partai Keadilan Sejahtera

Oleh HUSIN M. AL-BANJARI

HINGGA pertengahan Juli 2005 tercatat 34 calon dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menang dalam 200 lebih pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) baik provinsi ataupun kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Hasil yang hampir mencapai angka 17 persen itu merupakan kader sendiri tanpa koalisi, ataupun PKS dengan koalisi partai lain. Sebuah angka kenaikan yang luar biasa jika dibandingkan dengan perolehan suara nasional PKS pada Pemilu 2004 yang hanya 7,3 persen. Di Jawa Barat sendiri PKS memenangkan 100 persen pada dua pilkada yang baru digelar, yaitu Kota Depok dan Kabupaten Sukabumi.

Dengan data-data awal ini, lalu orang mempertanyakan bagaimana kira-kira peta pilkada selanjutnya dan pengaruhnya terhadap masa depan PKS? Satu pertanyaan yang pada saat sama pasti mengundang pemikiran serius dari partai-partai lain menghadapi sepak terjang PKS yang disebut-sebut fenomenal ini.

Seperti diprediksi oleh para pakar jauh sebelumnya, bahwa peran partai tidak akan begitu signifikan dalam pemilihan langsung, sementara figur dianggap lebih dominan dalam memenangkan pertarungan. Sebuah asumsi yang benar-benar memberi keuntungan ganda bagi PKS, karena asumsi ini tidak sepenuhnya berlaku bagi PKS. Artinya, pertama konstituen utama PKS (primordial-kalkulatif -Eep) jumlahnya tidak berubah baik untuk pemilu maupun pilkada. PKS dikenal sebagai sebuah partai dengan konstituen cukup solid dan konsisten, lihat saja dari 200 lebih pilkada tidak satu pun figur yang diusung PKS mendapat suara lebih rendah dibanding perolehan suara PKS pada Pemilu 2004 di daerah tersebut. Maka dapat dikatakan angka Pemilu 2004 ini adalah perolehan minimal dalam pilkada (siapa pun yang dicalonkan PKS, bahkan untuk orang yang tidak dikenal sekalipun).

Kedua, dimungkinkan dengan adanya "partikel bebas" orang-orang yang tidak terikat terhadap partai-partai lain akan "melimpah" sebagiannya ke calon dari PKS. Malah saya sempat mendengar langsung dari beberapa orang politikus, bahwa dalam sebuah pilkada di daerahnya dirinya tidak mencoblos calon yang diusung oleh partainya karena alasan track record-nya yang dinilainya kurang baik. Jelaslah faktor rasionalitas terhadap figur bagi kalangan intelektual menjadi pertimbangan penting dalam menentukan pemimpin.

Di luar alasan-alasan itu, perlu dicatat bahwa konsistensi suara PKS antara pemilu dan pilkada bukanlah semata cermin militansi sebagaimana banyak disebut-sebut orang, karena jumlah suara militan PKS hanya dalam porsi yang sangat kecil (kader inti PKS pada saat Pemilu 2004 berjumlah sekira 350 ribu orang, khasnya partai kader saat ini pun tidak ada lonjakan yang luar biasa). Tetapi lebih karena alasan adanya kepercayaan atau "harapan baru" terhadap partai dakwah ini.

Sebagaimana hasil jajak pendapat yang digelar sebelum Pemilu 2004, PKS dianggap sebagai partai yang paling memberikan harapan. Sekadar membuka arsip, hasil survei Jawa Pos (3/12/2003) menempatkan PKS pada urutan tertinggi (31,4%) di mana responden meyakini PKS sebagai "partai yang masih layak dipercaya." Ditambah lagi waktu itu masyarakat pada umumnya tidak puas dengan kinerja pemerintah. Hasil polling Metro TV menunjukkan 62% responden menyatakan tidak puas terhadap prestasi partai-partai Pemilu 1999 (Media Indonesia, 9/12/2003).

Secara umum tampaknya perasaan masyarakat serupa ini masih ada hingga kini. Karenanya siapa pun figur yang diusung PKS dalam pilkada, tetap membuka alternatif dan menyimpan harapan untuk perubahan.

Tapi sejauh menyangkut kajian yang lebih strategis, sebenarnya peta pilkada sangat erat kaitannya dengan analisis penulis di Pikiran Rakyat sebelumnya (Prediksi Munculnya Tiga Kekuatan Politik Jawa Barat, 18 April 2005). Dalam tulisan itu di antaranya disebutkan, "Memprediksi tarik menarik segi tiga kekuatan Golkar-PKS-PDIP, hemat penulis, secara umum akan ada dua skenario pertarungan, yaitu keras dan lunak. Untuk pertarungan keras tersedia dalam dua pilihan, yaitu PKS vs Golkar (+ PDIP), atau PKS vs PDIP (+ Golkar)."

Dalam seting "keras" ini, akan sulit mencari format pilkada yang ketiganya (Golkar, PKS, dan PDIP) maju sekaligus. Mengapa? Karena jika itu yang terjadi, yang menang kemungkinan besar adalah PKS. Sebab suara PKS itu biasanya utuh, jika Golkar dan PDIP sama-sama maju, suara non-PKS akan terbelah dua, sebelah ke Golkar dan sebelah lagi ke PDIP, di sela-sela itulah PKS bisa beroleh keuntungan. Dapat dikatakan, secara strategi bahwa segi tiga Van Zorge itu jika utuh dalam sebuah pilkada, akan mematikan kedua-duanya (Golkar dan PDIP).

Beberapa hasilnya sudah sama-sama kita saksikan. Hasil pilkada baik di Kota Depok (26/6) maupun kabupaten Sukabumi (27/6), Golkar dan PDIP masing-masing mengajukan calon sendiri. Keduanya masuk ke dalam "kubangan" segi tiga Van Zorge yang mematikan itu, justru kandidat yang diusung PKS (sendiri ataupun koalisi) memperoleh kemenangan. Persis seperti prediksi tulisan itu!

Untuk skenario pertarungan ke depan, seperti sudah dikatakan artikel yang sama, "Memang akan menjadi tontonan menarik jika suatu ketika ada format lain pilkada dengan skenario pertarungan Golkar-PKS vs PDIP, atau PDIP-PKS vs Golkar. Sebut saja skenario baru ini dengan pertarungan lunak. Dalam skenario ini, kartu penentunya ada pada PKS! Bayangan ke arah ini kian dekat jika pilkada Depok dimenangkan Nur Mahmudi, karena PKS akan menjadi daya tarik luar biasa bagi Golkar maupun PDIP. Pada titik inilah pilkada Depok akan menjadi ukuran. Jika PKS menang, skenario pertarungan 'lunak' akan banyak diminati Golkar maupun PDIP. Namun jika PKS kalah, pertarungan 'keras' kiranya yang akan lebih disukai kedua partai tersebut."

Masih dalam artikel itu, wacana skenario pertarungan yang "diusulkan" untuk Kota Banjar, Kabupaten Kuningan, dan Provinsi Jawa Barat, dapat direnungkan lebih saksama khususnya oleh para pengambil kebijakan partai-partai di Jawa Barat. Kartu ini demikian terbukanya, tinggal bagaimana para politikus terkait mengartikulasikan dan menindaklanjutinya secara konkret.

Namun di atas segala argumen itu adalah takdir (kehendak) Allah SWT. Sebagai umat beriman, kita menyadari tidak ada kemenangan kecuali karena iradah-Nya. Salah satu takdir Allah itu adalah keberadaan aturan main tentang otonomi daerah yang memberikan iklim kondusif terhadap potensi dan eksistensi partai baru seperti halnya PKS. Salah satu berkah yang aktual misalnya adalah Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengamanatkan Tatacara Pemilihan Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat, tidak lagi oleh DPRD.

Di sinilah celah sejarah itu terbuka! Berkat UU No. 32/2004 itu kader-kader PKS bisa ikut memasuki arena pemilihan kepala daerah. Jika saja menggunakan cara lama (dipilih oleh DPRD), "dipastikan" PKS akan kesulitan memperoleh barang satu pun posisi kepala daerah. Belajar dari Kota Depok atau DKI Jakarta, di mana jumlah anggota legislatif PKS paling banyak, namun tidak mampu meraih Ketua DPRD. Ini mudah dimaklumi karena selain PKS sebagai pemain yang baru belajar, kemampuan lobi yang rata-rata masih rendah, juga soal sulitnya melawan budaya politik uang. Bahkan jika saja tidak ada "jatah" sesuai amanat PP No. 25/2004, mungkin akan sedikit sekali kader PKS yang bisa menduduki Wakil Ketua DPRD meskipun secara kuantitas di dewan PKS masuk ke dalam tiga besar. Jadi, amat nyata PKS diuntungkan oleh sistem hukum yang ada.

Terakhir, menyangkut tema pilkada dan pengaruhnya terhadap masa depan PKS. Sebagai salah satu ilustrasi saja, kaitan ini kita dekati dengan teori pemasaran, yaitu ada istilah positioning yang didefinisikan oleh MarkPlus sebagai "persepsi yang ingin dibangun di benak konsumen." Misalnya mobil VW yang merupakan singkatan dari Volkswagen = "kendaraan rakyat." Dari namanya saja sudah terbaca apa yang diinginkan oleh pabrik tentang produk itu di benak konsumen. Ujung-ujungnya yang dapat dicapai dengan menerapkan strategi positioning (mind share) adalah terbentuknya brand image (heart share). Contoh konkretnya, "ingat mobil ya Kijang", "ingat motor ya Honda".

Ada asumsi semakin sering sebuah produk ditayangkan iklan di TV, kian besar peluang positioning-nya. Begitu juga dengan pilkada. Ketika sebuah partai selalu ikut (secara cukup dominan) dalam setiap pilkada yang digelar, maka semakin tinggi nilai publisitasnya. Pemberitaan koran dan media elektornik (radio, TV) akan menjadi semacam "iklan gratis" bagi partai tersebut. Penyebutan nama suatu partai secara berulang dan intensif akan membuat positioning partai tersebut naik. Bahkan tidak penting, kalah ataupun menang! Lama-lama bisa tertanam image, ada pilkada ada PKS!

Jika rentang pilkada ke pilkada kita tarik garis lebih jauh ke depan, kesertaan PKS dalam setiap pilkada adalah sebentuk deretan kampanye yang terus-menerus tiap bulan, pekan, bahkan hari hingga tahun 2008. Sehingga secara ekstrem dapat dikatakan untuk Pemilu 2009 PKS tidak membutuhkan energi besar untuk berkampanye lagi. Tinggal memetik hasil kerja maratonnya!
Sisi yang lain yang lebih menarik adalah bahwa rencengan pilkada dapat dicerna sebagai pertadingan ekshibisi menjelang pertarungan akbar sesungguhnya, yaitu Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009. Sebagaimana dalam olah raga, semakin banyak sebuah tim melakukan pertandingan ekshibisi, makin mahir dan makin besar kepercayaan dirinya sehingga semakin besar pula peluangnya meraih kemenangan dalam even-even kejuaraan besar.

Peluang ke arah itu akan semakin nyata jika di beberapa daerah, seperti halnya kota Depok, sebagaimana dicanangkan oleh PKS benar-benar dapat menjadi the city on the hill (kota di atas bukit), sebuah model pemerintahan percontohan yang tampak keistimewaannya dari semua arah.***

Penulis, alumni Univ. Braunschweig, Jerman 1993; sekretaris Dewan Syariah PKS Jawa Barat.

No comments: