Monday, November 3, 2008

Akar Krisis Ekonomi Dunia; Perspektif Syari'ah

Krisis ekonomi Asia yang terjadi dalam satu dasawarasa belakangan ini, merupakan fenomena yang mengejutkan dunia, tidak saja bagi pemikir ekonomi mikro dan makro, tetapi juga bagi para elite politik dan para pengusaha. Dalam sejarah ekonomi, ternyata krisis sering terjadi di mana-mana. Bahkan krisis demi krisis ekonomi terus berulang tiada henti, sejak tahun 1923, 1930, 1940, 1970, 1980, 1990, dan 1998 - 2001. Krisis itu terjadi baik di Amerika Serikat, Eropa, Amerika latin, dan terparah di Asia.
Apakah akar persoalan krisis dan resesi yang menimpa berbagai belahan dunia tersebut ? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, cukup banyak para pengamat dan ekonom yang berkomentar dan memberikan analisis dari berbagai sudut pandang. Dalam menganalisa penyebab utama timbulnya krisis moneter tersebut, banyak para pakar ekonomi berkonklusi bahwa kerapuhan fundamental ekonomi (fundamental economic fragility) adalah merupakan penyebab utama munculnya krisis ekonomi. Hal ini seperti disebutkan oleh Michael Camdessus (1997), Direktur International Monetary Fund (IMF) dalam kata-kata sambutannya pada Growth-Oriented Adjustment Programmes (kurang lebih) sebagai berikut: “Ekonomi yang mengalami inflasi yang tidak terkawal, defisit neraca pembayaran yang besar, pembatasan perdagangan yang berkelanjutan, kadar pertukaran mata uang yang tidak seimbang, tingkat bunga yang tidak realistik, beban hutang luar negeri yang membengkak dan pengaliran modal yang berlaku berulang kali, telah menyebabkan kesulitan ekonomi, yang akhirnya akan memerangkapkan ekonomi negara ke dalam krisis ekonomi”.
Ini dengan jelas menunjukkan bahwa defisit neraca pembayaran (deficit balance of payment), beban hutang luar negeri (foreign debt-burden) yang membengkak–terutama sekali hutang jangka pendek, investasi yang tidak efisien (inefficient investment), dan banyak indikator ekonomi lainnya telah berperan aktif dalam mengundang munculnya krisis ekonomi.Sementara itu, menurut pakar ekonomi Islam, penyebab utama krisis adalah kepincangan sektor moneter (keuangan) dan sektor riel yang dalam Islam dikategorikan dengan riba. Sektor keuangan berkembang cepat melepaskan dan meninggalkan jauh sektor riel. Bahkan ekonomi kapitalis, tidak mengaitkan sama sekali antara sektor keuangan dengan sektor riel.
Tercerabutnya sektor moneter dari sektor riel terlihat dengan nyata dalam bisnis transaksi maya (virtual transaction) melalui transaksi derivatif yang penuh ribawi. Transaksi maya sangat dominan ketimbang transaksi riil. Transaksi maya mencapai lebih dari 95 persen dari seluruh transaksi dunia. Sementara transaksi di sektor riel berupa perdagngan barang dan jasa hanya sekitar lima persen saja. Celakanya lagi, hanya 45 persen dari transaksi di pasar, yang spot, selebihnya adalah forward, futures,dan options. Islam sangat mencela transaksi dirivatif dan menghalalkan transaksi riel. Hal ini dengan tegas difirmankan Allah dalam Surah Al-Baqarah : 275 : Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Jual beli dan perdagangan adalah usaha yang mengkaitkan sektor riil dengan sektor moneter.
Demikian juga mudharabah, musyarakah, dan ijarah adalah skim yang berbasis sektor riil. Jadi, ekonomi Islam memiliki prinsip real based economy, bukan moneter based economy.Sebagaimana disebut di atas, perkembangan dan pertumbuhan finansial di dunia saat ini, sangat tak seimbang dengan pertumbuhan sektor riel. Realitas ketidakseimbangan arus moneter dan arus barang/jasa tersebut, mencemaskan dan mengancam ekonomi berbagai negara. Pakar manajamen tingkat dunia, Peter Drucker, menyebut gejala ketidakseimbangan antara arus moneter dan arus barang/jasa sebagai adanya decopling, yakni fenomena keterputusan antara maraknya arus uang (moneter) dengan arus barang dan jasa.Fenomena ketidakseimbangan itu dipicu oleh maraknya bisnis spekulasi (terutama di dunia pasar modal, pasar valas dan proverti), sehingga potret ekonomi dunia seperti balon saja (bubble economy).
Disebut ekonomi balon, karena secara lahir tampak besar, tetapi ternyata tidak berisi apa-apa kecuali udara. Ketika ditusuk, ternyata ia kosong. Jadi, bublle economy adalah sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas moneternya, namun tak diimbangi oleh sektor riel, bahkan sektor riel tersebut amat jauh ketinggalan perkembangannya.Sekedar ilustrasi dari fenomena decoupling tersebut, misalnya sebelum krisis moneter Asia, dalam satu hari, dana yang gentayangan dalam transaksi maya di pasar modal dan pasar uang dunia, diperkirakan rata-rata beredar sekitar 2-3 triliun dolar AS atau dalam satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS.
Padahal arus perdagangan barang secara international dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 triliun dolar AS. Jadi, arus uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang (Didin S Damanhuri, Problem Utang dalam Hegemoni Ekonomi). Dalam ekonomi Islam, jumlah uang yang beredar bukanlah variabel yang dapat ditentukan begitu saja oleh pemerintah sebagai variabel eksogen. Dalam ekonomi Islam, jumlah uang yang beredar ditentukan di dalam perekonomian sebagai variabel endogen, yaitu ditentukan oleh banyaknya permintaan uang di sektor riel atau dengan kata lain, jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan nilai barang dan jasa dalam perekonomian.
Dalam ekonomi Islam, sektor finansial mengikuti pertumbuhan sektor riil, Inilah perbedaan konsep ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Ekonomi konvensional memisahkan antara sektor finansial dan sektor riil. Sedangkan ekonomi Islam mengkaitkan sektor moneter dan riil secara ketat, sehingga kegiatan ekonomi dan bisnis benar-benar riil, dan tidak ada spekulasi dan transaksi maya lainnya. Maka, dengan sistem ekonomi Islam, ekonomi dunia dan negara akan jauh lebih stabil dan tentunya jauh lebih adil. Mudharat dan bahaya sistem finansial kapitalis telah terbukti nyata di berbagai belahan dunia. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa sistem finansial Islam adalah solusi dan terapi mujarab krisis ekonomi dunia.

No comments: