Sunday, December 2, 2007

Prediksi Munculnya Segitiga Kekuatan Politik Jawa Barat


Oleh : M. HUSIN AL-BANJARI

RENTANG 2005-2008 Jawa Barat akan menggelar sebanyak 26 pilkada kabupaten/kota dan satu pilkada provinsi. Pertanyaannya adalah partai-partai mana saja akan memenangkan pertarungan itu dan bagaimana kira-kira komposisinya?

Golkar, PDIP, dan PKS adalah tiga partai yang dianggap sebagai jawaban atas pertanyaan itu. Komposisi ini setidaknya telah diprediksi oleh majalah Van Zorge Heffernan. Lalu bagaimana tiga partai ini berebut pengaruh? Artikel ini mencoba membuka cakrawala politik Jawa Barat ke arah itu.
Dalam tatapan pertama, orang akan menghitung posisi strategis incumbent. Partai Golkar dan PDIP yang saat ini sudah eksis menjadi kepala daerah di beberapa kabupaten/kota, tentu akan berusaha mempertahankan posisinya.

Secara matematis, kemungkinan pememang pilkada dapat diperkirakan dari partai-partai yang unggul perolehan suaranya pada Pemilu Legislatif 2004. Misalnya, jika kita gunakan data perolehan suara DPRD provinsi Jawa Barat, maka dari 11 daerah pemilihan (DP) di Jawa Barat terdapat 6 partai politik yang masuk tiga besar. Sedangkan yang masuk ke dalam dua besar terdapat 4 partai, dan hanya 2 partai yang menjadi pemenang (nomor 1).

Hasil Pemilu 2004 menunjukkan, tiga partai secara kuantitatif menonjol yaitu Golkar, PDIP, dan PKS. Apakah benar tiga partai ini yang diprediksi akan mendominasi kemenangan pilkada-pilkada di Jawa Barat? Pilkada Kota Depok (26/6) dan Kabupaten Sukabumi (27/6) akan segera memberikan jawaban awal, apakah prediksi tersebut ada benarnya.

Segitiga kekuatan

Seperti disebutkan di awal, munculnya tiga kekuatan politik sebagaimana disebut di atas, bagi sebagian pengamat tentu tidaklah mengherankan. Bahkan enam tahun silam (tepatnya 23 April 1999) sebuah majalah internasional Van Zorge Heffernan menurunkan sketsa segitiga politik Indonesia dengan tema Indonesia's Political Map; Main Camps and Parties Relative Positions.
Menurut asumsi Van Zorge Heffernan, terdapat tiga pengelompokan kekuatan partai politik yang bisa digambarkan dalam sebuah segitiga, di mana posisi sudut adalah simpul ideologi dari kumpulan partai-partai tersebut. "Each of these parties are assumed to represent the purest definition of their respective camps," demikian ungkap Van Zorge.

Ketiga kelompok itu adalah grup penguasa (incumbents camp), grup nasionalis-sekular (secular-nationalists camp), dan grup Islam (Islamic camp). Letak partai dalam segitiga itu menunjukkan "posisi tawar ideologis" partai tersebut terhadap ketiga sudut magnet politik itu; makin dekat jaraknya, dianggap makin dekat pula platform ideologinya. Untuk mudahnya selanjutnya Indonesia's Political Map itu sebut saja "segitiga Van Zorge".

Jika segitiga Van Zorge enam tahun silam ini kita bandingkan dengan realitas politik Jawa Barat hari ini, tampaknya tidak mengalami perubahan berarti. Suatu ketepatan prediksi yang luar biasa!

Tampak jelas tiga partai menduduki posisi sudut segitiga Van Zorge, yaitu Golkar (waktu itu berkuasa), PDIP (waktu itu belum berkuasa), dan PK (waktu itu baru berdiri dan akan ikut pemilu). Menurut Van Zorge, PDI dan ABRI (meski bukan partai) secara ideologi dianggap serumpun dengan Golkar. Sementara PKP dan PKB dipersepsi dekat dengan PDIP. Sisanya PDR, PKU/PNU, PBB, PPP, dan PAN dianggap secara ideologis lebih bersaudara dengan PK (kini PKS).

Kalaulah Partai Demokrat (tahun 1999 belum ada) mau diletakkan dalam segitiga itu, maka posisinya akan berada di sudut Golkar, sebelah kiri ABRI. Artinya, Partai Demokrat dianggap serumpun dengan Golkar (atau ABRI) dan lebih dekat ke sudut PKS ketimbang sudut PDIP.

Hingga di sini muncul pertanyaan yang cukup mengganggu. Tentu saja kita amat memahami bagaimana Golkar dan PDIP (dua partai besar) menduduki posisi "terhormat" pada segitiga Van Zorge. Namun bagaimana bisa partai baru dan kecil seperti PK (yang waktu itu belum tahu jumlah pengikutnya berapa), harus berada pada posisi "terhormat" sejajar dengan Golkar dan PDIP?

Seperti diketahui, PK berada pada posisi representasi grup Islam. Van Zorge sendiri menyebut Partai Keadilan sebagai modernis-eksklusif (modernist-exclusivist). "

Posisi PKdalam Van Zorge itu menunjukkan eksistensi partai di mata dunia," ujar ideolog PKS Abu Ridho. Mantan Presiden B.J. Habibie pernah menyebut Partai Keadilan sebagai the real politics, karena menurutnya memiliki massa pendukung yang sadar. Selain soal ideologi, inilah barangkali alasan penguat mengapa PK ditempatkan oleh Van Zorge dalam posisi "terhormat" itu.

Selanjutnya jika pendekatan segitiga Van Zorge kita konfirmasi dengan realitas politik yang muncul dalam pilkada Depok (26/6) dan Sukabumi (27/6), maka dua kekuatan yang sama muncul berhadapan di dua tempat berbeda. Yaitu PKS dan Partai Golkar. Di Kota Depok PKS muncul bersama Nur Mahmudi Ismail dan Golkar bersama Badrul Kamal. Di Kabupaten Sukabumi, PKS hadir dengan Sukmawijaya dan Partai Golkar membawa Lukas Mulyana.
Mungkin ada pertanyaan, mengapa hanya dua partai itu yang muncul? Hingga tulisan ini dibuat, belum ada partai ketiga yang berani muncul. Menurut segitiga Van Zorge, seharusnya ada kekuatan ketiga yang turut bermain yaitu PDIP.

Skenario pertarungan

Memprediksi tarik-menarik segitiga kekuatan Golkar-PKS-PDIP, hemat penulis secara umum akan ada dua skenario pertarungan, yaitu "keras" dan "lunak". Untuk pertarungan "keras" tersedia dalam dua pilihan, yaitu PKS vs Golkar (+ PDIP), atau PKS vs PDIP (+ Golkar).

Dalam seting "keras" ini, akan sulit mencari format pilkada yang ketiganya (Golkar, PKS, dan PDIP) maju sekaligus. Mengapa? Karena jika itu yang terjadi, yang menang kemungkinan besar adalah PKS. Sebab suara PKS itu biasanya utuh, jika Golkar dan PDIP sama-sama maju, suara non-PKS akan terbelah dua, sebelah ke Golkar dan sebelah lagi ke PDIP, di sela-sela itulah PKS beroleh keuntungan. Dapat dikatakan, secara strategi bahwa segitiga Van Zorge itu jika utuh dalam sebuah pilkada, akan mematikan kedua-duanya (Golkar dan PDIP). Dalam perhitungan inilah, maka di Depok dan Sukabumi, baik Golkar maupun PDIP sama-sama menghindari "kubangan" segitiga Van Zorge yang berbahaya itu.

Memang akan menjadi tontonan menarik jika suatu ketika ada format lain pilkada dengan skenario pertarungan Golkar-PKS vs PDIP, atau PDIP-PKS vs Golkar. Sebut saja skenario baru ini dengan pertarungan "lunak". Dalam skenario ini, kartu penentunya ada pada PKS! Bayangan ke arah ini kian dekat jika pilkada Depok dimenangkan Nur Mahmudi, karena PKS akan menjadi daya tarik luar biasa bagi Golkar maupun PDIP.

Pada titik inilah pilkada Depok akan menjadi ukuran. Jika PKS menang, skenario pertarungan "lunak" akan banyak diminati Golkar maupun PDIP. Namun jika PKS kalah, pertarungan "keras" kiranya yang akan lebih disukai kedua partai tersebut.

Sebagai wacana mentah saja, saya pribadi melihat, misalnya Kota Banjar kiranya akan cocok dengan format Golkar-PKS vs PDIP, sebaliknya Kabupaten Kuningan dianggap akan pas dengan format PDIP-PKS vs Golkar. Untuk level provinsi, rasa-rasanya akan tampak "ideal" jika menggunakan format Golkar-PKS vs PDIP.

Dalam realisasinya di lapangan nanti, penulis memperkirakan akan ada beberapa daerah yang menempuh skenario pertarungan "keras", namun setengahnya lebih cenderung menggunakan skenario pertarungan "lunak". Namun seperti sudah diingatkan Kang Tjetje pada penulis, "Betapa pun matangnya perhitungan kita, politik bukanlah matematik. Bisa saja meleset!" Karenanya tidak tertutup kemungkinan, sesuatu terjadi di luar sekenario yang ada. Ini semua, sebagiannya bergantung pada komunikasi politik yang dibangun PKS sejak dini. Wallahu a'lam.***

Penulis alumnus Universitas Braunschweig Jerman; anggota Komisi A DPRD Jawa Barat.

No comments: